Labi-Labi: Kisah Sang Legend yang Hampir Punah

Siapa yang tak mengenal angkutan umum roda empat yang sering disebut sebagai labi-labi oleh warga Kota Banda Aceh ini. Kehadirannya sudah sangat melegenda, bahkan jauh ada sebelum saya lahir ke dunia ini. Labi-labi hadir di Kota Banda Aceh sejak era 80-an dengan jenis mobil kecil berkapasitas 500 cc dan hanya muat untuk 11 orang saja. Saat ini, kapasitas muatan untuk labi-labi semakin bertambah hingga 16 orang, diganti dengan mobil bermerk Hijet dengan kapasitas mesin 1000 cc.

Dahulu, kehadiran Sang Legenda ini begitu membantu aktivitas masyarakat, terutama bagi masyarakat Aceh yang berada di daerah pelosok Aceh Besar dan selalu melakukan akitivitas perdagangan ke Kota Banda Aceh. Tak heran, sampai dengan saat ini pun labi-labi masih banyak mengangkut barang-barang dagangan warga hingga ke pasar tradisional. Di beberapa daerah, dengan jenis mobil yang hampir sama, jenis angkutan umum ini dikenal juga dengan nama Gring-Gring, ataupun jika kamu pernah singgah di daerah Langsa mereka akan menyebutnya dengan nama Sudek atau Sudako.

Labi-labi di era 80-an
Photo by acehspring[dot]wordpress[dot]com

Kata Ibu, pada tahun 1980-an keberadaan Labi-Labi masih sangat jarang. Maka tak heran jika muatannya selalu penuh. Berlalu di ingatan saya, menjamurnya jumlah labi-labi di Banda Aceh dengan merk mobil yang lebih baru terjadi di sekitaran awal tahun 2000-an. Sangking banyaknya, saya dapat memilih labi-labi manapun yang bisa saya tumpangi, tergantung baru atau tidaknya labi-labi tersebut. Namun anehnya, setelah Tsunami 2004 keberadaan labi-labi semakin sedikit ditemukan.

Labi-labi di era saat ini.
Photo by acehfame[dot]com

Seperti layaknya angkutan umum lainnya, labi-labi pun memiliki rute dan tarif jasa yang sudah ditentukan. Saat saya masih bersekolah dahulu, saya selalu menghafal kode wilayah labi-labi yang sudah tertera di jendela belakang labi-labi. Alasannya simpel, saya tidak ingin terlalu sering tersesat ke daerah orang lain. Tak heran jika saya selalu mencari labi-labi no. 04 dan memastikan lagi pamflet kecil di depan labi-labi bertuliskan Ajun ataupun Lhoknga, dan bukan Peukan Bada. Bayangkan, bahkan dalam satu kode pun bisa berbeda arah jalan dan daerah. Sampai akhirnya aktivitas memastikan kode dan wilayah pun menjadi kebiasaan di luar kepala. Berikut adalah kode labi-labi di Banda Aceh yang tidak berubah dari tahun 2000-an hingga sekarang (terhitung saat tahun pertama saya memakai jasa labi-labi secara mandiri):

01: Montasik, Samahani, Sibreh, Indrapuri, Seulimum.
02: Lampriet, Lampineung, Darussalam.
03: Keutapang, Mata-Ie.
04: Seutui, Lamteumen, Ajuen, Lamjame, Lhoknga, Leupueng.
05: Ulee Lheue, Lambadeuk.
06: Peunayong, Ulee Kareng.
07: Lampeneuruet, Peukan Biluy.
08: Lambaro

Untuk tarif dalam sekali perjalanan hingga sampai ke terminal labi-labi di Keudah, kamu dapat memberikan dua lembaran 2000-an sebagai tarif jasanya. Jauh atau dekatnya perjalanan, jika masih dalam satu rute maka tetap dengan seharga itulah kamu membayarnya. Saya masih ingat, ketika saya masih SMP tarif labi-labi dalam satu rute hanya Rp.500,00. Ada satu kebiasaan para supir labi-labi yang terkadang membuat saya kesal mengenai urusan tarif jasa seperti ini. Layaknya supir di angkutan manapun, supir labi-labi menjadi agen pertama yang bisa langsung menaiki harga tarif, bahkan sebelum pemerintah mengumumkan harga minyak. Saat harga minyak turun, maka tak heran jika harga tarif labi-labi pun tak akan pernah turun lagi dari tarif normalnya. Mungkin inilah salah satu penyebab mengapa akhirnya masyarakat Banda Aceh lambat laun mulai meninggalkan transportasi ini. Mengingat tarif yang semakin mahal dan lebih memungkinkan untuk diganti dengan membeli bensin untuk sepeda motor.

Terminal Labi-Labi Keudah

Lantas, apa yang membuat saya begitu kangen dengan labi-labi ini?

Siapapun yang pergi ke Banda Aceh, tidak sah rasanya jika tidak pernah menaiki labi-labi. Saat saya masih bersekolah dahulu, labi-labi menjadi andalan para siswa untuk berangkat dan pulang dari sekolah. Biasanya, mereka akan menunggu dalam jumlah kuota yang besar (sekitar 5-10 anak), kemudian berebutan masuk dan menaiki labi-labi yang sama. Khususnya untuk anak laki-laki, mereka akan memilih bergantungan di sisi jendela labi-labi atau duduk di atas mobil tersebut. Maka tak heran, fenomena labi-labi yang “kepenuhan” dan selalu terjungkit ke belakang akan selalu kamu dapati di jalan raya saat pagi dan siang hari. Siapapun yang mengaku anak Banda Aceh, pasti pernah merasakan atau menjalani aktivitas tersebut.

Labi-labi dan fenomena anak sekolah yang menaiki atap mobil
Photo by theglobejournal[dot]com

Bergelantungan.
Photo by medanbisnisdaily[dot]com

Sayangnya, kehadiran Sang Legend semakin lama semakin menghilang. Labi-labi kini menjadi alat transportasi yang semakin langka ditemui. Terminal labi-labi terlihat sepi, bahkan penumpang pun tak lagi membuat penuh. Para warga kini lebih memilih untuk memakai sepeda motor dibandingkan harus menunggu lama saat labi-labi berhenti dan mencari penumpang lainnya. Saat masih berkuliah, untuk bisa sampai dari Ajun ke Darussalam yang berjarak 25 km, saya harus menaiki 2 kali labi-labi dengan estimasi waktu yang saya habiskan sekitar 1,5 jam, dengan biaya Rp.6000,00 setiap kali pergi. Belum lagi dikarenakan alasan labi-labi yang hanya mengantarkan sampai ke sisi jalan utama saja, hingga terkadang banyak penumpang yang harus berjalan kaki lagi untuk bisa sampai ke tujuan utamanya. Entahlah, bagaimanapun labi-labi sudah melegenda di Kota Banda Aceh ini. Namun apakah setiap cerita tentang Sang Legenda harus berakhir dengan kepunahan?



About

Pengejar Senja, Langit dan Laut.


'Labi-Labi: Kisah Sang Legend yang Hampir Punah' have 4 comments

  1. August 12, 2024 @ 6:03 pm cut meurah mariana

    Aiiiiii makasih byk nyaknyuk uda nulis ttg labi2 ini, kangennya ga ilang2 jadinya
    06, dulu tu kode itu yg sll diingatin sm org tua kalo naik labi2, spy anaknya gak tersesat… Best tulisannya

    Reply

  2. April 27, 2024 @ 10:01 pm Mohamed Pauzi

    Terima kasih di atas informasi mengenai Labi Labi. Kami di Malaysia dulu ada juga kereta sedemikian di Kota Kuala Lumpur yang dinamakan Bas Mini. Namun kini sudah tiada bas mini.

    Reply

    • May 12, 2024 @ 12:24 pm ismi laila wisudana

      Wah benarkah? Pasti memiliki keseruan tersendiri jika menaiki bas mini. Btw, terimakasih sudah berkunjung 🙂

      Reply


Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool