Masa kecil adalah saat-saat penuh kesenangan. Bagi siapa pun, pasti ada sepotong keindahan masa kecil yang selalu dikenang. Masa bermain tanpa terganjal tanggung jawab dan beban pikiran. Orang tua tidak akan melibatkan anak-anaknya dalam pekerjaan guna memenuhi kebutuhan finansial. Bagi anak-anak, hari-hari dilewati dengan belajar dan bermain. Hiburan, hiburan dan hiburan. Demikian halnya dengan masa kecil saya dahulu, era 80-an. Di Aceh, kami punya banyak hal yang menjadi ladang kesenangan bagi anak-anak. Salah satu di antaranya adalah Perang Bude Ram. Permainan perang khas Aceh satu ini begitu fenomenal.
Perang Bude Ram. Permainan perang yang melibatkan dua kelompok. Seperti simulasi perang ala aparat keamanan/militer. Perang yang tidak sungguhan, tentunya. Namanya saja permainan anak-anak, senjata yang digunakan tentu tidak mengakibatkan cedera maupun kematian. Sepintas kita lihat, prinsip perang Bude Ram tidak jauh beda dari bermain Paint Ball.
Kata โBudeโ, dalam bahasa Indonesia artinya bedil/senapan. Sedangkan โRamโ merupakan sejenis tanaman liar yang memiliki banyak buah. Buah dari tanaman ini digunakan sebagai peluru senjata tersebut. Saya tidak tahu pasti nama ilmiah dari tanaman ini. Di Aceh Besar semua orang mengenalnya dengan sebutan โbak Ramโ (pohon Ram).
Sekilas mengenai senjata perang. Bude Ram terbuat dari seruas batang rumpun bambu yang dibagi dua. Di sini, kami mengenal rumpun bambu jenis ini dengan sebutan โAwouโ. Satu sisi digunakan sebagai gagang, panjangnya cukup segenggaman tangan, agar memudahkan saat dipegang. Sisi tersebut disumpal dengan pangkal sebilah bambu yang telah diraut hingga halus. Bambu diraut sebulat mungkin, ukuran harus sesuai untuk lubang Awou tersebut, dipasangkan seketat mungkin, agar tidak mudah lepas saat digunakan nanti. Satu bagian lagi berupa ruas Awou yang berongga.
Prinsip kerja senjata ini sederhana. Pertama, masukkan buah Ram dari sisi tangkai buah, dengan ukuran yang mampu menyumpal lubang Awou secara sempurna. Kemudian, ambil gagang dan dorongkan Ram tersebut hingga sampai ke “mulut” senjata, namun tidak keluar. Kondisinya masih menyumpal rongga. Kemudian ambil sebuah Ram lagi dan ulangi hal yang sama.
Tekanan yang kuat dari belakang sedangkan pada sisi ujungnya tersumpal dengan Ram yang telah kita masukkan sebelumnya, hal ini mengakibatkan terjadi letupan ringan saat Ram pertama berhasil lepas dari “mulut” Awou. Letupan tersebut menjadikan kerja dua bilah Awou ini sah disebut senjata. (Hahaha..) Namanya juga permainan anak-anak.
Mengenai perang, mula-mula semua berkumpul. Kemudian membagi anggota kelompoknya. Perang tentu saja melibatkan banyak orang, minimal harus ada enam orang, dibagi ke dalam dua regu, masing-masing tiga orang. Kemudian, masing-masing berpencar hingga tidak terlihat satu sama-lain. Saat itulah perang dimulai. Satu sama lain saling mencari lawannya. Saat terlihat di jarak yang lumayan dekat, segera saja ditembakkan dengan Bude Ram.
Ram akan mengenai lawan dengan rasa sakit yang tak seberapa, nyaris nihil. Namun demikian, lawan tersebut sudah dianggap lumpuh/mati dan tidak boleh melanjutkan peperangan. (Hahahaโฆ) Kalau saya ingat-ingat lagi, konyol sekali masa kecil kita, penuh kepura-puraan. Baiklah, perang dianggap usai bila satu regu telah dilumpuhkan semua anggotanya, dan mereka dianggap pihak yang kalah.
Lalu, apa yang diperoleh dari peperangan ini? Apa prestasinya bagi anak-anak ini? Tentu saja ada, yakni kemenangan. Kemenangan ini menunjukkan bahwa regunya kuat. Regunya mampu melawan musuh. Kepuasan tertinggi bagi seorang pejuang adalah saat mereka mampu menaklukkan lawan.
Saat yakin, permainan semacam ini memang sengaja diwariskan oleh leluhur kami. Bukan untuk mengembangbiakkan semangat perang, tapi lebih kepada menciptakan generasi yang heroik. Kita sama-sama mengetahui, secara historis, Aceh adalah bangsa yang dikenal oleh dunia. Aceh mampu mengalahkan penjajahan. Mampu mengusir musuh dari tanahnya, meskipun senjata yang digunakan sangat sederhana, yakni rencong. Dalam diri bangsa Aceh ini telah mengalir darah perjuangan. Wajar saja anak-anak Aceh sangat menyukai perang Bude Ram.
Berdasarkan keterangan dari teman sebaya yang saya tanyai, ia asal Pidie, katanya, mereka dahulu juga bermain Bude Ram. Hanya saja, karena kesulitan mendapatkan buah Ram, mereka menggunakan buah Melinjo muda, atau bungan jambu, sebagai alternatif lain untuk dijadikan peluru. Sedangkan di Aceh Besar, khususnya daerah saya, di Kuta Baro, banyak sekali buah Ram yang tumbuh liar di pagar-pagar kebun.
Walhal. Sayangnya, saat ini, era globalisasi telah menggerus masa kecil anak-anak kepada hal yang tidak lagi seperti yang saya rasakan dulu. Tidak ada permainan engklek, tidak ada permainan gundu, dan jarang sekali adanya permainan perang Bude Ram. Anak-anak disibukkan dengan peralatan main digital. Dimulai dengan keberadaan PS (Play Station), mobil balap mainan, hingga yang paling terbaru adalah merambahnya gadget di tengah anak-anak kita.
Saya tidak mengatakan ini salah, barangkali memang sudah masanya. Perang fisik pun sekarang telah digantikan oleh perang pemikiran. Melalui bermain, mereka masih bisa mengasah kemampuan mengalahkan lawan, hanya saja, saya melihat masa kecil kami masih lebih bahagia. Terkadang, saya berharap bisa mengajak mereka kembali ke masa saya, mengenyam tawa lepas dengan permainan yang sungguhan. Kita punya kawan bermain yang langsung berhadap-hadapan, tos-tosan, tidak hanya mantengin layar digital lalu senyum-senyum sendirian.
'Anak-Anak Aceh Era 80-an, Pasti Kenal BudeRam' have no comments
Be the first to comment this post!