Minggu terakhir di bulan pertama tahun ini, Divisi Kaderisasi FLP Banda Aceh mengadakan rihlah (jalan-jalan) ke tempat yang santer disebut sebagai cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam (salah satu kerajaan Islam terbesar kala itu). Ya, di mana lagi kalau bukan Lamuri. Lamuri merupakan sebuah perbukitan di kawasan wisata Krueng Raya, yang sekarang lebih dikenal dari sisi pesona keindahan alam di sana, yakni di Perbukitan Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya – Kabupaten Aceh Besar.
Dari bukit Lamreh, di ketinggian 40 meter dari permukaan air laut tersebut, kita dapat melempar pandangan sejauh mungkin, menghadap birunya Selat Malaka. Dari tepian bukit batu nan terjal itu pula, kita dapat menikmati indahnya memandang Pantai Pasir Putih, Lhok Me – Kabupaten Aceh Besar.
Tidak perlu berpikir panjang untuk terlibat dalam rihlah kali itu. Apalagi yang diragukan? Mengunjungi tempat seperti ini dapat meningkatkan kesadaran kita untuk melek sejarah, sekalian untuk tafakkur alam, merenungi kekuasan Pencipta. Maka, segera saja, kawan-kawan menyiapkan bekal dan tenaga. Semangat menyusuri sisa-sisa peninggalan Lamuri.
Hari itu, tim berjumlah tiga belas orang, berangkat dengan menggunakan kendaraan motor. Perjalanan lebih dari satu jam dari Kota Banda Aceh menuju perbukitan Lamreh, benar-benar tidak terasa. Maksudnya, tidak terasa dekat. Hehehe. Mulai memasuki Krueng Raya, banyak sekali tanjakan dan tikungan. Medan yang kita tempuh lumayan berat, jalannya di wilayah perbukitan. Bila tidak lihai berkendara, bisa-bisa terjadi kecelakaan. Beruntunglah, kami dapat menempuhnya dengan mudah.
Semula perjalanan diteruskan hingga Pantai Pasir Putih, Lhok Me. Sejenak memanjakan diri dengan indahnya suasana pantai berhias pepohonan Mangrove yang tumbuh di bibir pantai, sembari menikmati bekalan yang kami bawa, yakni ayam bakar. Kawan-kawan tahu sendiri lah, rihlah selalu tidak sunyi dari acara makan-makan. Setelah membakar ayam, makanan pun disantap lezat.
Perempuan FLP
Makanan nyaris habis. Memang semestinya kita habiskan, agar nanti saat melakukan “penaklukan” bukit Lamreh, tidak harus menenteng banyak bekalan. Kita cukup membawa minuman masing-masing, agar tidak dahaga setiba di bukit. Sebab di sana sudah tidak ada lagi jajanan. Tidak lupa, sebelum meninggalkan pantai Pasir Putih Lhok Me menuju bukit Lamreh, ada beberapa gambar yang harus diambil, untuk dibawa pulang. Spot-nya sangat bagus. Momen-momen indah seperti ini patut diabadikan.
Setelah menunaikan shalat zuhur, perjalanan kita lanjutkan. Dari pantai Pasir Putih Lhok Me menuju perbukitan Lamreh tidak terlalu jauh, berbalik arah ke belakang. Hanya butuh lima belas menit saja kiranya. Semula, kami yang belum pernah datang merasa kurang yakin, masak jalan utama menuju tempat yang digadang-gadangkan bersejarah besar itu masih berupa bebatuan yang lebarnya hanya satu meter. Tidak disediakan fasilitas jalan yang bagus untuk memudahkan akses ke Situs Lamuri. Ah, sudahlah, jalani saja dulu.
Alhamdulillah, akhirnya tiba juga di bukit Lamreh. Kini kita lanjutkan dengan berjalan kaki. Saya tadinya berkhayal akan menemukan reruntuhan bangunan kerajaan, semisal pondasi istana, gerbang utama, atau setidaknya semacam benteng pertahanan. Ternyata tidak sama sekali. Lamuri kini hanya tinggal dataran bukit seluas kurang lebih 200 hektar yang dipenuhi pohon dan semak belukar. Lalu, apa yang dapat kita temukan di sini, sebagai peninggalan kerajaan besar. Tunggu dulu, di Aceh kita tidak diizinkan kecewa. Kami pun menyisir jalan setapak, berdasarkan beberapa petunjuk, akhirnya kami menemukan nisan-nisan kuno, yang agaknya berumur ratusan tahun. Dari nisannya, terlihat jelas bahwa daerah ini dahulunya didiami oleh para pembesar.
Berdasarkan informasi dari peneliti sejarah, bersama tim Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh), dari sekian banyak makam yang ada di bukit Lamreh, diantaranya adalah Qadhi Maulana Shadarul Ihsan Ismail, Malik Syamsuddi, Malik Alawiyah, bahkan Makam Sultan Ali Mughayat Syah juga di bukit ini. Adapun sisa peninggalan Lamuri lainnya hanya berupa pecahan gerabah, sebagai perabot rumah tangga para pendahulu. Meski hanya pecahan, setidaknya kita bisa mengetahui bahwa perbukitan ini dahulu disesaki penghuni.
Perjalanan kami tutup dengan menghela nafas lebih dalam, dari perbukitan Lamreh melayangkan pandangan ke laut lepas. Ada sejuta keindahan yang dapat kita temukan. Seseorang menunjukkan sebongkah gundukan di tengah laut. Gundukan ini berupa batu karang yang ditumbuhi beberapa pohon. Ada hal menarik lainnya dari kisah terbentuknya gundukan batu karang itu. Konon, itu merupakan kapal saudagar Aceh yang terjungkal dan menjadi batu karena dikutuk ibunya. Saudagar itu bernama Amat Ramanyang. Mungkin kawan-kawan pernah mendengarkan kisah ini. Tidak jauh berbeda dengan legenda Malin Kundang di Sumatra Barat.
Menjelang petang, kami pulang. Tunggu dulu, ada lagi yang tidak boleh kita lewatkan. Dalam perjalanan pulang, kami menyempatkan diri untuk singgah sejanak, menziarahi makam Laksamana Keumala Hayati (lebih dikenal dengan nama Malahayati). Seorang perempuan gagah perkasa yang menjadi pemimpin armada perang melawan penjajah, melakukan perlawanan serangan dari arah laut. Lokasinya masih di Krueng Raya, tidak jauh dari pelabuhan Malahayati. Oh iya, nama pelabuhan itu sendiri diambil nama beliau, sebagai bentuk penghargaan dan mengenang jasanya yang begitu besar. Kondisi makam ini terawat baik. Kontruksi bangunan yang melindungi makam pun cukup bagus. Sepertinya memang ada petugas khusus yang membersihkan makam.
Seharian di Krueng Raya, tak satu menit pun yang kurang dari decak kagum pesona bahari. Bagaimana, masih ragu untuk berlibur ke sini dan wisata ke Krueng Raya Aceh Besar?
'Berwisata di Aceh Tidak Akan Kecewa. Apalagi Kalau Ke Krueng Raya' have no comments
Be the first to comment this post!