Setiap setahun sekali ummat Islam mengadakan maulid. Budaya Khas Aceh ini juga sebenarnya budaya dunia islam. Cuma caranya saja berbeda, di Aceh Maulid diadakan sepanjang tiga bulan. Selama tiga bulan itu, kita boleh pilih mengadakan maulid dari bulan ke tiga di kelender hijriah sampai bulan ke enam kalau tidak salah, pokoknya sebelum bulan Rajab acara makan-makan ini masih ada.
Jauh sebelum bulan maulid nenekku tercinta dan satu-satunya telah bersiap. Baru kutahu apa persiapan nenek ketika aku menjaga padi yang dijemur di atas tikar pandan. Beberapa ekor ayam, menerobos bleut (sejenis tembikar dari daun kelapa, dibuat seperti menyulam ketupat tapi tanpa dipotong, biasa digunakan untuk dinding sumur-kalau di taruh vertikal. Dan digunakan untuk melindungi padi dari gigitan ayam kalau di pajang secara horizontal) Oh iya, Ayam yang dengan lincah melompat melewati bleut secara aku lempar dengan tongkat supaya jangan memakan padi.
”Jangan dilempar itu ayam untuk maulid!” teriak nenek. tongkat yang sedang melayang di angkasa, masih slow motion. Di tendang nenek yang ikut melompati Bleut dan tercampakkan kedinding rumah di antara kelapa-kelapa tua. Begitu besar rupanya pengorbanan nenek untuk Budaya Khas Aceh di Pidie ini.
Nenek yang masih diantara ayam-ayam yang sedang dibiarkannya makan padi yang kujaga. Kenapa juga beliau menyuruhku menjaga ayam kalau ayam dengan leluasa dibolehkan makan. Lalu persiapan sebelumnya di H-2 bunda sudah sibuk menelpon Cut House (rumah potong) menogosiasikan ayam tambahan.
Untuk persiapan maulid Aku sudah disuruh memanjat kelapa, menjatuhkan kelapa tua, kelapa pateun, u riek dan kelapa muda untuk diriku sendiri. Sedangkan kelapa yang masih kecil-kecil masih harus sekolah di biarkan di atas, karena mereka mengantungkan cita-cita mereka tinggi-tinggi.
H-1 Budaya Khas Aceh ini kita sudah boleh makan breuet. ini adalah sejenis lauk dari potongan ayam, terdiri dari lehernya dan kulitnya. Tradisi makan breut ini tidak hanya pada acara maulid saja, tapi di semua khenduri di Pidie semua ada H-1 kita sudah makan breut di rumah acara. Tradisi ini sudah mulai tergusur semenjak katering dan pesta di gedung menjajah budaya nenek moyang kita.
Hari H pagi, lokasi dapur ibu-ibu mulai sibuk mengatur idang (adalah sebuah tabusi (tempat menaruh makanan seperti piring tapi berukurang 10x piring berbahan seng tebal) berisi nasi yang sudah di bungkus, ikan, ayam yang tadi makan padi dan pisang).
Lokasi menasah, para pemuda sedang menghias panggung dakwah. Pemain lain membersihkan halaman. Sayap kiri mendirikan tenda untuk tamu muspika, sayap kanan mempersiapkan mobil Halo-halo (mobil pengumuman bahwa di menasah ini akan ada dakwah dengan penceramah tunggal di menasah ini nanti malam). Bek kiri membersihkan kulah menasah, bek kanan mencuci gelas. Gelandang dan penyerang di depan menasah, berpakaian rapi, siap-siap menyambut tamu dari beberapa desa sebelah.
Saat yang keren adalah ketika idang datang. Berbondong-bondong kemenasah. Ada yang di antar mobil, motor, sepeda, becak dan yang paling romantic di bawa diatas kepala. (Di su uon). Idang di simpan di menasah dan diatur rapi. Puluhan Idang siap di bagikan kepada tamu yang datang.
Para tamu duduk satu baris, pertama dibagikan daun pisang yang sudah dilayu dengan api, lalu satu persatu di taruh nasi, lauk pauk, ikan, ayam yang makan padi tadi dan krupuk. Kalau beruntung anda juga akan mendapat pisang satu ekor.
Dulu, nasi yang sudah ditaruh keatas daun itu dimakan di lokasi tempat pagelara Budaya Khas Aceh di Pidie, lalu panitia sambil peserta makan, akan menyediakan daun yang berisi perangkat yang sama untuk di bawa pulang. Tapi sekarang adat ini sudah bergeser, setelah semua lauk di taruh. Peserta dari desa lain langsung mengeluarkan plastic dari kantongnya dan membawa pulang nasi itu.
Yang pergi ke maulid Budaya Khas Aceh di menasah semua laki-laki, wanita dirumah memasak. Walaupun masakan dirumah enak, tapi wanita-wanita tetap mengidolai nasi maulid yang di bawa pulang suaminya dari menasah. Karena nasi maulid di atas daun itu enak sekali, bercampur semua lauk dan pauk yang sulit di tebak apa-apa saja yang sudah didalamnya.
Di rumah-rumah desa penyelenggara maulid juga tidak kalah meriah, saudara-saudaranya dari desa lain dan kota lain juga di undang, untuk makan dirumahnya. Suasananya kadang lebih meriah dari lebaran. Begitu hebatnya Budaya Khas Aceh ini.
Itu di desa, dikota bukan idang, tapi nasi kotak restoran, bertinding di menasah pada hari H, ada juga sih yang bawa idang, tapi taka pa. feelnya masih terasa, yang disayangkan di kota adalah tamu yang datang kerumah. Ada yang pergi dengan pacarnya. Begitukah cara mereka memuliakan Nabi?
Malam hari adalah kemeriahan luar biasa, desa tiba-tiba berubah menjadi kota di malam itu, pedagang bakso mulai buka cabang di sudut-sudut menasah. Pedagang jagung, kacang rebus dan makanan cepat saji lainnya berdatangan.
Seluruh panitia mandi dan memakai pakaian terbaik mereka, memastikan semua peralatan. Panggung sudah dari tadi menyala, sinarnya dari lampu klap-klip berwarna-warni, juga bling-bling manik-manik hiasan dinding panggung. Sebuah mix hitam tertonggok diatasnya. Diatas meja panggung.
Dari jam 10 malam penceramah berbicara tentang kemuliaan Nabi, sejarah beliau, sunnah beliau, sesekali sang penceramah bernyanyi, sekali kali mengalunkan Al-qur-an dan sesekali membuat para penonton yang berjumlah ratusan tertawa.
Begitulah maulid di desaku. Bagaimana di desamu, kawan?
'Maulid Nabi, Budaya Aceh Paling Lezat Sedunia dan Akhirat' have no comments
Be the first to comment this post!