Jalan-jalan Ke Museum Tsunami Terbesar Di Asia Tenggara

Mengingat tsunami, berarti saya mengingat betapa hebatnya Tuhan itu. Semua peradaban Aceh yang telah terbangun selama puluhan bahkan ratusan tahun, lenyap seketika. Tidak perlu waktu lama, hanya dalam hitungan menit, semuanya rata dengan tanah. Rasa itu pula yang pelan-pelan ingin saya tanamkan dalam diri anak-anak saya. Kelak, mereka bisa mengetahui betapa hebatnya rencana Tuhan itu.

Sepuluh tahun sudah Gempa dan Tsunami berlalu, kini Aceh sudah berbenah kembali. Untuk mengingat kembali memori yang memilukan tersebut dan sekaligus saya ingin mengajari anak-anak saya mengenai musibah dari Tuhan tersebut, saya mengajak mereka untuk bermain-main ke Museum Tsunami yang terletak di tengah kota Banda Aceh. Letaknya tidak jauh dari monumen pesawat RI 001 yang terletak di lapangan Blang Padang Banda Aceh. Pun, letak gedung yang megah dan menyerupai rumah Aceh ini bersebelahan dengan komplek kuburan massal tentara Belanda, Kherkhof.

Langkah kaki dengan mantap saya ayunkan menuju pintu masuk museum tersebut. Anak-anak saya papah agar mereka tidak lepas dari genggaman. Maklum saja, jumlah kunjungan perhari di museum ini bisa mencapai seribuan orang, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Tas ransel yang saya bawa, wajib saya titipkan ditempat penitipan tas yang terletak di sebelah kiri pintu masuk.

Hap, seketika beberapa brosur yang berisi informasi mengenai museum Tsunami ini pun sudah berada ditangan saya. Brosur ini dibagi dengan gratis dan diletakkan diatas meja resepsionis Museum. Bahkan, menurut staff yang bertugas, Museum Tsunami juga menyediakan jasa tour guide dan ini gratis. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya sama sekali.

Menurut informasi yang saya baca dari brosur tersebut, gedung ini didesain dan dibangun dengan konsep ‘Rumoh Aceh As Escape Building’ yang berarti bangunan museum ini berfungsi sebagai Bangunan penyelamatan dari gelombang tsunami yang bisa datang kapan saja. Tujuan awal pendirian Museum Tsunami ini adalah untuk mengenang korban bencana Gempa dan Tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 2004 silam, sebagai sarana edukasi bagi generasi muda tentang seluk beluk Tsunami dan bagaimana menyelamatkan diri darinya. Lalu yang terakhir, sebagai pusat evakuasi warga jika Tsunami datang lagi.

undefined

Langkah kaki kembali saya lanjutkan, didepan saya terpampang sebuah lorong yang gelap sepanjang 30 meter. Air mengalir di kedua sisi dindingnya, sesuara gemuruh air sesekali terdengar, cahaya yang remang-remang, lorong yang sempit dan sedikit lembab dan sayup-sayup, terdengar alunan ayat-ayat suci Al-Quran. Seketika itu, perasaan hati saya menjadi campur aduk. Antara syahdu, sendu, dan sedikit terhenyak. Ada rasa panik yang mulai mengganggu, dan saya pun mempercepat langkah kaki. Ketika berhasil melewati lorong tersebut, saya membuka brosur yang sedari tadi masih saya pegang.

“Lorong Tsunami Space Of Fear”. Begitulah yang tertera, ternyata lorong yang tadi saya lewati bernama lorong Tsunami Space of Fear. Sebuah lorong yang menggambarkan saat seorang korban digulung oleh gelombang tsunami. Sempit, gelap, dan hanya ada gemuruh air. Ketinggian lorong yang mencapai sekitar 19-23 meter, melambangkan ketinggian air tsunami kala itu.

Sumur Doa

Dari lorong gelap dan lembab tersebut, selanjutnya saya sampai pada sebuah ruangan yang begitu banyak kaca disisi dindingnya. Lantainya berundak-undak, disetiap undakannya terdapat sebuah monitor. Ruangan ini disebut ruangan Memorial Hall. Ada 26 monitor yang dipasang, dan kesemuanya muncul 40 lembar gambar tsunami yang ditampilkan dalam bentuk slide. Gambar-gambar tersebut kembali mengingatkan saya betapa kenangan tsunami Aceh 2004 tersebut begitu sulit dilupakan.

Ruangan yang berhiaskan dinding kaca ini mengambarkan seolah-olah saya sedang berada di lautan lepas. Dimana kaca cermin yang berhadap-hadapan tersebut memberikan kesan tidak ada ujungnya, hanya ujung horizonnya saja, sama seperti laut lepas. Sedangkan monitor yang ada tersebut, dilambangkan layaknya batu yang terbawa bersama gelombang tsunami yang datang.

Setelah puas dan sedikit menitikkan air mata karena melihat foto-foto yang ditampilkan melalui monitor yang ada diruang Memorial Hall. Penelurusan saya lanjutkan ke sebuah ruang yang di sebut Sumur Doa. Dalam ruangan sumur doa ini kembali saya mendengar lantunan ayat-ayat suci Al Quran. Bedanya, suara itu lebih jelas dibandingkan ketika saya masih berada di Lorong Tsunami tadi. Ternyata, dari sinilah suara sayup-sayup tadi berasal.

Di sebut Sumur Doa karena di sudut inilah memori kita akan jauh lebih banyak mengingat korban tsunami, baik dari nama-nama korban yang sebagiannya terpajang di dinding ruangan yang berbentuk sumur ini, juga alunan syahdu ayat suci yang terus mengalun sepanjang museum masih terbuka untuk dikunjungi. Pastilah, sambil menerawang melihat nama-nama itu, sekelumit doa akan terucap, baik untuk korban yang kita kenal maupun untuk korban secara umum. Apalagi diriku yang memang kehilangan seorang paman secara langsung. Pamanku masa itu tinggal di daerah yang langsung bersentuhan dengan tsunami, daerah yang sekarang seolah tak pernah terjamah musibah itu, Ule Lheue. Ah sudahlah, itu cerita saya.

Kembali lagi ke sumur doa ini, saya di ingatkan akan korban tsunami yang masih hidup dengan berbagai cerita, yang bahkan tidak sanggup menapakkan kaki di banyak situs yang mengenang musibah itu. Entahlah, kadang luka hatinya masih menganga lebar.

Dari sumur doa, saya langkahkan kaki ke ruangan selanjutnya, Jembatan Harapan. Menuju jembatan ini, saya harus melewati lorong yang didesain berkelok dan lantai yang tak rata sebagai filosofi dari perasaan para korban tsunami lalu. Lorong ini terus mengular sampai ke atas, semakin ke atas semakin terang. Mungkin, penggambarannya melambangkan bahwa sehabis gelap, terbitlah terang. Dimana, sebuah harapan selalu ada setelah musibah datang.

Di ujung lorong, saya mendapati Space Of Hope (Jembatan Harapan),sebuah jembatan terbentang melintang menghubungkan ke lantai selanjutnya. Di bagian atas tergantung banyak bendera dari negara-negara yang telah membantu Aceh kembali bangkit dari musibah gempa dan tsunami aceh.

Miniatur Masjid Desa lampuuk

Museum ini terdiri dari empat lantai. Di lantai selanjutnya terdapat ruang pamer, ruang simulasi tsunami dan ruang audio visual. Sayangnya hari itu lantai paling atas tidak di dibuka untuk pengunjung. Saya hanya bisa sampai lantai tiga, melihat-lihat miniatur kota Banda Aceh sesaat setelah stunami, foto-foto tsunami, replika kejadian tsunami dan lainnya.

(Visited 111 times, 1 visits today)


About

Saya, bapak beranak dua, menyukai jalan-jalan. Blogger ecek-ecek. Penulis Ecek-ecek. Mecintai Keluarga dengan Serius.


'Jalan-jalan Ke Museum Tsunami Terbesar Di Asia Tenggara' have 12 comments

  1. June 15, 2024 @ 5:25 pm Bai RUindra

    Wow! Postingan pertama yang panjang dan lengkap. Yudi memang sesuatu :)

    Reply

  2. June 15, 2024 @ 6:26 pm Dwi Pramono

    Wah, selamat untuk postingan pertama di HelloAcehku.com. Gagal komen pertamax nih, padahal sejak pagi udah ngintip belum ada postingan… 😀

    Reply

    • June 17, 2024 @ 12:46 am Yudi Randa

      terima kasih mas dwi, hehehe mohon maaf, maklum saja mas, namanya juuga masih perdana, banyak hal yang masih kaku hehe

      Reply

  3. June 15, 2024 @ 8:37 pm Eriek

    keren! saya ingin ke Aceh suatu hari nanti, terutama ke pulau we.

    Reply

    • June 17, 2024 @ 12:47 am Yudi Randa

      Wah wah saya tunggu mas Erick di banda aceh, baru setelah itu kita ke pulau Weh bareng. ntar minggu depan saya posting tulisan mengenai pulau weh ya mas. thx

      Reply

  4. June 15, 2024 @ 10:27 pm khairiah

    Jadi ingin ke museum tsunami lg

    Reply

    • June 17, 2024 @ 1:11 am Yudi Randa

      jom lah kak.. dan mudah2an semua alat peraga bisa berfungsi sempurna :)

      Reply

  5. June 16, 2024 @ 9:54 am Yudhie

    Arsitektur Museum Tsunami ini rasanya patut saya kasih jempol dan sepertinya Ridwan Kamil akan cocok menjadi RI-1 dengan padanan gedung” menawan di Indonesia #eh
    Btw itu di awal paragraf cerita cuma bawa anak-anak aja, emang bundanya anak-anak kemana? Mau nambahkah? 😀

    Reply

    • June 17, 2024 @ 1:12 am Yudi Randa

      wah wah wah, ternyata mas Yudi terpikat dengan gaya arsitektur dari museum ini ya?
      hmm.. soal itu, biar aja jadi sebuah pencitraan saya mas hehehe

      Reply

  6. June 16, 2024 @ 7:51 pm Nurhasanah

    Selamat untuk artikel pertamanya. Semoga semakin banyak pengunjung ke museum ini, ya. ^^

    Reply


Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id