Aceh dan Turki memiliki kedekatan erat sejak zaman kerajaan dulu. Ini terbukti dengan beragam peninggalan yang kini sedikit banyak bisa dilihat di Bitai, sebuah desa di kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Desa Bitai letaknya lumayan jauh dari pusat kota. Tapi walaupun jauh, menuju ke desa ini lumayan mudah. Dari jalan menuju PLTD Apung, pengunjung bisa mengambil jalan lurus melewati kampus Universitas Iskandar Muda. Lalu melewati jembatan kecil dan berbelok ke kanan saat bertemu perempatan.
Sejak dulu, desa Bitai terkenal sebagai Turki-nya Aceh. Di sini banyak terdapat makam kuno yang telah ada sejak era Turki Utsmani, termasuk di antaranya makam Sultan Salahuddin. Saya menyempat diri berkunjung ke desa ini beberapa waktu lalu. Jalan desa tampak sepi pagi itu. Rumah penduduk terlihat seragam bentuk yang umumnya merupakan rumah bantuan pemerintah Turki.
Di tengah desa, berdiri sebuah masjid berkubah hijau yang dikeliling puluhan makam. Saat saya datang, komplek makam ini terlihat sepi. Pagar rendah memagari komplek makam yang umumnya terukir lambang bulan bintang berwarna merah merujuk ke negeri Turki.
Konon menurut sejarah, desa Bitai dan Turki tidak bisa dipisahkan. Dulunya kawasan ini merupakan perkampungan yang ditempati para Ulama yang berasal dari Baitul Muhadis dan juga pasukan Turki. Kehadiran mereka disini untuk menyebarkan agama Islam.
Nama Bitai ditambalkan pasukan Turki untuk mengenal asal mereka dari Bayt AL Maqdis, nama lain Yerussalan tempat Masjid Al Aqsa di Palestina. Konon juga di desa ini Sultan Iskandar Muda pernah menjadi murid Teungku Di Bitai. Turki juga membantu persenjataan kepada kerajaan Aceh untuk melawan pejajah Belanda.
Desa ini terbilang parah saat tsunami silam sebab letaknya yang berdekatan dengan laut. Rumah penduduk tersapu rata yang bekas tapalnya masih terlihat di beberapa sudut desa. Kerusakan juga dialami komplek perkuburan ini. Alhasil, di tahun 2006, pemerintah Turki merehabilitasi kampung yang berdampingan dengan hulu sungai ini. Rumah penduduk dibangun ulang, komplek makam dipugar dan ditata kembali nisannya. Terdapat puluhan makam yang diyakini merupakan tentara kerajaan Turki.
Saya menyempatkan diri mengintari komplek makam. Pagar kecil di tengahnya tidak terkunci memudahkan saya untuk berkeliling. Ada sebuah bangunan tinggi besar di tengah komplek yang memayungi tujuh makam di dalamnya. Tidak ada informasi jelas makam siapa-siapa saja yang berada di dalamnya. Sebab makam dipugar tanpa ada nama dan tahun kematian.
Selain itu, di komplek ini juga berdiri museum kecil. Letaknya sedikit ke pojok tepat di belakang masjid. Saya sempat bertandang ke sana, tapi gagal, museumnya terkunci. Berulangkali saya mencoba membuka pintu dan berusaha masuk ke dalam. Alhasil, saya pun cuma bisa mengintip dari jendela kaca yang mengelilingi gedung. Ternyata di dalam ruangan terpajang beberapa foto miniatur kapal, dan sejarah singkat desa Bitai.
Berkunjung ke desa ini membuat saya kembali mengenang bagaimana orang-orang terdahulu bekerjasama dan saling mengikat persaudaraan. Jarak yang jauh antara Turki dan Aceh bukan menjadi penghalang. Keberadaan desa ini, seakan menambah daftar panjang bukti sejarah keterlibatan kerajaan Aceh dengan penguasa dunia lainnya.
'Melihat Bekas Kampung Turki di Aceh' have no comments
Be the first to comment this post!