Bagi saya pribadi, Pasar Aceh memiliki kenangan tersendiri. Bukan hanya sekarang, tapi sejak dulu saat masih berseragam merah putih. Pasar Aceh seakan tidak terpisahkan dengan hari Minggu. Sebab di hari libur itu, almarhum Bapak selalu mengajak untuk berkeliling membeli kebutuhan rumah, dapur, lebaran, hingga perlengkapan sekolah.
Di mata kecil saya, Pasar Aceh adalah paket lengkap untuk mencari segala kebutuhan. Segala yang diinginkan ada di sini. Jika lelah, almarhum Bapak mengajak saya duduk di kedai-kedai cendol yang saling berhimpitan. Bapak punya langganan sendiri. Kedai cendolnya pun tidak seperti sekarang yang tersedia kursi, meja, hingga kipas angin. Dulu, kedai cendol hanya ada kursi panjang. Di sanalah, saya dan Bapak berhimpitan duduk dengan memegang gelas dan menyantap lezat cendol Pasar Aceh. Di antara kedai dibatasi tirai. Jadi dari bawah, saya bisa melihat kaki pengunjung lain di warung sebelah.
Dulu, Pasar Aceh semrawutnya minta ampun. Selain tidak beraturan, pasar ini juga sering becek parah saat hujan turun. Makin parah sebab di depan pasar dijadikan terminal labi-labi (angkutan umum). Bisa dibayangkan bagaimana semrawutnya dulu, suara klakson, becek, macet mengular tak henti-hentinya adalah gambaran Pasar Aceh. Namun, keadaan sekarang berbeda jauh. Pasar Aceh yang dulunya kumuh tak beraturan kini berubah menjadi pusat belanja yang menenangkan dan nyaman.
Ini berawal selepas gempa tsunami Aceh tahun 2004. Pasar Aceh yang menjadi denyut ekonomi masyarakat hancur luluh lantak. Tsunami menghempas segala aktifitas jual beli di pagi Minggu itu. Konon, ramai sekali masyarakat yang menjadi korban. Sebab, Pasar Aceh di pagi Minggu terkenal sangat padat merayap. Keadaan semakin parah sebab beberapa minggu setelah tsunami, Pasar Aceh terbakar di salah satu bagian gedungnya.
Namun, kerusakan ini perlahan berubah. Sebuah NGO membangun ulang pasar tertua di Banda Aceh itu. Gedung lama dirubuhkan dan dibangun ulang dengan konsep kekinian. Bahkan gedung baru ini lebih luas, bertingkat tiga, dan memiliki parkir bawah tanah. Saya pun berkesempatan mengunjungi tempat ini beberapa minggu lalu. Niatnya sekedar cuci mata dan temani istri beli hijab.
Saya memarkirkan sepeda motor di bagian belakang Pasar Aceh di jalan Teungku Chik Pante Kulu. Lokasi ini terkenal sebagai pusat belanja emas Aceh yang terkenal dengan kualitas dan ukirannya yang baik. Melalui jalan belakang, saya melewati pintu pagar kecil di sela-sela para penjual kaki lima untuk masuk ke Pasar Aceh. seketika masuk suasana langsung berubah. Pasar Aceh sekarang sangat tertib dan teratur. Gedungnya dibagi menjadi dua blok. Para pedagang ditata sesuai dengan dagangannya. Masing-masing tingkatan memiliki segmen barang sendiri. Misalnya, di lantai pertama, saya menemukan para penjual makanan dan souvenir Aceh. Di sini, pengunjung dengan mudah menemukan kue bhoi, karah, dodol Aceh, dan souvenir Aceh. Tapi, di blok berbeda, lantai satu dipenuhi fashion wanita seperti hijab, pakaian, mukena, perlengkapan rumah, dan pernak pernik fashion. Berhubung tujuan kami mencari hijab, saya menuju ke blok tempat fashion wanita dijual.
Blok ini lebih dulu dibangun ketimbang blok tempat menjajakan makanan dan souvenir Aceh tadi. Karena duluan dibangun, tokonya pun lebih padat dan telah terisi semua. Sangking padatnya, lobi lantai pertama penuh dengan kedai-kedai berukuran kecil. Di pasar ini untuk menjelajah toko antar lantai juga sangat mudah. Sebab di Pasar Aceh tersedia tangga ekskalator dan lift. Ini memudahkan bagi pengunjung yang kesulitan menaiki anak tangga.
Saat berkeliling di lantai dua, saya berjumpa dengan salah satu penjual. Dari dia saya jadi tahu, jika barang-barang di Pasar Aceh umumnya berasal dari Jakarta dan Bandung.
“Setiap bulan sekali saya ke Jakarta,” ujarnya yang mengaku kesulitan saat mencari pakaian yang akan dijual di Aceh.
“Baju yang dijual di sini harus syar’i, jadi terkadang saya kesulitan cari bajunya di Tanah Abang.”
Dia juga bercerita, jika saat ini Pasar Aceh semakin dilirik para wisatawan Malaysia. Banyak wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Banda Aceh menyempatkan diri untuk berwisata belanja di pasar ini. Mereka umumnya mencari mukena full bordir dan bermotif Aceh. Pengakuan ini ternyata benar adanya. Sebab saat saya berkeliling, saya menemukan beberapa rombongan wisatawan Malaysia sedang berjibaku di toko mukena.
Selepas berkeliling di Pasar Aceh dan melepas kelelahan, saya melimpir ke kantin di lantai tiga. Beristirahat sambil menikmati jajanan ringan. Dari atas lantai tiga, saya bisa menikmati keseluruhan Pasar Aceh. Entah kenapa saat duduk di kantin saya teringat dengan Pasar Aceh dulu. Teringat dengan cendol Pasar Aceh yang lezat. Teringat dengan kenangan bersama almarhum Bapak saat duduk melepas lelah. Dan sekarang keadaan telah banyak berubah. Tidak ada lagi penjual sayuran, daging, ikan, pecah belah, atau minuman cendol. Keadaan Pasar Aceh sekarang mengingatkan saya dengan Tanah Abang atau Pasar Baru di Bandung.
'Belanja di Pasar Aceh Serasa di Tanah Abang' have no comments
Be the first to comment this post!