Suatu hari dalam sejarah. Samuderamu memerah sesapa ujung anak panah. Dirimu tegak di atas ketinggian kapal. Menatap darat perlahan menjauh, dan mimpi yang kian mendekat. Menuju takdir di seberang lautan.
Inilah laksamana dari tanah seberang. Tumbuh dalam badai, matang dalam perang. Dalam seratus ayunan. Seratus lelaki meregang di ujung pedang
Bulan bercahaya melati di Panton Bie. Serupa permadani emas terhampar di Teluk Seudu. Keindahan yang tak pernah mati. Bersebab kehadiran sang Maharani. Kecantikannya membuat angin berhenti berhembus. Burung-burung pun berhenti terbang. Semuanya diam di depan cahaya maharani.
Hari-hari segera menjadi kenangan di Teluk Seudu. Peperangan demi peperangan bagi kerajaan menyatu. Sejarah ribuan prajurit berhenti di ujung pedang.
Namun, mimpi menjadi angin di Lamuri. Meurah Johan yang menawan hati. Membelokkan takdir maharani menjadi permaisuri.
Jejak maharani tercecer di seluruh negeri. Melekat kuat di setiap hati. Bahkan terbawa sampai mati, tetap tersimpan kerinduan ini.
-Yupie Tan-
Tersebutlah sebuah kisah perjuangan seorang laksamana yang menuai cerita fakta dan mitos, jauh sebelum kita mengenal Cut Nyak Dhien, Malahayati bahkan Ratu Safiatuddin sekalipun. Kisahnya lebih terdengar lama saat Islam belum memasuki nanggroe (red: negeri) yang saat ini lebih terkenal dengan syariat islamnya. Bermulalah di sana cerita, ketika Hindu dan Buddha masih menguasai Aceh dan cikal bakal masuknya Islam sehingga berganti nama menjadi Aceh Darussalam.
Bernama asli Nian Nio Liang Khie, dia adalah putri dari Liang Khie yang merupakan laksamana perang wanita dari Tiongkok, membawa dua ribu pasukan perempuan berpakaian serba merah, berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Jaya, Indra Patra dan Indra Puri. Sebuah sejarah lama yang berhasil membuktikan, bahwa di tangan seorang wanita, kerajaan manapun dapat tegak berdiri. Bernama Kerajaan Seudu, sebuah kerajaan pengganti kerajaan Hindu Indra Jaya yang terletak di Panton Bie (saat ini berlokasi di sekitaran Sibreh, Aceh Besar).
Nasib Indra Jaya saat itu tidak seindah nasib kerajaan tetangganya yang berkawasan di Lamuri, bernama Kerajaan Indra Purba. Di bawah kekuasaan Raja Indra Sakti, Kerajaan Indra Purba berhasil menaklukkan serangan dari prajurit bercambang Cola Mandala yang ingin merebut wilayah kerajaan tersebut. Namun saat itu, Maharani Liang Khie memang telah berniat akan memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Kerajaan Indra Purba. Ketika itu semua menakuti Liang Khie dan anaknya, mereka tidak hanya dianggap sebagai wanita biasa, namun sebagai wanita perenggut nyawa ribuan prajurit di ujung pedang.
Kabar mengenai kekuatan Nian Nio Liang Khie dan ibunya serta keinginan mereka untuk merebut Indra Purba akhirnya diketahui oleh Indra Sakti. Ia pun akhirnya meminta bantuan dari laskar perang milik Kerajaan Islam di Peureulak untuk membantu melawan Kerajaan Seudu pada tahun 1180 M. Bukan tanpa balasan mengapa pada akhirnya Kerajaan Peureulak ingin membantu Indra Purba, tentunya setelah berkoalisi dan Raja Indra Sakti menerima Islam disebarluaskan di daerah Lamuri.
Di bawah pimpinan Syeikh Hudam dan Meurah Johan (putra bungsu Adi Geunali dari Kerajaan Lingga- yang saat ini berlokasi di daerah Takengon) dan para tentara Kerajaan Peureulak yang sebagian besar adalah murid Zawiyah Cot Kala, akhirnya Kerajaan Indra Jaya terselamatkan. Liang Khie tewas dalam peperangan dan saat itu Nian Nio Liang Khie menjadi tawanan perang. Sedangkan Meurah Johan akhirnya membentuk Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam bersama Syeikh Hudam, dan menikah dengan Putri Indra Kusuma, putri bungsu dari Indra Sakti (raja kerajaan Indra Purba sebelumnya).
Photo by: I Love Aceh
Walaupun menjadi tawanan perang, kecantikan Nian Nio Liang Khie tidak pernah pudar. Bahkan beberapa cerita mengatakan, Meurah Johan telah menyukainya sejak dari awal pertemuan mereka di dalam perang, jauh sebelum dia menikahi Putri Indra Kusuma. Ketenaran kecantikan Nian Nio ini sudah terlebih dahulu menggema saat dia menjadi laksamana perang, namun saat itu tidak ada yang berani mendekat sebelum nyawa berada di ujung pedang miliknya. Sampai akhirnya Nian Nio Liang Khie menyerah, dan memilih bergabung dengan Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam. Layaknya pungguk yang sudah sangat lama merindukan bulan, cinta Meurah Johan pun akhirnya bisa terlabuhkan. Ia akhirnya menikahi Nian Nio Liang Khie, dan perempuan ini memilih masuk Islam. Sejak saat itulah namanya berubah menjadi Putroe Neng.
Namun tak disangka, nasib Meurah Johan pun berakhir di ujung ranjang. Ia tidak pernah menyadari bahwa menaklukkan Putroe Neng tidak semudah menaklukkannya di laga perang. Pagi setelah malam yang seharusnya menjadi malam pertamanya, Meurah Johan didapatkan terbujur kaku dengan kulit tubuh membiru. Walaupun sebab kematian Meurah Johan menjadi misteri, namun sepertinya misteri tersebut menjadi sebuah laga penasaran yang membuat para saudagar kaya berani mencoba untuk melamar Putroe Neng menjadi istri dan mencoba peruntungan diri apakah akan berlawanan nasib dengan apa yang terjadi pada Meurah Johan.
Kalau bukan cerita kecantikan Putroe Neng yang sudah terlanjur terkenal, manalah mungkin mereka rela untuk menghabiskan banyak harta dan rela untuk berbagi wilayah kekuasaan, demi Putroe Neng seorang. Begitulah Putroe Neng, ia hanya akan benar-benar mau untuk menerima siapapun yang bersedia menikahinya dengan mahar yang tinggi. Jika tidak, apalagi dengan tidak adanya hubungan halal, Putroe Neng tidak akan mau untuk disentuh dengan ketentuan apapun. Namun nyatanya, sampai 99 lelaki yang pernah menjadi suaminya hanya akan mengatakan “nanti malam saya akan tidur dengan Putroe Neng“, tentunya dengan penuh kebanggaan, tanpa ada yang berhasil mengatakan “semalam saya telah tidur dengan Putroe Neng“, sebab ke 99 lelaki itu akhirnya tewas tepat di malam pertama.
Apakah ke 99 suami Putroe Neng ini dibunuh oleh Putroe Neng? Jawabannya tidak, Putroe Neng tidak melakukan apapun. Semua kejadian tersebut dikarenakan racun yang telah ditanamkan di kemaluannya oleh nenek Putroe Neng yang bernama Khie Nai-Nai saat ia masih remaja. Racun ini merupakan kumpulan bisa beberapa binatang yang diramu oleh neneknya dan bertujuan untuk melindungi Putroe Neng dalam masa-masa perang yang sulit diperkirakan. Ia berpesan:
Banyak laki-laki mati dalam peperangan, tapi biasanya perempuanlah yang paling menderita. Terlebih perempuan yang cantik. Kecantikan kadang menjadi berkah, tapi dalam perang seringkali menjadi kutukan. Perempuan cantik kadang tidak mati, tetapi tidak juga hidup sehingga akan lebih menderita.
