Sebuah negeri tak akan dikenal merdeka, jika tidak ada perjuangan dari para pejuang di zaman dahulu hingga ke titik darah penghabisan. Begitupun, tidak selamanya hanya semangat dan fisik yang bertemu lalu beradu dengan senjata yang menjadikan negeri ini bisa terbebas dari serangan penjajah. Sangat banyak aksi heroik yang dilakukan oleh mereka, sekelompok orang dengan semangat yang sama dengan para pejuang, namun mereka memilih mengotak-atikkan pemikiran, membantu membakar semangat para pejuang yang lain, hanya dengan memilih duduk di balik layar.
Ya, lakon ini diprakarsai oleh para penyair dan ulama Aceh kala itu. Mereka dahulu menyebutnya sebagai haba jameun, sebuah karya sastra yang terdiri dari prosa fiksi, terdiri dari puisi lisan seperti pantun dan syair, dan ada pula prosa lirik yang akhirnya lazim dikenal dengan nama hikayat.
Keberadaan hikayat sangat terkenal pada masa peperangan melawan penjajah. Pada masa ini peranan kesenian memang agak terpinggirkan. Dengan hadirnya Hikayat Aceh sebagai salah satu seni karya sastra kala itu sangat berpengaruh sebagai media yang dapat menumbuhkan semangat juang masyarakat Aceh, walaupun terkadang juga menggunakan haba jameun.
Ilustrasi Perjuangan Rakyat Aceh Ketika Melawan Penjajahan Kolonialisme Belanda
Dalam masyarakat Aceh, hikayat dikenal sebagai sebuah karya sastra yang disampaikan secara bertutur dengan irama lagu dan gaya yang khas, untuk menyampaikan pesan-pesan agama, adat istiadat, moral dan lain-lain. Pada zaman dahulu hikayat digubah secara lisan, setelahnya barulah lahir hikayat dalam bentuk tulisan.
Salah satu hikayat yang paling terkenal membakar semangat jihad para pejuang Aceh adalah Hikayat Prang Sabi yang ditulis oleh Teungku Haji Muhammad Pante Kulu, yang lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Pante Kulu. Begitu hebat dan meresapnya kandungan makna yang terdapat dalam hikayat ini sehingga sangat ditakuti oleh Belanda hingga mereka melarang pembacaan hikayat tersebut. Bahkan Belanda sampai menyiapkan lagu penyemangat yang dikirim kepada serdadu-serdadu Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh (Paul Van Veer, 1985, hal. 54) sebagai tandingan terhadap Hikayat Prang Sabi yang mampu membakar semangat jihad para pejuang Aceh.
Beberapa syair yang berperan dan sangat merangsang para pejuang Aceh dapat diikuti dari hasil penyelidikan tentang sabab musabab terjadinya “Pembunuhan Aceh” oleh R.A. Kern (Inventaris van de Papieren van R.A. Kern 1975-1985) halaman 27:
“Mengenai isi Hikayat Prang Sabi yang sesungguhnya kita masih meraba-raba….. maka hikayat merupakan sebuah bacaan yang sangat sesuai untuk membakar semangat dan menggerakkan mereka melakukan serangan kepada orang-orang kafir”.

Naskah Hikayat Prang Sabi yang dituliskan oleh Teungku Chik Pante Kulu. Photo by: [atjehcyberdotnet]
Menurut Abdul Rani Usman, dkk, dalam buku Budaya Aceh (2009), disampaikan bahwa syair-syair yang menggelorakan semangat juang ini juga disampaikan melalui media tari, nyanyian dan penyampaian hikayat itu sendiri melalui pembaca hikayat yang diselingi dengan berbagai orkes tradisional, seperti orkes geudrang (genderang), yang terdiri dari: satu buah seurunee (alat perkusi khas Aceh) dan dua buah geudrang tuto. Orkes pada mulanya digunakan untuk mengiringi arak-arakan, juga digunakan pada waktu perayaan pasar malam dan keramaian lainnya.
Orkes suleng (seruling) yang terdiri dari satu buah suleng dan satu buah tambo, juga dimainkan dalam alangan (keramaian) dn piasan. Orkes hareubab (alat gesek khas Aceh) yang terdiri dari satu buah hareubab, dua buah atau lebih gedeumbak (gedombak). Musik ini juga digunakan dalam penampilan pantun Aceh. Selain orkes geudrang dan suleng, terdapat juga orkes vioool (biola) yang mengiringi penyampaian hikayat Aceh ataupun pantun Aceh. Biasanya orkes ini terdiri dari satu buah biola dan satu buah gon.
Geudrang, salah satu alat musik yang digunakan dalam orkes geudrang, sebagai pelengkap media pembacaan hikayat di zaman dahulu.
Lain dahulu, maka lain pula hikayat Aceh zaman sekarang. Hikayat saat ini masih menjadi karya seni sastra Aceh walaupun dengan bentuk penyampaian dan isi hikayat yang berbeda dengan zaman dahulu. Tersebutlah seorang tokoh teater tutur hikayat Aceh yang mulai terkenal dengan penyampaian hikayat khas miliknya, yaitu almarhum. H. Adnan PMTOH yang populer sejak tahun 1960-an.
Pertunjukan hikayat yang dibawakan oleh beliau bersifat monolog, dan isi teks hikayat yang disampaikan tidak hanya berisi cerita mengenai perjuangan bangsa Aceh di zaman dahulu, namun juga berisi mengenai keadaan negeri, politik bahkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Aceh saat ini yang dikemas dalam bentuk pantun Aceh, disertai dengan bumbu candaan dan komedi. Saat ini hikayat disampaikan masih berupa tuturan cerita namun dilengkapi dengan berbagai atribut penampilan sebagai pelengkap cerita, seperti kostum, boneka, pedang, rapai, senjata mainan, mobil-mobilan dan lain-lain.
Alm. H. Adnan PMTOH, sang penutur Hikayat Aceh. Photo by: [iloveacehdotorg]
Keberadaan teater tutur hikayat Aceh versi H. Adnan PMTOH kini dilanjutkan oleh muridnya Agus Nuramal yang dikenal dengan nama Agus PMTOH. Teater tutur Aceh saat ini telah mendunia, maka jangan heran jika pertunjukan ini akan sering kamu lihat penampilannya di beberapa stasiun televisi dan di beberapa acara kesenian, tidak hanya di Aceh, namun juga di beberapa perhelatan kesenian nasional dan internasional.
'Hikayat Aceh: Seni Sastra Aceh yang Berperan Melawan Belanda' have 2 comments
July 20, 2024 @ 10:49 am Alaika Abdullah
Beutoi that. Kemerdekaan sebuah negeri tak hanya berkat andil para pejuang yang bergerak di medan laga, namun juga oleh para tokoh dan rakyat yang bermain di balik layar, sesuai dengan peran mereka masing-masing.
Jadi ingat lagi dengan alm. Bapak Adnan PMTOH, udah lama sekali legendanya yaaa? Aksi beliau sungguh luar biasa, dan sempat sedih saat kepergian beliau, takut teater tutur juga akan redup. Syukurlah jika kini sudah ada penerusnya. Sukses terus untuk Aceh lon sayang, dan kita semua. Aamiin. Thanks for sharing, Ismi.
August 24, 2024 @ 10:14 am Ismi Laila Wisudana
Masama kakak, semoga tulisan ini bermanfaat 🙂