Aceh merupakan daerah beriklim tropis yang terletak di wilayah paling barat Indonesia. Selain kaya akan khazanah budaya, Aceh juga dikenal memiliki sumber daya alam berlimpah. Baik itu dapat diperbaharui (renewable) maupun tidak dapat diperbaharui (unrenewable). Ketersediaan ini tentunya harus berimbang dengan sumber daya manusia. Hasil alam semestinya dikelola dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berbicara tentang pemanfaatan hasil alam. Dari dahulu, warga Aceh sudah memanfaatkan hasil alam untuk menunjang pemenuhan pangan dan papan. Diantaranya; Asam Sunti dan Bubong Oen. Asam Sunti merupakan bumbu masakan yang terbuat dari belimbing wuluh yang dikeringkan. Selama proses pengeringan, belimbing dibubuhi garam sebagai pengawet alami, kadar air yang rendah serta bantuan garam membuat bumbu masakan ini tahan di simpan hingga tahunan.
Meskipun sudah banyak menu makanan asing yang di-adop oleh rumah makan di Aceh, namun menu khas yang berbahan dasar Asam Sunti ini tidak bisa disingkirkan. Siapa yang tidak kenal Asam keueung. Itu merupakan menu andalan yang mampu memanjakan lidah anda, tersedia di setiap rumah makan khas Aceh di mana saja.
Lain Asam Sunti, lain pula Bubong Oen. Ia merupakan bahan atap yang terbuat dari anyaman daun rumbia. Ya, tanaman perdu yang menghasilkan sagu. Ternyata, tidak hanya batangnya yang bermanfaat, melainkan daunnya juga. Warga Aceh menganyam daun rumbia untuk dijadikan atap rumah. Bahkan, rumah adat Aceh hingga kini masih mempertahankan keasliannya, beratapkan daun rumbia.

Seorang pengrajin sedang mengambil daun rumbia dari batangnya (gambar dari: Aceh[dot]traffic[dot]com)
Tidak dipungkiri, peningkatan taraf perekonomian dan kemajuan zaman, menyebabkan masyarakat beralih kepada penggunaan seng dan genteng sebagai atap rumah. Peralihan yang tentunya wajar-wajar saja. Namun demikian, keadaan ini tidak mengakibatkan produktifitas pengrajin atap rumbia terhenti begitu saja. Masih banyak juga yang hingga saat ini menggunakan anyaman daun rumbia sebagai atap. Disamping harganya ekonomis, penggunaan atap rumbia juga menghadirkan nuansa alami dan juga tahan lama.
Di Kecamatan Kuta Baro ini misalnya, nyaris setiap desa terdapat pengrajin atap rumbia. Ketersediaan perdu rumbia yang berlimpah merupakan faktor utama penunjang hal ini. Proses pembuatan anyaman atap rumbia sangat sederhana. Hanya membutuhkan daun rumbia, belah rotan dan batang bambu.
Batang bambu merupakan gagang utama tempat merekatkan daun rumbia, sedangkat belah rotan sebagai penganyamnya. Dibutuhkan batang bambu yang cukup tua, agar memiliki kekuatan yang baik, tahan lama serta tidak mudah patah. Batang bambu dipotong sepanjang 1,80 m kemudian dibelah seukuran jari. Demikian juga dengan belah rotan, harus menggunakan rotan yang baik dan tahan.
Di sini, satu lembar atap daun rumbia biasanya dijual dengan harga Rp. 2.000,-. Dikumpulkan dalam satu ikat sebanyak 50 lembar. Pengrajin menjualnya kepada para pengumpul, namun ada juga pembeli yang langsung datang ke tempat. Permintaan pasar tidak pernah sepi, bahkan ada yang harus memesan terlebih dahulu, dalam jumlah tertentu.
Permintaan atap rumbia paling banyak biasanya oleh penyedia layanan pariwisata dan rumah makan. Mereka menggunakan atap rumbia pada paviliun dan dangau tempat istirahat. Seperti halnya gubuk wisata di tepian pantai Lhoknga. Sebagian besar lainnya untuk perusahaan batu bata. Mereka lebih memilih menggunakan atap rumbia pada bagunan dapur pembakaran maupun tempat mencetaknya. Beruntunglah, kita bisa mengolah sampah menjadi hal yang berguna dan menjadi sumber penghasilan.
'Bubong Oen (Atap dari Anyaman Daun Rumbia) Masih Diminati di Aceh' have no comments
Be the first to comment this post!