Mobil yang saya tumpangi melaju pelan saat memasuki kawasan Simpang Mamplam, Bireuen, Aceh. Jalanan terlihat padat siang itu. Kendaraaan hilir mudik tiada henti. Sesekali bus berukuran besar melintas kencang mengguncangkan badan jalan. Hari itu, bersama teman kantor saya berencana mengunjungi komplek makam Syahid Lapan yang letaknya di sisi jalan lintas Banda Aceh-Medan. Menemukannya pun terbilang mudah. Pohon besar, keramaian orang, dan mushalla indah di depan makam menjadi tanda khusus lokasi ini. Terlebih lagi sesaat mendekati komplek makam, pengendara memelankan laju kendaraannya. Sebagian orang turun untuk sekedar berdoa, bersedekah, hingga melepas nazar.
Saat saya tiba, komplek makam tidak terlalu ramai. Hanya beberapa mobil pengunjung yang parkir di tepi jalan. Walau siang, komplek makam terasa teduh karena sebatang pohon tumbuh besar memayungi. Sebagian orang menyebutnya pohon Sala Teungeut (teungeut dalam bahasa Aceh artinya tidur), sebab jika mendekati senja, daun pohon ini menguncup selayaknya tidur. Konon, pohon ini telah berusia ratusan tahun dan telah tumbuh sebelum komplek makam ini.
Komplek makam Syahid Lapan terletak di Desa Tambue, Simpang Mamplam, Bireuen. Di dalam komplek ini bersemayam delapan pejuang Aceh yang gugur melawan Belanda. Kisah perjuangan mereka diceritakan singkat di dinding makam. Kisah ini bermula pada sore di tahun 1902. Saat itu, sebanyak 24 pasukan marsose Belanda tiba di lereng bukit Simpang Mamplam. Para marsose ini sedang menuju ke Jeunib yang jaraknya 20 kilometer. Kabar kedatangan mereka terdengar oleh pejuang Aceh di Simpang Mamplam. Mereka pun menyusun rencana penghadangan pasukan marsose Belanda.
Para pejuang yang umumnya warga biasa dan guru pengajian (teungku) lalu menyerang dan menghunus para marsose Belanda. Setelah memenangkan peperangan singkat ini, para pejuang Aceh lalu mengumpulkan senjata api milik marsose. Saat mengumpulkan senjata api, para pejuang Aceh tidak menyadari jika pasukan marsose Belanda dari arah Jeunieb datang. Marsose Belanda ini pun melepaskan senapan hingga menembus tubuh para pejuang Aceh. Delapan dari puluhan pejuang Aceh tertembak, sementara lainnya berhasil meloloskan diri. Mereka pun memotong-motong jasad pejuang Aceh hingga menjadi puluhan bagian tubuh. Konon, potongan tubuh delapan pejuang Aceh ini dimakamkan dalam satu liang. Makanya, komplek makam ini dinamakan Makam Syahid Lapan merujuk kepada delapan pejuang yang gugur.
Delapan pejuang Aceh yang gugur adalah Tgk Panglima Prang Rajeuk Djurong Binje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Balee Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Syech Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, dan Njak Ben Matang Salem Blang Teumuelek.
Makam Syahid Lapan ini berada dalam satu bangunan kecil menyerupai rumah. Dari lorong kecil dan sempit, saya masuk ke dalam bangunan tersebut dengan sebelumnya meminta izin ke penjaga makam. Di dalam ruangan ada pilar-pilar kecil yang mengelilingi makam. Di tepiannya tersedia sedikit space untuk mereka yang ingin berdoa. Di atas makam, terikat puluhan kain putih yang menjuntai nyaris menyentuh tanah. Puluhan kain ini adalah ‘simbolis’ doa-doa nazar yang dilepas para pengunjung. Para pengunjung bisa membawa pulang kain-kain itu dengan memberi sedikit sumbangan. Penjaga makam sempat menawarkan kain itu kepada saya.
Menurut pengakuan penjaga makam, setiap harinya komplek makam ramai dikunjungi ratusan peziarah. Sangking ramainya, komplek makam pun diperluas hingga mendekati sawah warga. Ada beberapa balee (balai) yang berdiri di sudut-sudut komplek. Di dekat makam juga terdapat pondok panjang tempat warga bisa duduk melepas penat. Sedangkan di belakangnya terdapat ruang kecil untuk mereka yang ingin berdoa lebih khusyuk.
Di pagar makam terdapat celeng besar berbentuk rumah tempat pengunjung memberikan sumbangan. Celengan besar ini menghadap jalan raya. Para pengguna jalan sering berhenti memberikan sumbangan. Saya sempat mendengar, ada anggapan jika pengguna jalan melewati komplek ini tanpa memberi sedekah, maka akan mengalami hambatan di perjalanan. Anggapan ini tentu tidak bisa dipercaya begitu saya. Tapi yang pasti, sumbangan yang terkumpul digunakan untuk kemakmuran lokasi ini. Seperti membangun Mushalla Makam Syahid Lapan yang berada tempat di seberang jalan. Mushalla ini sering menjadi tempat persinggahan warga yang melintas. Terlebih lagi letaknya bersebelahan dengan sawah yang mampu melepaskan kepenatan perjalanan.
Jika Anda melintasi jalur Banda Aceh-Medan atau sebaliknya, tidak salah untuk berziarah ke makam ini. Selain mengenang jasa para pejuang, kita juga diajak untuk lebih dekat dengan Sang Pencipta. **
'Makam Syahid Lapan: Jejak Delapan Syuhada Aceh Dalam Satu Liang' have no comments
Be the first to comment this post!