Salah satu wisata yang paling digemari manusia di seluruh penjuru dunia, adalah wisata kuliner. Aceh, provinsi paling barat di negeri menawan bernama Indonesia merupakan salah satu tempat yang wajib diperhitungkan bila membicarakan wisata kuliner. Tanpa banyak basa-basi, alasanya adalah keragaman cita rasa yang terdapat dalam masakan khas Aceh. Tidak berlebihan bahkan bila menyebut masakan khas Aceh adalah festival cita rasa.
Sejarah wilayah paling barat yang saat ini dikenal dengan nama Provinsi Aceh ini memang lekat dengan beberapa bangsa besar yang keberadaannya menjadi pondasi bagi peradaban masakan di muka bumi. Beberapa bukti otentik, menemukan keberadaan suku asli yang mendiami wilayah ini sejak masa pra sejarah. Keberadaan suku manteu di Aceh Besar. Bukti fosil pra sejarah di situs Mendale, Aceh Tengah. Penemuan peninggalan pra sejarah di Aceh Tamiang.
Para pemukim asli ini kelak berasimilasi dengan pendatang dari luar. Arab, China, Eropa, Hindustan. Entah benar atau hanya mitos, tapi sebagian orang meyakini bahwa nama Aceh terbentuk dari singkatan itu. Kenyataannya, memang banyak pendatang dari Arab, China, Eropa, Hindustan, yang datang ke Aceh. Membentuk pemukiman dan meleburkan berbagai kekayaan kebudayaan, termasuk tradisi masakan, menghasilkan sebuah tradisi yang unik. Mencicipi masakan khas di setiap bagian wilayah Aceh selalu akan menjadi kejutan unik. Banyak pendatang yang merasakan jejak lelulur mereka secara tak terduga dalam berbagai masakan.
Berbeda dengan gaya masakan khas Aceh di pesisir yang dekat dengan budaya Hindustan, Arab, dan Cina, memasuki wilayah pegunungan, terutama Dataran Tinggi Gayo, karakter cita rasa masakannya lebih mendekati masakan Asia. Terutama di wilayah seperti Thailand. Karakter khas seperti kombinasi asam dan pedas sangat menonjol. Mungkin sebagian sobat Ezytraveler yang suka sejarah, sudah tahu bahwa Thailand -negara yang dulunya dikenal dengan nama Siam-adalah persimpangan budaya kuliner Asia. Berada di titik antara melayu, india, cina, dan bangsa-bangsa seperti Vietnam, Kamboja dan sejenisnya, masakan Thai bisa disebut sebagai salah satu perwakilan masakan Asia. Dan karakter itu ditemukan juga di Dataran Tinggi Gayo. Wilayah luas dengan cakupan tiga kabupaten yang dominan masyarakatnya bersuku Gayo.
Lahir dan besar di wilayah pesisir Aceh, saya terbiasa dengan cita rasa masakan khas Aceh pesisir. Rempah-rempah khas Hindustan dan Arab adalah aroma yang rutin. Wangi kapulaga, jintan, pekak atau star anise dalam bahasa Inggris, kayu manis adalah hal yang sehari-hari saya kenal. Ketika pada tahun 2013 saya memutuskan menetap di Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah, satu dari tiga kabupaten di Dataran Tinggi Gayo, saya terkejut dengan perbedaan karakter masakannya.
Mencicipi beragam menu masakan khas Aceh Tengah, saya seperti dibawa ke wilayah lain dari Asia. Karakternya sangat berbeda. Bila masakan khas Aceh pesisir lekat dengan kekayaan rempah-rempah dan rumit, masakan khas Aceh Tengah justru menghadirkan cita rasa yang sederhana dan clean. Rasa yang dihadirkan dari masakan khas Aceh Tengah benar-benar rasa utama dari bahan-bahan masakannya.
Contohnya ketika saya pertama kali merasakan Cecah Angur atau Sambal Terong Belanda alias Tamarillo. Sebelumnya, saya hanya tahu penggunaan Terong Belanda sebagai buah untuk bahan baku jus. Rasanya yang asam dengan wangi khas membuat buah ini menjadi salah satu jus populer di Sumatera. Pernah bertanya pada Citra Rahman, salah satu Traveler Blogger asal Aceh yang saat ini menetap di pulau Jawa, jus Terong Belanda sangat jarang ditemukan dalam menu di sana.
