Jika mengunjungi Aceh Tamiang, Eztravellers akan melihat sendiri bagaimana Sungai Aceh Tamiang membelah kota Kuala Simpang menjadi dua bagian. Sebuah jembatan panjang adalah penghubungnya. Mengalir dari hulu Tamiang, sungai ini terus mengalir hingga bermuara di hilir Negeri Bumi Sedia ini.
Bak peradaban Sungai Eufrat dan Tigris bagi masyarakat Mesopotamia. Di sepanjang aliran Sungai Aceh Tamiang inilah, kehidupan masyarakat Aceh Tamiang berdenyut. Sebelum ditemukannya mesin air, kehidupan masyarakat Tamiang memang cukup bergantung pada Sungai Tamiang.
Oleh sebab itu, para generasi 90-an tentu saja punya banyak cerita nostalgia pada Sungai Aceh Tamiang yang mereka rindukan. Sebab anak-anak masa itu, terbiasa menghabiskan masa waktunya bermain di sungai.
Nah, inilah 5 cerita nostalgia Sungai Aceh Tamiang yang dikangenin generasi 90-an.
Pertama, Mandi Sungai Sehari Bisa Berkali-Kali
Di bawah tahun 90-an, masyarakat Aceh Tamiang memang masih bergantung pada sungai. Untuk mandi ataupun mencuci pakaian, mereka harus pergi ke Sungai Tamiang. Nah, bagi anak-anak masa itu mandi di Sungai Aceh Tamiang bisa berkali-kali.
Saya ingat ketika itu, dalam sehari saya bisa mandi 4 kali di sungai. Sampai-sampai mata merah karena terlalu lama berendam. Mandi di sungai pada masa itu memang sangat menyenangkan. Apalagi Sungai Tamiang masih jernih. Kami baru berhenti mandi kalau badan sudah menggigil ataupun mendengar teriakan orang tua sambil memegang kayu dari tepi sungai. Hihi..
Kedua, Menanti Musim Udang
Dalam setahun, ada beberapa kali Sungai Aceh Tamiang melimpah udang sungainya. Udang-udang itu mudah sekali ditemukan. Di balik batu, di sela-sela tanah ataupun di bagan tempat masyarakat mencuci pakaian. Masyarakat Tamiangnya menyebutnya Musim Udang.
Ya, jika sudah tiba musim udang. Kami bisa berjam-jam berendam di Sungai Aceh Tamiang. Hanya berbekal kantong pelastik kami menelusuri tepian sungai untuk mencari udang sebanyak-banyaknya. Bagi saya, kenangan mencari udang ini adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Dalam sehari saya bisa mendapatkan satu kantong pelastik udang.
Udang-udang tersebut terkadang kami panggang di tepi sungai. Kami menusuknya dengan lidi sehingga menjadi sate. Bahkan, saya sengaja menusuk udang dengan utuh, tak satu bagian pun dari udang yang saya buang. Lalu membakarnya setengah matang. Saat udang mulai memerah, saya langsung menyantapnya sambil menikmati angin sungai yang sejuk. Surgaaa…!
Kedua, Ikut Pekerja Ambil Batu ke Hilir Sungai
Di hilir Sungai Aceh Tamiang memang kaya akan krikil. Batu-batu kecil ini ditambang secara tradisional. Untuk menuju ke tempat ini, para penambang harus membawa boat. Nah, saat itulah saya sering ikut bersama penambang batu menuju hilir Tamiang. Sebab, di sana pantainya sangat indah dan sungainya juga jernih.
Namun, untuk ikut penambang ini tidaklah gratis. Kami harus bisa mengengkol mesin boat sampai menyala. Saat penambang mengambil batu, saat itulah kesempatan kami untuk menikmati pantai hilir Sungai Tamiang yang indah.
Keempat, Mitos Makan Anak Udang Agar Bisa Berenang
Anak-anak Tamiang generasi 90-an pasti masih ingat mitos ini, jika ingin segera bisa berenang maka harus memakan anak udang yang masih putih. Anak udang ini pun harus ditangkap sendiri. Begitu dapat langsung dimakan mentah-mentah. Entah siapa yang memulainya, tapi mitos ini diyakini anak-anak Tamiang ketika itu.
Begitu pula saya, yang menyakini bulat-bulat mitos ini saat belajar berenang. Setelah dewasa akhirnya saya pun mengerti, bahwa daya magis mitos ini sebenarnya adalah sugesti pikiran kita. Setelah makan anak udang itu, memang ada rasa percaya diri untuk berenang ke tempat yang dalam. Alhasil, kita pun menjadi lebih berani berenang ke tempat yang dalam.
Kelima, Menantang Nyali dengan Berenang Ke Seberang Sungai
Berenang adalah skill wajib bagi anak-anak Tamiang. Jika tak pandai berenang, maka siap-siaplah ditinggal kawan. Karena saat itu anak Tamiang tidak hanya berenang di tepian. Mungkin merasa bosan berenang di situ-situ saja. Sehingga sekali waktu, saya sering menantang nyali dengan berenang hingga ke seberang sungai. Jaraknya bisa 120 meter.
Berenang ke seberang Sungai Aceh Tamiang pun ada triknya sendiri. Kami harus berjalan ke hulu sungai dahulu, lalu membiarkan diri hanyut secara diagonal hingga akhirnya sampai ke seberang sungai. Dengan cara ini, kami bisa menghemat tenaga. Meskipun demikian, berenang ke seberang sungai sebenarnya adalah larangan bagi orang tua kami. Karena memang cukup bahaya. Tapi namanya juga anak-anak, semakin dilarang malah semakin penasaran hehe
'5 Cerita Nostalgia Sungai Aceh Tamiang yang Dikangenin Generasi 90-an' have no comments
Be the first to comment this post!