Lebaran adalah seremonial tahunan yang berkaitan langsung dengan nilai-nilai keagamaan. Merayakan lebaran pula kental dengan tradisi yang erat kaitannya dengan norma agama, selayak berziarah kepada orang tua dan sanak keluarga, salam takzim, atau lebih dikenal dengan istilah sungkeman kepada yang harus dihormati. Siapa pun kita, bahkan saya sendiri, selalu menjadikan momentum lebaran sebagai ajang bersilaturrahmi. Mengunjungi kembali kerabat, guru-guru dan sahabat.
Semacam hubungan timbal balik, kita pun dikunjungi oleh sanak famili, baik yang tinggal dekat, maupun yang berjauhan juga bertandang ke rumah. Nah, ajang silaturrahmi ini tentu saja tidak hanya sekedar datang, salim (berjabat tangan), duduk dan pulang. Lebih dari pada itu, tentu saja ada yang disuguhi untuk tamu, dan ada pula buah tangan yang dibawa ketika seseorang datang. Demikian yang saya amati dalam keseharian saya berlebaran di – tempat lahir dan menetap - Aceh Besar.
Di kediaman saya, ada satu panganan khas lebaran yang nyaris tidak pernah tak ada. Selalu dibuat, jika pun tak sempat sendiri, harus dibeli. Sedemikian urgennya kebaradaan kue yang satu ini, yaitu dodol. Bagi keluarga kami, alasan sederhana kue ini selalu dibuat, karena dodol adalah panganan kesukaan mendiang orang tua. Padahal, alasan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Lalu, ada apa dengan dodol, sehingga begitu penting keberadaannya dalam moment lebaran?
Di Aceh, telah menjadi tradisi bahwa setiap menantu wajib berlebaran ke rumah mertuanya dengan membawa buah tangan. Hal yang paling dianjurkan untuk dibawa kali pertama bertandang - dan bahkan termasuk kerifan lokal yang harus diindahkan - adalah dodol. Itu pun bukan dalam ukuran kecil, melainkan satu talam besar.
Biasanya, sehari sebelum lebaran, warga kampung membuat dodol di halaman rumahnya. Sebab pembuatan dodol Aceh bukan lah hal yang mudah, tentu melibatkan dua-tiga orang di sana. Proses pembuatannya yang lama dan rumit hingga membutuhkan banyak tenaga. Beruntunglah kalau banyak sanak dekat, pasti mereka akan datang untuk ikut bantu mengacau dodol barang sekali dua.
Bagi yang tidak sanggup membuat sendiri, mereka tentu bisa memesan pada rumah usaha yang menjual dodol. Berbetulan saya dekat dengan sebuah home industri pembuatan dodol Aceh, yaitu Tengku Agus. Beliau mengakui, menjelang lebaran usahanya kebanjiran pesanan, yang paling dominan adalah dodol dalam ukuran talam besar, sehingga sebagiannya harus di-reject, sebab tidak mampu dipenuhi. Biasanya pemesan yang datang H-5 lebaran tidak akan diterima, sebab telah bertumpuk orderan sebelumnya yang harus diselesaikan.
Kemudian, apakah satu talam besar ini sanggup dimakan sendiri oleh mertua? Tentu saja tidak. Lagi-lagi bahwa ini untuk dibagikan kepada keluarga dekat, sebagai bentuk kemuliaan dan kabar suka cita, bahwa menantunya telah datang berlebaran.
Tidak hanya dalam ukuran talam, bahkan di rumah-rumah yang kita datangi, akan ada sajian dodol sebagai pendamping minuman. Dodol dipotong kerucut seukuran dua ruas jari, atau dipotong dadu, lalu dibalut dengan plastik, agar memudahkan tamu untuk mengkonsumsi. Hingga saat ini, sekalipun telah banyak tersedia jenis kue lebaran lainnya, namun tetap saja belum mampu menggeser posisi utama kue dodol di Aceh.
'Keberadaan Dodol Aceh Ketika Lebaran' have no comments
Be the first to comment this post!