Satu-satunya orang yang berhasil mengeluarkan racun tersebut yaitu Syeikh Syiah Hudam yang tidak lain adalah penasehat dari Meurah Johan. Ia menjadi suami ke 100 dari Putroe Neng dan menjadi suami terakhir yang menemani Putroe Neng hingga akhir hayat. Syeikh Syiah Hudam membawa Putroe Neng pulang ke Peureulak dan bersama-sama mendakwahkan Islam di sana. Setelah racun dicabut, kecantikan Putroe Neng yang selalu terlihat awet muda luruh menjadi terbalik, ia bahkan lebih terlihat tua dari umurnya dan bahkan lebih tua dari pelayan setianya, Yupie Tan. Ia pun sering sakit-sakitan dan juga tidak memiliki anak. Namun, Syeikh Syiah Hudam selalu menyayangi Putroe Neng dengan apa adanya. Sampai pada akhirnya Putroe Neng meninggal dan dimakamkan di Desa Blang Pulo (saat ini Lhokseumawe) berdekatan dengan makam Syeikh Syiah Hudam.
Mungkin bagi sejarah, cerita mengenai Putroe Neng hanyalah figuran kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam semata. Padahal pada kenyataannya, tanpa adanya kisah di balik perjuangan tentara Putroe Neng yang menyerang Indra Purba, mungkin tidak akan pernah terukir kisah pengiriman bantuan dari Kerajaan Peureulak yang akhirnya menjadi cikal bakal terbentuknya Kerajaan Darud Donya. Pun setelah menjadi janda dari Meurah Johan, Putroe Neng tidak menjadi seorang pengkhianat yang berusaha merebut kembali wilayah kekuasaannya dan mengkhianati Islam. Semua persyaratan mahar perkawinan yang disyaratkan kepada 99 suaminya, di antaranya juga termasuk pembagian wilayah kekuasaan. Dan itu dijadikan sebagai sebuah cara untuk menyebarluaskan Islam dan pelebaran kekuasaan dari Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam. Walaupun saat itu semakin banyak pula yang tidak menyukai Putroe Neng, entah atas dasar cemburu ataupun alasan lainnya hingga julukan “perempuan sial” selalu dilekatkan padanya.
Pun setelah Putroe Neng menikah dengan Syeikh Syiah Hudam, pengaruh Putroe Neng dalam menyebarkan Islam di Aceh semakin besar. Ia semakin mendalami ilmu agama di bawah bimbingan suaminya. Ia pun disebut sebagai ibu bagi para santri di wilayah Peureulak. Walaupun ia tidak memiliki anak, Putroe Neng selalu menganggap santri-santrinya sebagai anaknya, dan anak-anak santrinya sebagai cucunya sendiri. Putroe Neng pun selalu setia mendampingi Syeikh Syiah Hudam dalam mendakwahkan agama Islam terutama di daerah Peureulak yang saat itu menjadi pusat studi Islam terbesar di Aceh bahkan hingga penjuru Asia Tenggara.
Mengenai kisah 99 suami Putroe Neng, saat ini masih menjadi kontroversi sejarah, karena ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa itu adalah sebuah kiasan yang melambangkan banyaknya laki-laki yang berhasil ditaklukkan Putroe Neng di peperangan, dan bukan perlambangan atas 99 suami dari Putroe Neng. Namun, Cut Hasan selaku penjaga makam Putroe Neng membenarkan fakta 99 suami Putroe Neng yang merenggang nyawa di ujung ranjang melalui ihwal mimpi yang sering ia alami. Namun, untuk ke 99 suami Putroe Neng tersebut. ia tidak mengetahuinya secara keseluruhan.
'Legenda Putroe Neng dan Jejak Kematian 99 Lelaki' have 1 comment
March 27, 2024 @ 5:22 pm Budiman Soeloeng
Subhanallah… Maha Suci Allah Subhanahu wata’ala yang telah meriwayatkan Putroe Neng, apapun dibalik legenda tersebut bukan menjadikan cerita dongeng bagi sejarah Atjeh, namun adalah sebuah takdir Allah Subhanahu wata’ala yang merupakan cerita panjang dan i’tibar bagi ummat masa setelahnya.
Legenda ini telah memberikan contoh yang luar biasa bagi perjuangan seorang wanita asing yang tangguh pada zamannya, dimana akhirnya dapat di tundukan dan di tawan. Penawanan tersebut bukan menjadikannya seorang penghianat bagi penakluknya namun justru pada akhirnya adalah turut membesarkan Si’ar Islam di tanah atjeh!
Subhanallah.. Allahu Akbar
Wallahu ‘alam bishowaab.