Boh Gaca Budaya Tato Dalam Adat Pernikahan Aceh

Dalam banyak peradaban, kebudayan, budaya pernikahan selalu menjadi hal penting. Ketika menyebutkan tato atau tatto banyak yang membayangkan sosok sangar dengan berbagai gambar di tubuhnya. Kenyataannya, tato adalah seni melukis tubuh yang ternyata pada beberapa kebudayaan merupakan bagian dari prosesi pernikahan. Kebiasan melukis tubuh juga ada dalam Adat Pernikahan Aceh, kami menyebutnya Bȏh Gaca.

Ada perdebatan soal asal usul prosesi Bȏh Gaca dalam Adat Pernikahan Aceh. Sebagian berpendapat ini dipengaruhi oleh budaya hindustan, yang lainnya berkata itu sebab asimilasi budaya dengan pemukim dari arab, di masa lalu. Biasa jadi keduanya benar. Karena kalau anda berkunjung Aceh, misalnya ke wilayah Pidie Jaya, yang namanya sedang ramai dibicarakan sejak bencana gempa yang baru saja terjadi pada 7 desember 2016 kemarin. Anda mungkin akan terkejut. Dengan mudah anda bisa menemukan wajah-wajah seperti Hritik Roshan, Sahrukh Khan, Priyanka Chopra, Depika Padukone, Nabila Syakieb, atau minimal Rafi Ahmad, berjualan ikan, lontong, baso, rumah makan, jadi guru dan sebagainya. Memang agak susah membedakan arab dan hindustan. Tapi intinya, warna hindustan dan arab memang turut mewarnai kebudayaan Aceh.

Apapun itu, yang jelas prosesi Bȏh Gaca sudah menjadi bagian dari Adat Pernikahan Aceh.

Pada beberapa kebudayaan, adat melukis tubuh sering sekali bersifat permanen, tak jarang itu juga berfungsi sebagai penanda status. Menunjukkan bahwa sudah menikah dan sejenisnya. Tapi Bȏh Gaca bukan bagian dari kebiasaan itu. Prosesi berhias dengan melukis tangan dan kaki bagi mempelai perempuan ini hanya bersifat sementara. Mengunakan pewarna dari tanaman yang akan memudar seiring waktu, dan tidak menimbulkan kerusakan atau bekas permanen di kulit.

Secara umum prosesi Bȏh Gaca dalam Adat Pernikahan Aceh hampir sama diseluruh wilayah yang menerapkan adat ini. Perbedaan-perbedaan kecil umumnya dipengaruhi oleh kebiasaan daerah atau tempat. Karena saya dan istri berasal dari dua daerah berbeda, saya keturunan Aceh Besar, dan Istri keturunan Aceh Selatan, jadi ditulisan ini saya menuliskan mengenai kebiasaan dari kedua daerah asal kami.

Prosesi Bȏh Gaca dimulai dari menentukan hari. Biasanya lama prosesi itu 3,5, atau 7 hari. Ini tidak ada hubungannya dengan istilah hari baik atau hari buruk, karena bagi kami di Aceh, semua hari adalah hari baik. Penetuan hari ini lebih kepada penyesuaian dengan keseluruhan proses pernikahan dalam Adat Pernikahan Aceh. Agar seluruh proses berjalan lancar dan baik.

Di Aceh Besar prosesi Bȏh Gaca bermula setelah hari pesta ditentukan. Para kerabat, sanak saudara, keluarga perempuan dari mempelai wanita berkumpul di rumah. Dimulai dengan mencari ȏn Gaca atau daun Pacar Kuku ( Lawsonia Inermis L ), sejenis tanaman perdu yang tergolong dalam keluarga Lythraceae. Daun yang terkumpul lalu dibersihkan, dipilih, dan digiling menjadi pasta halus. Pasta inilah yang akan digunakan sebagai pewarna.

On Gaca, dalam bahasa Aceh berarti daun Gaca atau Pacar, istilah lainnya adalah Henna atau Inai

Sedikit berbeda, di Aceh Selatan, proses Bȏh Gaca justru dimulai di rumah keluarga mempelai pria. Dalam Adat Pernikahan Aceh Selatan, pasta Gaca pertama diberikan dari keluarga pria ke keluarga mempelai wanita. Tidak seluruh kebutuhan Gaca tapi secara seremonial Gaca pertama dari pihak pria. Setelah ditetapkan hari Bȏh Gaca di tempat mempelai wanita, di kediaman mempelai pria pasta Gaca disiapkan. Sejumput daun Pacar Kuku diletakkan di atas batu gilingan yang dialasi tujuh lapis kain songket. Lalu digiling. Alas dipindahkan kemudian lalu dilanjutkan dengan jumput kedua dan selanjutnya sampai selesai. Pasta Gaca itu lalu dimasukkan dalam ‘kendi’ dari kelapa muda, dan kemudian dihantarkan ke kediaman mempelai wanita.

Dalam prosesi Adat Pernikahan Aceh, saat Bȏh Gaca sebenarnya memiliki arti sakral. Sebuah prosesi khusus dengan makna yang dalam. Bȏh Gaca adalah saat ketika ibunda memberikan nasihat kepada anaknya, mewariskan pengetahuan dan kearifan dalam berumah tangga, meneruskan pengalaman dari satu generasi ke genarasi selanjutnya. Bȏh Gaca juga merupakan momen pribadi melepaskan gadis kecilnya bunda yang dulu dibuai dalam pelukan bunda, dalam gendongan dan dukungan, kini telah dewasa, menjadi seorang wanita yang akan memulai perjalanannya sendiri.

Namun nilai istimewa itu semakin berkurang. Saat ini Bȏh Gaca tak lebih dari proses berhias. Tak ada duduk kumpul keluarga dengan petuah-petuah yang diteruskan, hanya sekedar basa basi kumpul keluarga. Hena instant yang dijual, dan tenaga pelukis hena yang dibayar. Indah, praktis, tapi kosong. Beberapa tahun terakhir Bȏh Gaca berjuang mempertahankan fungsinya, sempat nyaris betul-betul kehilangan eksitensinya.

Untunglah akhir-akhir ini kesadaran untuk mempertahankan dan melestarikan budaya Adat Pernikahan Aceh kembali muncul. Ada kesadaran dikalang muda untuk menata kembali identitas budayanya. Terlebih dengan semakin maraknya cedera yang timbul akibat penggunaan hena instant akibat masuknya banyak produk yang memiliki kualitas rendah, penggunaan Gaca tradisional yang terbukti aman semakin diminati.

Mau jalan-jalan ke Aceh? Temukan berbagai pilihannya di sini: hotel, buat visa online, dan tiket pesawat


About

Full time stay at home father, part time blogger-writer-graphic designer, and sometime traveler wanna be.


'Boh Gaca Budaya Tato Dalam Adat Pernikahan Aceh' have no comments

Be the first to comment this post!

Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool