Orang Aceh Tamiang dikenal memiliki makna yang dalam saat bertutur. Tata bahasa mereka yang santun dan sangat menjaga adab, seolah menjelaskan betapa arifnya masyarakat Negeri Bumi Muda Sedia ini. Menurut saya, hal seperti ini adalah salah satu khazanah Budaya Aceh yang harus terus dilestarikan.
Dalam Budaya Aceh Tamiang, bertutur adalah cara mereka menjelaskan identitasnya, sebagai masyarakat yang memiliki cita rasa seni yang tinggi. Setiap kata mereka, terkadang membutuhkan kecerdasan tersendiri untuk mencernanya.
Sebagai contoh, dalam bercanda, memberi nasihat atau bercerita orang Tamiang terkadang gemar sekali menggunakan istilah-istilah. Kata-kata yang penuh maksud itu tak sekadar ucap, tapi memiliki pesannya tersendiri.
Nah, setidaknya ada 5 Istilah Aceh dalam Budaya Aceh Tamiang yang sering mereka ucapkan dalam kesehariannya.
Pertama, Pande Tak Terikut, Bodoh Tak Terajokh (Pandai enggak bisa diikut, bodoh tak bisa diajar)
Istilah ini, biasanya dialamatkan kepada seseorang yang sulit sekali kita temukan keteladanan dalam dirinya. Akal pikirannya, hanya terasa manfaatnya untuk dirinya sendiri. orang seperti ini memang tak terlalu bahaya, namun tetap harus berhati-hati jika kita jadikan sebagai teman. Sikapnya cenderung pragmatis, hanya ingin untung sendiri.
Sementara di sisi lain, orang seperti ini juga sangat sulit diberikan nasihat. Ia seolah merasa cukup dengan ilmunya. “Bodoh tak terajokh,” begitulah orang Aceh Tamiang menyebutnya. Nasihat baginya bak angin lalu saja, masuk kuping kiri ke luar kuping kanan.
Nah, dalam Budaya Aceh Tamiang, orang dengan prilaku ganjil seperti ini sering diungkapkan dengan istilah “Pande Tak Terikut, Bodoh Tak Terajokh”, yaitu orang yang kepandaiannya tak bisa dijadikan teladan, sementara kebodohannya sulit sekali diluruskan.
Ayo, apa kamu ciri orang seperti ini? ๐
Kedua, Maleh cado ubek (Malas Enggak Ada Obatnya)
Apakah sifat malas itu sejenis penyakit? Entahlah. Tapi dalam Budaya Aceh Tamiang, istilah Maleh Cado Ubek sudah sangat familiar. Saya ingat, guru matematika saya ketika SMA suka sekali menggunakan istilah ini jika melihat muridnya yang malas. Tak punya semangat untuk belajar ataupun mengerjakan soal. Jika sudah begitu, mungkin saking kesalnya, istilah “Maleh Cado Ubek,” pun keluar dari mulut guru saya ini.
Maka saya pun berfikir, istilah Aceh maleh cado ubek adalah ungkapan dari rasa pesimis jika melihat orang yang malas. Karena jika seseorang sudah terjangkit malas, rasanya apapun sulit untuk diwujudkan.
Maka bagi Budaya Aceh Tamiang, sifat malas tak ubahnya penyakit akut yang sulit sekali ditemukan obatnya.
Aihh, mu udah maleh cado ubek (kalau sudah malas enggak ada obatnya,”) ๐
Ketiga, Bual Meletup (Banyak Kali Cerita)
Apakah Ezytraveler pernah bertemu dengan orang yang gemar sekali bercerita?
Apapun dibahasnya? Terkadang, ia pun sering membumbui ceritanya agar lebih dramatis. Sampai-sampai kita yang mendengarnya, sulit untuk membedakan mana yang fakta dan fiksi.
Nah, dalam Budaya Aceh Tamiang orang seperti ini sering kali diungkapkan dengan Bual Meletup. Karena gaya berceritanya mirip dengan penjual obat di pasar-pasar ๐
Menyakinkan, tapi tetap saja sulit dipercaya.
Namun, pada saat-saat tertentu, orang seperti ini sering menjadi pemecah kesunyian. Dalam sebuah perkumpulan, ia tampil dengan suka rela menjadi stand up comedian. Sebab jika sudah berbicara, ia sejatinya tak perlu lawan cerita. Namun yang ia butuhkan hanyalah pendengar dan sebuah pengakuan “palsu” ๐
Keempat, Tingkah Ngalah Ulek Pinang (Tingkah laku seperti Ulat Pinang)
Istilah Aceh ini biasanya dialamatkan kepada anak-anak yang lasaknya bukan main, atau bahasa kerennya anak yang hiperaktif. Tidak hanya di rumah sendiri, bahkan jika dibawa bertamu sekali pun ia tetap aktif. Ya, seperti ulat pinang yang tak kenal diam. Anak-anak dengan watak seperti ini seriang kali membuat orang tuanya pusing.
Maka istilah Ngalah Ulek Pinang lebih sering diungkapkan oleh orang tua kepada anaknya. Ini semacam ungkapan kekesalan, karena mereka tak kuasa menahan sabar dengan tingkah laku anaknya yang seolah tak ada capeknya.
Bagi sebagian kita, perumpamaan tingkah anak yang hiperkatif dengan ulat pinang, adalah sebuah imajinasi yang sulit kita jangkau. Tapi begitulah, dalam masyarakat Tamiang apapun yang dianggap punya kemiripan bisa dikaitkan ๐
Kelima, Tidokh Ngalah Batang Kayu (Tidur seperti batang Kayu)
Nah, istilah yang satu ini biasanya ditujukan kepada orang yang kalau sudah tidur, seolah tak peduli lagi dengan sekitarnya. Sekiranya dunia ini runtuh pun, ia tetap pulas dengan tidurnya. Bahkan suara bising sekali pun tetap tak menyadarkannya. Orang seperti ini benar-benar larut dalam tidurnya.
Maka dalam masyarakat Tamiang, orang seperti ini tak ubahnya sebatang kayu, terbaring begitu saja. Ia hanya akan bergerak kalau kita sendiri yang menggesernya. Mungkin, orang seperti ini terlalu lelah kali ya? ๐
'5 Istilah Sehari-Hari yang Familiar di Masyarakat Aceh Tamiang' have no comments
Be the first to comment this post!