Nyaris genap dua belas tahun, Aceh telah berjalan jauh meninggalkan masa-masa penuh duka. Mengadakan perubahan dan pembangunan guna terwujudnya kesejahteraan. Memperbaiki kembali apa yang telah diporak-porandakan oleh musibah: gempa dan air bah dari gelombang laut yang menyapu sebagian besar Aceh kala itu. Ya, siapa yang tidak ingat Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.
Bencana alam terdahsyat ini telah merenggut ratusan ribu jiwa. Mereka dikuburkan dalam lubang besar tanpa liang, di tempat pemakaman massal tentunya. Jika kita tatap Aceh hari ini, pembangunannya begitu cepat, terlihat seakan tidak penah dilanda bencana. Di Aceh, sisa-sisa Tsunami hanya bisa kita lihat dari apa yang telah diabadikan dalam musium, monumen, dan pada tempat pemakaman massal yang tersebar di beberapa wilayah.
Sore tadi, sepulang kerja, saya singgah sebentar ke komplek pemakaman massal terbesar, yakni di desa Siron – Kabupaten Aceh Besar. Hal menarik yang membuat saya berziarah ke pusara puluhan ribu jiwa ini adalah sebuah foto yang berseliweran di media sosial. Di mana, pada foto itu, terlihat seorang Tionghua sedang membakar dupa guna mendoakan arwah keluarganya. Tak jauh dari perempuan itu, terlihat dua orang lelaki dewasa sedang membacakan Alquran, dengan tujuan yang sama, yakni mendoakan sanak saudara mereka.
Jujur saja, saya tertegun dengan pemandangan pada foto tersebut. Bak selembar gambar yang berbicara, mengabarkan kepada kita bahwa betapa Aceh sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan toleransi umat beragama. Semua orang mendapatkan perlakuan sama, diberikan haknya, turut mengambil andil dalam menjalankan ritual agamanya tanpa diusik oleh umat agama lain. Aceh benar-benar toleran. Mayoritas tidak mendiskriminasikan minoritas.
Setiba di komplek pemakaman massal Siron ini, berkali-kali saya terpukau. Jauh dari yang saya duga, ternyata tempat ini sama sekali tidak menunjukkan wajah kesuraman. Berbeda dengan apa yang saya pikirkan belumnya, bahwa aura dari pekuburan adalah seram, angker dan nuansa mistis yang membuat kita merinding. Di sini, tidak sama sekali. Saya benar-benar merasakan ketentraman, berada di kuburan serasa sedang di taman bunga di pinggiran kota saja.
Saya datang seorang diri. Saya menjejaki hampir ke seluruh taman pemakaman tanpa perasaan takut dan ngeri. Menyusuri area paving block sebagai jalan yang membelah taman ini menjadi dua bagian, yakni sisi kiri dan kanan. Di sisi kirinya, tedapat tiga Saung (Jambo) yang sengaja dibangun sebagai tempat istirahat bagi peziarah yang datang. Pada masing-masing Saung terdapat sekeranjang berisikan Alquran, buku doa dan surat Yasin tentunya.
Seisi taman ditanami bunga: Kamboja, Bougenville dan lainnya. Pepohonan rindang yang ditanam di kedua sisi jalan meneduhkan pengunjung dari sinar matahari. Udaranya cukup sejuk dan segar. Di bagian tengah komplek pemakaman, tepatnya di hadapan pintu gerbang utama, terdapat sebuah monumen bertuliskan semboyan dalam tiga bahasa: Aceh, “Bala ta saba, nekmat tasyuko, di sinan leu ureung bahgia.” Di bawahnya, terjemahan dalam bahasa Indonesia, “Bencana, kita sabari. Nikmat, kita syukuri, banyaklah orang akan bahagia.” Dan dengan bahasa Inggris pula pada sisi paling bawah, “Disaster, be patient, comfort, be grateful to God, more people will be happy.”
Pada sisi paling ujung komplek pemakaman, tepatnya di sebelah kanan, terdapat sebuah monumen yang dibangun menyerupai gelombang. Kontruksinya lumayan tinggi, barangkali sampai 15 meter adanya. Pada sisi pojok paling tinggi, disematkan sepotong khat Alquran, surat yasin ayat 82. Ayat tersebut mengandung pernyataan tentang kekuasaan Allah, yang artinya: “Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” Monumen ini untuk menggambarkan bahwa setinggi inilah dahulu gelombang laut pernah menyapu daratan Aceh.
Puas berkeliling area pemakaman, saya pun menjumpai pihak pengurus makam. Mereka baru saja menyelesaikan pekerjaannya, membabat rumput liar dan mengumpulkan sampah guna kebersihan area pemakaman. Pak Kasim, orang yang dipercayakan bertanggung jawab atas pengurusan komplek makam, menceritakan kepada saya mengenai banyak hal. “Tempat ini disesaki pelayat setiap hari raya dan setiap peringatan hari Tsunami, yakni 26 Desember. Selain itu, pada hari-hari biasa pun juga banyak pengunjung yang melayat.” Ucapnya.
Katanya, khusus di bulan April, dari tanggal 1 sampai tanggal 5 banyak sekali warga Tionghua yang melayat ke sini. Mereka merayakan hari bersembahyang di kuburan. Adanya ritual pemukulan gong dan sebagainya. Pihak penjaga makam dan warga membiarkan begitu saja, tanpa penentangan. Sebagaimana yang saya sampaikan semula, Aceh adalah bangsa yang toleran, menghargai kerukunan umat beragama.
Area pemakaman ini menampung 46.718 korban jiwa dengan berbagai agama. Luasnya 50 meter kurang dari dua hektar. Tiga puluh persen di antaranya adalah tanah milik Negara, yakni bekas Krueng Aceh lama yang telah ditimbun saat penggalian Krueng Lambaro, sedangkan tujuh puluh persen lainnya adalah tanah milik masyarakat yang telah dibebaskan oleh Negara seharga Rp. 200.000,-/ meter pada tahun 2005.
“Mengenai biaya perawatan dan gaji pengurus, semuanya ditalangi langsung oleh kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Benar-benar diperhatikan. Bahkan, upah tukang sapu di sini pun sesuai dengan UMR, selalu dibayar tepat waktu diawal bulan.” Demikian ujar Pak Kasim kepada saya.
Hari menjelang magrib, saya harus pamit pulang. Ada banyak pelajaran yang saya dapat hari ini. Pertama, mengenai tafakkur pada kematian. Bahwa semua kita akan menyudahi kehidupan ini tanpa mengetahui batas waktu. Kedua, mengenang kematian tidak selamanya dengan kesan menyeramkan. Bukanlah kematian sebagai jalan untuk berjumpa dengan Tuhan? Maka hendaklah kita mengingatnya dengan keindahan.
'Kuburan Massal Siron dan Bukti Kerukunan Ummat Beragama di Aceh' have no comments
Be the first to comment this post!