Geulayang Tunang, Ayah dan Masa Kecil di Aceh

Siapa yang tak kenal dengan layang-layang? Benda melayang yang membelah angkasa ini selalu menjadi permainan favorit para anak laki-laki di kampung dan menjadi permainan yang begitu menyenangkan hingga tak jarang untuk diperlombakan. Bahkan mengejar layangan yang baru putus menjadi kegiatan yang begitu menyenangkan, walaupun harus mengejar sejauh apapun dan layangan yang diincar belum tentu didapatkan. Layaknya mengejar gadis yang disukai, engkau akan mengejarnya sejauh apapun, namun akan pasrah jika ternyata dia adalah jodohnya orang lain.

Layang-layang pun sudah menusantara sejak abad 21, dibuktikan dengan adanya temuan lukisan gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang memberikan kesan orang yang sedang bermain layang-layang. Di beberapa daerah layang-layang digunakan untuk beberapa fungsi. Ada yang menjadikannya hanya sebagai alat permainan ataupun sebagai ritual di bidang pertanian, seperti layang-layang yang terdapat di Jawa Barat (dikenal dengan istilah maen langlayangan), ataupun di Betawi yang mengenal layangan dalam dua jenis yaitu layangan hias (koang) dan layangan aduan (layangan laga).

Di Pangandaran, layang-layang berfungsi sebagai penjerat untuk menangkap kalong atau kelelawar. Sedangkan di Bali, layang-layang lebih dipercaya sebagai bentuk pemujaan untuk dewa layangan yang disebut dengan Dewa Angon. Setelah diberi sesaji, layang-layang tersebut telah dikeramatkan dan diisyaratkan untuk tidak boleh menyentuh tanah. Bila hal itu terjadi, maka dipercayai akan memperoleh kemalangan.

Geulayang Tunang. Photo by [medandailydotcom]

Lain halnya dengan di Aceh, pesta layangan ini dikenal dengan nama geulayang tunang. Geulayang tunang dalam bahasa Aceh berasal dari dua suku kata yang bermakna geulayang yaitu layang-layang, dan tunang yang berarti diadu atau diperlombakan. Awalnya geulayang tunang dijadikan sebagai pesta rakyat untuk menyambut musim panen. Namun saat ini, geulayang tunang tidak hanya bermakna pesta layangan, tetapi juga aktivitas bermain layang-layang secara bersama-sama ataupun berkelompok tanpa mengharuskan adanya hadiah bagi siapapun nanti yang keluar sebagai pemenang.

Walaupun hanya sebagai permainan kelompok, namun tetap saja akan ada unsur mengadu atau memperlombakan layangan bagi siapa saja yang berhasil membuat layangannya terbang paling tinggi dan seimbang walaupun diterpa oleh angin yang kekuatannya bermacam-macam. Biasanya geulayang tunang ini akan ramai ketika musim panen tiba ataupun angin timur tengah berhembus. Waktu sore adalah pilihan waktu terbaik yang biasanya dipilih para pemain geulayang sambil membawa geulayang tandingannya menuju pematang luas ataupun lapangan kosong. Sesampainya di lapangan, akan banyak orang yang telah berkumpul walaupun hanya sekedar menonton tanpa membawa layangan.

Layang Kleung. Photo by [tribunnewsdotcom]

Bentuk geulayang pun didominasi oleh layang-layang dengan sayap dan ekor, mirip dengan bentuk burung elang yang terbang tinggi sehingga disebut dengan Layang Kleung. Layang-layang ini terbuat dari bambu khusus yang dicari di hutan, yang kemudian dibelah, diraut dan dihaluskan sampai lentur hingga membentuk lengkungan sayap yang dapat disatukan satu sama lain. Kata Ayah, bentuk layangan bersayap yang dimainkan di Aceh ini adalah adopsi dari layangan Malaysia, dan di pihak lain ada yang menyebutnya sebagai adopsi layangan di Jepang.

