Filosofi Minum Kopi Di Aceh

Ada berbagai nama yang pernah disematkan untuk Aceh. Ada yang baik dan -tentu saja- yang buruk. Meskipun biasanya bagi mereka yang sudah pernah mengunjungi tanah Aceh akan tersenyum dan merasa geli. Aceh ternyata wilayah yang ramah, penuh dengan berbagai cerita menarik, pesona kuliner yang dihasilkan dari perpaduan makanan Asia-Eropa-Arab-Cina, wisata alam yang lengkap dari pantai laut pesisir sampai hutan rimba pegunungan, dan sangat berbeda dengan hoax buruk yang sering dilekatkan.

Salah satu nama yang dilabelkan pada provinsi paling barat Indonesia ini adalah Negeri Sejuta Kedai Kopi. Cocok. Dua hal yang paling mudah ditemukan di Aceh adalah warung kopi dan masjid (atau mushola). Sedikit berjalan saja, akan menemukan setidaknya satu warung kopi. Ketika waktu shalat tiba, suara adzan terdengar dari berbagai penjuru. Begitu dekatnya sampai beberapa warung kopi tak merasa perlu menyiapkan area shalat. Karena pengunjung bisa shalat di masjid atau meunasah (mushala dalam bahasa Aceh) yang terdekat.

Sudah menjadi hal umum, ketika adzan berkumandang, pengunjung hanya memberi mode kepada pemilik warung, lalu meninggalkan meja untuk shalat di masjid, meunasah, terdekat. Selepas shalat, kembali lagi ke warung kopi, dan makanan minuman kopi yang ditinggalkannya masih utuh dan aman, bahkan tak bergeser dari tempatnya.

Hal yang pernah menjadi obrolan ‘tak enak’ ketika beberapa teman dari daerah lain di luar sumatera berkunjung ke Aceh. Malas betul orang Aceh. Pernyataan yang muncul ketika melihat banyak orang menghabiskan waktunya di warung kopi sampai berjam-jam. Ungkapan malas itu memang layak bila rujukannya adalah sekelompok orang yang datang ke warung kopi hanya untuk secangkir kopi paling murah lalu bertanya pasword wifi dan meghabiskan waktu berjam-jam untuk keluyuran daring tanpa arah tujuan jelas, hanya sekedar untuk ‘tampil’ di sosial media, itu pun tak punya nilai manfaat.

Kesampingkan Wifi

Lupakan sejenak keberadaan wifi atau koneksi internet lainnya. Warung kopi di Aceh adalah sebuah tempat dengan nilai yang sangat berbeda. Filosofi Kopi. Dua kata yang sempat populer dan melekat dengan sebuah film nasional yang diangkat dari tulisan novelis papan atas Indonesia Dewi Lestari, Dee. Tapi jauh sebelum tulisan fiksi yang mendapat penghargaan di ajang Khatulistiwa Award tahun 2006 atau menjadi Film pada tahun 2015 itu, Aceh sudah punya Filosofi tersendiri soal kopi. Pemikiran dan budaya yang kemudian menjadikan warung kopi sebagai salah satu komponen sosial penting dalam tata kehidupan masyarakat Aceh.

Pada tahun 1979, Lee Eisenberg menulis di majalah Esquire Vol. 92. Tulisan itu merupakan bagian catatan awal yang memperkenalkan kombinasi makan siang dengan agenda perbincangan bisnis maupun politik. Konsep yang kemudian semakin berkembang di Amerika dan Eropa. Tapi jauh sebelum itu, warung kopi bahkan sudah memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Aceh, bahkan sejak awal kemerdekaan Indonesia.

Asoe Kaya, penganan manis dari gula dan telur, yang merupakan salah satu menu pendamping khas di warung kopi.

Warung kopi adalah pusat informasi sosial budaya politik bahkan hukum. Pada masa lalu, jalur distribusi informasi belum semasif dan semudah sekarang. Jaringan telpon adalah barang langka. Maka pertemuan langsung akan menjadi cara untuk mendapatkan, membagikan, mengumpulkan beragam informasi. Perlahan tapi pasti fungsi sebagai tempat informasi menjadikan warung kopi sebagai titik penting yang akan rutin dikunjungi. Dan imbasnya adalah dari waktu ke waktu warung kopi merupakan tempat termudah untuk bertemu dan menemukan para pejabat publik hingga cerdik pandai.

Ingin mendapatkan kabar terbaru di masyarakat, ke warung kopi. Cermat saja mengamati obrolan di sekitar, maka data terbaru akan hadir dan bisa menjadi amunisi dahsyat untuk mencari berita selengkapnya bagi para wartawan, pemerhati sosial, atau bahkan para penyelidik dari institusi keamanan. Pada masa konflik Aceh, warung kopi bahkan menjadi sumber informasi tercepat untuk mengetahui kondisi keamanan, dimana ada kontak senjata, dimana ditemukan korban, hingga informasi keamanan menyangkut jalur gerak pasukan non pemerintah ataupun pemerintah. Tentu saja untuk urusan spionase ini, bahasanya bersandi dan penuh kode.

Keude Kupi di Aceh, umumnya menyediakan makanan ‘berat’. Bukan hanya Mie Aceh yang terkenal, martabak telur, atau nasi goreng. Juga menyediakan lontong sayur, nasi soto, sate, bahkan ada yang menyajikan Mie Kocok.

Tanpa mengenal batasan apakah itu makan siang, sarapan pagi atau waktu untuk santap malam, warung kopi di Aceh juga menjadi tempat transaksi bisnis. Lebih menyukai suasana santai semi formal, banyak pelaku bisnis di Aceh memilih warung kopi sebagai tempat untuk membuat transaksi atau kesepakatan bisnis. Bukan sekedar obrolan pembuka yang ditindak lanjuti kemudian di kantor, banyak transaksi bisnis bermula dan tercapai di meja-meja warung kopi. Beberapa warung kopi bahkan menyediakan materai, formulir perjanjian usaha hingga akte jual beli.

Hal yang tetap ada hingga sekarang. Meskipun terus digempur dengan individualisme yang semakin terbentuk di kalangan muda pengguna internet, penganut filosofi minum kopi di Aceh masih terus bertahan. Dan akan tetap begitu.

Mau liburan ke Aceh? Cari di sini: tiket pesawat dan hotel


About

Full time stay at home father, part time blogger-writer-graphic designer, and sometime traveler wanna be.


'Filosofi Minum Kopi Di Aceh' have no comments

Be the first to comment this post!

Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool