Budaya Aceh Besar, Dari Maulid Nabi Hingga Kenduri Blang

Semenjak menikah dan tinggal di Desa Meunasah Tutong, Aceh Besar, saya menyadari bahwa kabupaten ini menyimpan begitu banyak ragam budaya. Budaya Aceh ini mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari. Hampir segala perayaan keagamaan dirayakan secara meriah di sini.

 

Kuah tuhee dengan srikaya

 

Desa Meunasah Tutong merupakan salah satu desa di kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, yang terbagi dalam beberapa mukim. Mukim ini serupa distrik. Dan Meunasah Tutong berada dalam Mukim Lamgarot bersama Desa Bakoy, Meunasah Baro, Meunasah Dayah, Meunasah Manyang, Pasi, dan Siron. Kata meunasah sendiri merujuk pada kata mushala (tempat ibadah). Dan bisa dipastikan, hampir seluruh desa di mukim ini memiliki mushala walau jaraknya lumayan berdekatan. Sebab bagi masyarakat Aceh sendiri, mushala bukan sekedar tempat ibadah, tetapi juga menjadi tempat berkumpul layaknya balai pertemuan.

Saya akui, desa-desa ini memiliki nilai budaya yang masih sangat kental dijalankan. Ragam budaya Aceh ini mengikat dalam kehidupan masyarakat begitu juga dengan nilai-nilai keislamannya. Maka tak heran, hampir seluruh desa memiliki ruh agama yang sangat kuat.

 

Kuah beulangong salah satu menu wajib saat kenduri di Aceh

 

Salah satu budaya Aceh yang diperingati dengan meriah di desa Meunasah Tutong adalah maulid Nabi Muhammad Saw. Seperti diketahui, di Aceh peringatan maulid Nabi Muhammad Saw berlangsung selama tiga bulan. Hampir rata-rata setiap akhir minggu, masing-masing desa melakukan peringatan dengan kenduri besar. Kenduri ini dipusatkan di meunasah desa dengan memasak kuah beulangong (kari sapi/kambing) secara berjamaah. Segala kebutuhan kuah beulangong disiapkan bersama-sama, seperti memotong pisang, memotong nangka, dan tentunya daging sapi/kambing. Setelah semua bahan disiapkan, proses memasak juga dilakukan bersama-sama. Dan kuah beulangong yang telah masak akan dibagikan secara adil bagi seluruh masyarakat. Maka tak heran, hampir rata-rata desa di Aceh Besar memiliki belanga besar sebagai tempat memasak kuah beulangong. Belanga ini disimpan di ruang khusus yang masih berada di area halaman mushala.

 

Kuah beulangong yang siap dibagikan untuk warga

 

Peringatan maulid di Aceh Besar terbilang meriah. Saya merasakan itu. Selain menu kuah beulangong, juga terdapat banyak menu wajib lainnya, seperti kuah tuhee berupa nasi ketan yang disajikan dengan kuah santan bercampur pisang dan nangka. Kemeriahan peringatan maulid Nabi Muhammad Saw semakin terasa saat masing-masing rumah menghadirkan grup dalail khairat yang bershalawat dan menganggungkan nama Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Bisa ditebak riuh suara bersahutan antar rumah di seluruh penjuru desa.

 

 

Selain peringatan maulid yang meriah, saya menyadari ternyata di Aceh Besar juga ada kenduri yang dilakukan sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta. Kenduri ini merupakan salah satu budaya Aceh yang telah mengakar sejak beratus tahun lalu. Salah satunya adalah khenduri blang atau kenduri sawah. Seperti namanya, kenduri ini dilakukan di sawah sebelum masa menanam padi dimulai dan ketika musim panen tiba. Di Desa Meunasah Tutong sendiri, kenduri blang dilakukan di tanah lapang dekat sawah. Masing-masing rumah membawa makanan yang disantap bersama dan dilanjutkan berdoa bersama agar diberi hasil panen yang lebih baik. Selain itu, kultur masyarakat pedesaan juga masih kuat saat menyambut musim tanam padi. Misalnya, bagi masyarakat yang memiliki bebek dilarang untuk melepaskan bebeknya selama musim tanam padi. Sebab bebek yang sering berkeluyuran di tanah basah –terlebih di sawah− sering memamah bibit padi yang baru tumbuh. Sehingga dapat merugikan petani. Nah, kebiasaan ini digaungkan berulang-ulang melalui loud speaker meunasah (mushala) beberapa hari sebelum warga turun ke sawah.

 

Semarak perayaan budaya Aceh

 

Ada satu kultur masyarakat yang begitu membekas bagi saya hingga saat ini. Yaitu penyambutan linto baro (pengantin pria) oleh masyarakat kampung. Ini saya alami setahun lalu saat pertama kali menginjak kaki di Desa Meunasah Tutong. Budaya Aceh ini mungkin jarang bahkan tidak berlaku di perkotaan. Di desa, linto baro yang notabene warga baru disambut dengan sangat hangat. Ini saya rasakan sendiri. Saya masih ingat, berselang hari setelah pesta pernikahan, saya dianjurkan untuk bertandang ke meunasah kampung. Selain untuk melaksanakan shalat berjamaah, ini juga sebagai pintu awal memperkenalkan diri di depan masyarakat desa. Kebiasaan yang dilakukan adalah membawa ranup bagi masyarakat. Ranup merupakan cemilan khas Aceh berupa daun sirih yang membalut buah pinang, cengkeh, dan sedikit kapur. Ranup ini dibagikan ke seluruh jamaah usai shalat isya. Sambil mengunyah ranup, sesekali diselingi obrolan ringan untuk mencairkan suasana. Bagi saya cara ini lumayan jitu untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Hal sama juga dilakukan saat bulan Ramadan tiba. Saya dianjurkan membawa makanan yang disusun dalam nampan besar yang kemudian ditutup dengan tudung serupa tutup saji. Sajian makanan ini disebut idang. Makanan ini disantap secara bersama-sama dengan masyarakat desa dan tamu undangan.

 

Beragam menu disajikan saat perayaan budaya Aceh

 

Saya menyadari, Aceh Besar yang sangat luas ternyata memiliki budaya Aceh yang tak kalah luasnya. Budaya ini mengakar kuat dan memberikan kebanggaan tersendiri.

 

Mau jalan-jalan ke Aceh? Temukan berbagai pilihannya di sini: hotel, buat visa online, dan tiket pesawat


About

Hobi menulis. Tukang koleksi buku. Penulis serial "Teller Sampai Teler" (Elexmedia 2014). Follow twitter @ferhatmuchtar email; [email protected] Baca tulisan lainnya di www.ferhatt.com (kunjungi yaa)


'Budaya Aceh Besar, Dari Maulid Nabi Hingga Kenduri Blang' have no comments

Be the first to comment this post!

Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool