Beberapa tahun lalu saya pergi ke sebuah tempat pangkas di kawasan Simpang Tujuh, Ulee Kareng, Banda Aceh. Hari itu tepat pada tanggal 17 Agustus. Jalanan sedang sepi-sepinya. Karena jika hari libur begini, masyarakat Aceh memang lebih sering berdiam di rumah dari pada pergi jalan-jalan. Saya pun duduk di bangku pangkas, lalu perlahan mulai terlelap saat tukang pangkas merapikan rambut saya.
Saat itulah, tiba-tiba saja sang tukang pangkas berhenti. Ia terdiam sejenak. Saya pun membuka mata karena mengira pangkas telah usai. Lalu, dengan dialek Aceh yang kental. Tukang pangkas itu bertanya kepada saya.
“Pakon sungu that uroe nyoe? (Kenapa sunyi sekali hari ini)”
Dengan mata yang setengah sadar, saya pun menjawab dengan polosnya.
“Hai Bang, nyoe kan tanggai tujoh blah Agustus. ( Hai Bang, inikan tanggal 17 Agustus)”.
Spontan tukang pangkas itu tertawa sambil berkata.
”Alahai han lon teupue uroe nyoe tanggai 17. (Alahai… enggak tahu aku hari ini tanggal 17)”
Mendengar jawaban itu, saya pun tersenyum kecil. Pertanda lucu sekaligus sedikit prihatin. Yup, bagaimana mungkin seorang warga negara tidak menyadari lagi, kalau hari ini adalah hari kemerdekaan negerinya. Cerita ini sempat saya sampaikan kepada Bapak Mestika Zed, seorang Budayawan asal Padang. Guru Besar Universitas Negeri Padang ini pun tertawa saat mendengar cerita saya itu.
“haha.. itu menarik, harus dikaji itu. Mengapa ada orang Aceh bisa seperti itu?” ucapnya.
Sepintas, cerita saya ini memang sedikit ironis. Namun, beginilah kenyataannya. Konflik bersenjata yang melanda Aceh bertahun-tahun lamanya, menjadikan perayaan 17 Agustus di Negeri Serambi Mekkah ini kehilangan maknanya. Meskipun ada upacara Bendera namun masyarakat tidak begitu antusias. Alasannya, ketika konflik dulu rakyat Aceh semacam “dipaksa” untuk ikut upacara bendera. Sementara di sisi lain, kombatan Aceh melarang keras.
Namun begitulah, nasionalisme Aceh ketika itu bak berada di persimpangan jalan. Meskipun demikian, masyarakat Aceh bukan berarti tidak mencintai negeri ini. Indonesia tetap memiliki tempat di dalam hati masyarakat Aceh, hanya saja cara mereka mengungkapkan cintanya saja yang berbeda.
Sejarah telah mencatat, betapa setianya orang Aceh terhadap NKRI. Orang Aceh tentu mengingat betul cerita ini, yaitu ketika Soekarno memohon dengan penuh harap kepada rakyat Aceh untuk membantu kemerdekaan Indonesia di Hotel Aceh.
Dengan spontan, rakyat Aceh langsung memberikan apa saja yang dimilikinya. Hingga sejarah mencatat, hari itu, di samping Masjid Raya Baiturrahman. Rakyat Aceh berhasil menyumbangkan sekitar 20 Kg mas atau sebanding 130 Ribu Dolar Singapura. Lalu uang tersebut digunakan untuk membeli pesawat Dakota RI-001 Seulawah, yang kemudian menjadi cikal bakal Garuda Indonesia.
Tapi kesetiaan itu kemudian dibalas dengan keliru oleh Soekarno. Lagi-lagi rasa nasionalisme rakyat Aceh pun kembali diuji.
Orang Aceh sebenarnya sederhana saja. Mereka akan menjadi sangat setia, loyal serta terbuka jika mereka dihormati. Hubungan yang terjalin berlandaskan saling percaya. Prinsip ini sebenarnya tercermin dalam filosofi Rumoh Adat Aceh.
Coba kita perhatikan rumah adat Aceh. Jika ingin masuk, kita harus melewati tangga yang ada di bawah rumah. Lalu masuk dengan sedikit membungkuk ke dalam rumah. Maknanya, jika kita ingin masuk ke rumah orang Aceh. Kita harus menaruh rasa hormat dan berperilaku santun terhadap tuan rumah.
Nah, jika kita telah berhasil masuk ke dalam rumah orang Aceh dengan sikap demikian. Maka kita tak usah khawatir, mereka akan memberikan pelayanan terbaik untuk setiap tamu yang datang. Mereka akan menyajikan makanan terbaiknya untuk kita. Bahkan, jika di rumahnya hanya ada seekor ayam, mereka dengan lapang hati memotong ayam itu untuk disajikan kepada tamunya.
Semangat ketulusan ini masih terasa lekat hingga sekarang. Lihatlah apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Ketika pengungsi Rohingnya terkatung-katung di perairan Aceh. Lalu pemerintah pusat melarang para nelayan Aceh untuk menyelamatkan mereka. Apa yang terjadi? Nelayan Aceh tidak peduli dengan himbuan itu.
Mereka dengan penuh kesadaran menarik perahu-perahu pengungsi Rohingnya itu ke pantai Aceh. Lalu begitu sampai di pantai, tanpa dikomando rakyat Aceh datang berbondong-bondong memberikan bantuan kepada mereka. Ada yang memberikan makanan, pakaian, dan sebagainya.
Saya sendiri menyaksikan langsung ketulusan masyarakat Aceh ini. Mereka benar-benar memperlakukan pengungsi Rohingnya ini bak saudaranya sendiri. Meskipun sudah beberapa minggu pengungsi ini menetap di pantai Aceh, namun bantuan rakyat Aceh terus mengalir. Begitulah, Rakyat Aceh tidak pernah setengah-setengah dalam membantu. Jika setia, mereka bisa sangat setia. Syaratnya sederhana saja, jangan pernah mengkhianati sedikit pun hati mereka. Jika itu terjadi, maka bisa fatal akibatnya hahah
Maka, jangan pernah tanyakan tentang nasionalisme kepada orang Aceh. Pertanyaan itu hanya membuat mereka bingung. Tapi cukup perlakukan Aceh dengan rasa adil dan penuh ketulusan. Meskipun kita berasal dari latar belakang yang berbeda baik agama maupun ras, tapi kita tetap memberikan rasa hormat terhadap orang Aceh. Maka kita akan diterima dengan hati yang lapang orang masyarakat Aceh.
Etnis Tionghoa misalnya, meskipun mereka adalah minoritas di Aceh. Namun hingga kini, tak pernah ada konflik yang berarti antara mereka dengan rakyat Aceh. Bahkan ketika konflik senjata terjadi di Aceh, etnis Tionghoa tetap hidup rukun dan aman bersama masyarakat Aceh. Toleransi agama tetap terjaga dengan baik di negeri syariat ini.
Jadi sekali lagi, jangan pernah tanyakan tentang nasionalisme terhadap orang Aceh. Datang saja ke Aceh, lalu saksikan sendiri betapa setia dan ramahnya orang Aceh. 😀
'Jangan Pernah Tanyakan Nasionalisme Orang Aceh!' have 1 comment
October 14, 2024 @ 12:35 pm Widi
Setuju