Ayah selalu menjadi pembuat layangan paling mahir menurutku. Saat kerangka layangan dibuat, maka hal tersusah dalam membuat layangan adalah menimbang keseimbangan kedua sayap. Ini fatal kata Ayah, karena jika tidak seimbang maka akan membuat layangan susah untuk naik atau akan terlalu banyak “fase jogetnya” dibandingkan fase tenangnya saat bermain di atas langit.

Jika sudah musim layangan tiba, sifat rajin Ayah membuat layangan semakin bertambah parah, hingga tak heran jika beliau mengoleksi banyak layangan yang biasanya disimpan di atas tiang penyangga atap rumah. Namun tetap saja, beliau beralibi bahwa layang-layang yang ia ciptakan sengaja dibuat untuk dimainkan di berbagai jenis angin. Ada jenis layangan yang dibuat dengan kerangka sayap yang keras untuk dimainkan di atas angin yang sedikit keras, ataupun kerangka layangan yang agak lembek, yang diperuntukkan untuk angin yang lebih selow.

Ayah selalu menggunakan kertas minyak warna-warni untuk membuat layangan. Warna kesukaannya adalah hijau terang dan kuning terang, tanpa mengenal istilah hijau lumut, kuning telur, hijau tosca, kuning cream dan campuran warna lainnya. Namun nyatanya warna-warna pilihannya telah membuat layangan miliknya berwarna mencolok dibandingkan warna layangan lainnya saat dimainkan di atas langit. Percaya ataupun tidak, sampai dalam memilih warna cat rumah dan gorden pun ayah tetap memilih warna kuning dan hijau terang, hingga membuat rumah kami lebih mirip dengan warna masakan masam keueng, membuat mata siapapun akan silau jika melihat rumah kami.

Keseruan Geulayang Tunang. Photo by [hikayatbandadotcom]

Masa kecil kami diisi dengan menyaksikan permainan geulayang tunang setiap sorenya di lapangan voli dekat rumah. Setiap sore kami dapat melihat layang-layang berwarna-warni yang menghiasi langit di berbagai sisi. Di satu pojokan lapangan, ada segerombolan anak laki-laki yang bersiap dengan sepeda mereka, menatap langit dengan waspada dan mengintai layangan yang sekiranya putus untuk kemudian dikejar. Tapi kami tidak bergabung dalam kelompok anak-anak tersebut. Kata Ayah, daripada kalian mengejar layangan hingga ke jalan raya dan membahayakan nyawa kalian, lebih baik Ayah yang membuatkan layangan untuk kalian. Satu-satunya layangan yang dibuat Ayah adalah untuk adik laki-lakiku seorang, sebab ke enam anak Ayah lainnya tidak berniat untuk memainkan layang-layang melainkan hanya menonton setiap sorenya. Ya, enam dari tujuh anak Ayah adalah perempuan, jadi tidak mungkin bermain layang-layang.

Anak-anak yang menonton Geulayang Tunang. Photo by [hikayatbandadotcom]

Namun sayangnya, agenda geulayang tunang di Aceh semakin hari semakin berkurang. Bahkan setelah Tsunami, aktivitas permainan geulayang tunang semakin jarang terlihat di kampung-kampung. Entahlah, mungkin faktor cuaca Aceh yang lebih sering berubah dalam satu hari membuat permainan ini semakin jarang dimainkan. Selebihnya, mungkin anak-anak atau orang tua masa kini lebih tertarik untuk menatap layar gadget setiap harinya, sambil menikmati secangkir kopi di warung kopi ternama daripada menghabiskan waktu untuk membuat layangan seperti Ayah di saat kami masih kecil dulu.

Mau liburan ke Aceh? Cari di sini: tiket pesawat dan hotel


About

Pengejar Senja, Langit dan Laut.


'Geulayang Tunang, Ayah dan Masa Kecil di Aceh' have no comments

Be the first to comment this post!

Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool