Terhitung sejak Tsunami lalu, nama Lhoknga semakin terkenal. Terlebih lagi, kawasan yang pernah porak-poranda semasa tsunami itu berhasil melaksanakan event Aceh International Surfing Championship pada tahun 2014 lalu. Suksesnya acara tersebut semakin melambungkan nama Lhoknga ke kancah dunia sebagai salah satu destinasi Surfing yang cukup menantang di Aceh. Ujung barat pulau Sumatra
Tapi, bercerita tentang Lhoknga, tidak hanya tentang lautnya yang menawan di mata surfer, pasir putihnya yang menggoda kita untuk segera melepaskan alas kaki dan bermain di bibir pantainya. Bukan pula harus menceritakan tentang indahnya matahari yang tenggelam di ujung cakrawala. Kini, bila berbicara Lhoknga maka kita juga harus berbicara tentang Krueng Raba ( Sungai Raba)
Dari kota Banda Aceh, saya mengarahkan sepeda motor butut saya ke jalan lintas Banda Aceh – Meulaboh. Hari masih terhitung cukup pagi, masih pukul 9.15 wib. Cuaca cerah. Tidak ada angin kencang yang bertiup seperti beberapa hari kemarin. Tidak juga mendung yang bergulung-gulung. Semuanya sempurna. Sepertinya, Tuhan, menginjinkan saya dan keluarga untuk bisa menikmati surga kecil di ujung Lhoknga. Sepuluh menit perjalanan, kami singgah di sebuah persimpangan, Keude Bieng (pasar Kepiting) namanya. Berhubung masih pagi, saya ingin mencoba mencicipi Lontong Sayur disini, katanya, Enak!
Sejurus kemudian, motor butut, kembali saya pacu. Lhoknga hanya tinggal 5 menit waktu tempuh dari Keude Bieng. Tidak jauh. Jalan yang menghubungkan Banda Aceh – meulaboh ( Aceh Barat) ini terlihat sepi dari para pengendara lintas batas. Mungkin karena masih pagi. Udara masih segar, mentari masih hangat.
Jalanan masih cukup lengang, hari ini minggu. Tidak ada karyawan pabrik yang lalu lalang, tidak ada mobil Damtruck pengangkat pasir dan batu yang berputar-putar layaknya setrika. Begitu sepi, hanya beberapa pengunjung pantai yang mencoba menikmati indahnya laut Lhoknga dan laut Lampuuk di pagi hari.
Sebuah jembatan terlihat membentang menghubungkan Lampuuk dan Lhoknga. Terbaring lurus didepan saya. Air sungainya yang hijau, sesekali menari ditiup angin pagi. Perahu nelayan yang mulai turun ke laut melalui muara Pantai Pulau Kapuk, berwarna-warni, berjejer seperti itik turun kesawah. Kegiatan pagi sudah berjalan sedari tadi. Dan, inilah Krueng Raba Lhoknga
Tak jauh dari jembatan, di tengah rasa penasaran yang semakin bergemuruh di dalam dada, dan matahari sedikit mulai garang, saya berbelok kekiri.. Plang-plang peringatan berdiri gagah diantara pepohonan hijau yang ada di sisi kiri kanan jalan. Rasa penasaran dengan keindahan krueng raba masih mengganggu saya. Di persimpangan, motor saya belokkan kekiri. Menuju ke desa Naga Umbang, atau ke pusat Pertambangan Semen. Sebenarnya, ini bukan jalan umum. Tapi saya membandel, toh jalanan juga lagi sepi. Kegiatan pabrik juga off karena hari minggu.
Saya menjumpai sebuah jembatan lagi. Jembatan yang dibangun untuk menghubungkan dua desa. Dan, dari sini saya hanya bisa terdiam. Motor saya switch off. Kini, saya berdiri tepat ditengah jembatan rusak yang dilintasi aliran air yang begitu jernih.. Saya takjub. Saya terkagum-kagum. Mereka tidak salah, Krueng raba ini, indah.
Bak sungai di Eropa kala musim semi. Air mengalir pelan, jernih. Bebatuan sungai terlihat jelas. Sesekali ikan-ikan kecil berlompatan. Kiri kanan sungai ditumbuhin pohon cemara. Beberapa pemuda desa memancing di sudut-sudut sungai. Begitu sunyi, begitu indah. Membuat saya betah berdiri memandanginya berlama-lama. Sepertinya, saya sungguh beruntung. Langit biru bersih, gunung lampuuk di ujung barat, pepohonan khas tropis yang hijau, ditambah aliran sungai yang jernih menjadi sebuah perpaduan yang sempurna.
Menurut informasi yang saya dapatkan, dan juga cerita tetua desa di Lhoknga. Nama Raba itu, diberikan kepada Lhoknga oleh kaum belanda dulu, ketika mereka berhasil menaklukkan Aceh besar. Dulu, sewaktu saya kecil, sesekali, ayah mengajak saya bermain ke komplek Tentara Negara Indonesia yang berada di pinggiran sungai ini. Benar, seingat saya, dulu memang banyak bangunan bergaya belanda didalam komplek tersebut. Kini? Tsunami adalah jawabannya. Kondisi Lhoknga dan krueng raba ketika tsunami, benar-benar lumpuh total. Bagaimana tidak, tinggi air laut yang menerjangnya diperkirakan sampai 20 meter!
Saya masih duduk di tepian jembatan semen ini. Menikmati keindahan yang berbalut sunyi ini bersama keluarga kecil saya. Sebelum akhirnya melangkahkan kaki ke ujung hulu krueng raba ini.
'Krueng Raba, A Little Paradise at Lhoknga, Aceh Besar' have no comments
Be the first to comment this post!