Di Dataran Tinggi Gayo, Terong Belanda justru digunakan untuk membuat cecah atau sambal. Dan cita rasanya luar biasa. Unik.
Masam Jing, Masakan Khas Aceh Tengah.
Bersamaan dengan semakin terkenalnya wilayah Dataran Tinggi Gayo sebagai destinasi wisata, wisata kulinernya juga mulai dikenal luas. Kopi Gayo yang kembali mulai menjadi komoditas andalan dan semakin terkenal adalah nama paling terkenal. Tapi selain kopi, ada satu masakan khas Aceh Tengah yang sering dicari oleh wisatawan pecinta kuliner ketika berkunjung ke Aceh Tengah, Masam Jing.
Dapat diterjemahkan secara harafiah sebagai Asam Pedas, Masam Jing adalah masakan khas Aceh Tengah yang berupa gulai ikan dengan rasa khas. Sebabnya adalah kombinasi bumbu lokal yang jarang ditemukan ditempat lain.
Masam Jing umumnya berbahan baku Mujair. Ikan yang secara umum dapat ditemukan hidup liar di danau Lut Tawar atau dipelihara dalam keramba terapung di danau maupun penangkaran ikan berupa kandang dan ‘kolam’ buatan. Pemilihan ikan Mujair sebagai bahan baku utama memegang peranan dalam menciptakan rasa yang khas. Rasa manis alami ikan Mujair, dan -karena hidup di danau serta kolam yang luas- tidak beraroma lumpur seperti ikan Mujair di pesisir, menjadi dasar rasa manis tanpa perlu menambahkan pemanis buatan.
Bumbu lainnya adalah kunyit, bawang merah, cabe merah, kalamansi atau jeruk sayur (dalam keadaan darurat dapat digantikan dengan jeruk nipis tapi rasanya akan sedikit berbeda), tomat ceri, andaliman/empan dan -yang paling mempengaruhi rasa- daun gegarang. Saya masih belum bisa menemukan nama ‘nasional’ untuk daun yang sepertinya berasal dari keluarga mint ini.
Proses pembuatannya sederhana. Seperti umumnya masakan khas Aceh Tengah atau Dataran Tinggi Gayo. Tidak rumit, dengan citarasa yang bersih menampilkan rasa dari bahan-bahannya dengan sangat jujur, tanpa polesan terlalu banyak rempah.
Ikan dibersihkan, kadang-kadang dipotong menjadi beberapa bagian, tapi tak jarang juga disajikan utuh. Biasanya faktor ukuran mempengaruhi. Satu ekor Mujair besar bisa mencapai panjang 30 cm dengan berat sekitar satu kilo lho. Bukan ikan main-main. Diletakkan dalam panci gerabah atau panci tanah. Tomat ceri, empan, dan daun gegarang dimasukkan setelah itu, baru kemudian ditambahkan bumbu kunyit-cabai-bawang yang dihaluskan, tambahkan air secukupnya, lalu masak dengan api kecil. Jeruk ditambahkan ketika ikan sudah matang. Tidak perlu banyak diaduk. Panas dari panci gerabah akan sedikit ‘menghanguskan’ ikan, tapi itu juga merupakan kunci untuk mendapatkan aroma yang dibutuhkan, dan proses memasak dengan api kecil akan memberi waktu bagi bumbu untuk meresap ke dalam ikan serta menghasilkan ikan matang dengan daging yang juicy dan lembut.
Sederhana, dan mudah. Tapi Ezytraveler tidak perlu cemas harus memasaknya sendiri. Bila berkunjung ke Takengon, tanyakan saja pada staf hotel atau masyarakat, dimana dan bagaimana cara menuju daerah One-one. Dibaca apa adanya, One-one, bukan ‘wan’ seperti anda membaca tulisan one dalam bahasa Inggris. One-one. Disitu ada banyak warung yang menyajikan masakan khas Aceh Tengah. Harganya pun terjangkau.
'Masam Jing Masakah Khas Aceh Tengah' have no comments
Be the first to comment this post!