Desa Ateuk Jawo terkenal sebagai salah satu sentral penghasil Belanga di Banda Aceh. Desa di kecamatan Baiturrahman ini, telah memulai usaha pembuatan belanga sejak berpuluh tahun lalu. Konon belanga dari desa ini jauh lebih baik dibandingkan daerah lain.
“Banyak orang yang ambil beulangong ke sini, katanya lebih kuat dan bagus,” ujar Nuriah salah satu pengrajin saat saya menyambangi rumahnya beberapa waktu lalu.
Masyarakat Aceh umumnya menyebut Belanga dengan beulangong. Proses pembuatannya pun terbilang rumit dan panjang. Awalnya, tanah dicampur pasir dalam takaran tepat. Tanah yang digunakan adalah tanah liat sehingga memudahkan saat dibentuk. Setelah tercampur dengan baik, tanah diinjak-injak hingga merata dengan pasir dan menjadi lebih lumat. Proses ini umumnya dilakukan bersama-sama dengan pengrajin lain. Setelah tanah terasa lebih lumat, baru belanga dibentuk secara tradisional. Umumnya pengrajin menggunakan kayu sebagai alat untuk memadatkan tanah saat membentuk belanga. Selain kayu, mereka juga menggunakan batu sungai untuk membentuk lengkungan dan menjadikan belanga lebih simetris.
Sejak awal kedatangan saya, Nuriah menumpahkan segala keluh kesah tentang pekerjaan yang ia lakoni sejak tahun 1970-an itu.
“Sekarang anak muda nggak ada lagi yang mau kerja seperti ini, semuanya mau kerja kantoran,” keluhnya.
Nuriah sadar, usaha tradisional ini perlahan akan hilang sebab sulitnya mencari penerus pengrajin. Bahkan saat ini, di Desa Ateuk Jawo hanya tersisa lima pengrajin yang masih memproduksi belanga. Mirisnya, mereka umumnya berusia lanjut. Bukan hanya minim pengrajin, ketersediaan bahan baku juga menjadi masalah utama. Banyak tanah-tanah di Desa Ateuk Jawo yang dulunya menjadi sumber bahan baku Belanga telah beralihfungsi menjadi komplek perumahan.
“Setelah tsunami, tanah-tanah di sini dibangun perumahan. Jadi susah untuk buat beulangong,” ujar Nuriah.
Selain Desa Ateuk Jawo, di Banda Aceh juga tercatat beberapa desa yang bergelut menghasilkan Belanga, seperti Desa Neusu, Desa Peunyeurat, dan Desa Ateuk Munjeng. Tetapi, pembangunan di Banda Aceh yang terus bergeliat usai tsunami 2004 lalu hanya menyisakan Desa Ateuk Jawo sebagai penghasil belanga terbaik di Banda Aceh. Sedangkan di desa lain, banyak pengrajin yang menghentikan produksinya atau beralih profesi.
Kehidupan para perempuan pengrajin belanga ini terasa kontras dengan modernisasi Banda Aceh yang terus bergerak pasca tsunami. Mereka bukan hanya dihadapkan minimnya penghasilan dan hilangnya generasi pengrajin, tetapi juga keberlangsungan usaha yang kini dihimpit lingkungan yang tidak lagi bersahabat.
Bagi Nuriah dan para pengrajin, sepetak tanah merupakan penyambung keberlangsungan usaha. Ia bercerita, sejak dulu para pengrajin memiliki sepetak tanah turun temurun yang menjadi sumber tanah liat pembuatan Belanga. Namun, sepetak tanah itu tidak dapat lagi berfungsi sebab tergenang limbah.
Walau dihadapi dengan beragam kesulitan, Belanga tetap menjadi primadona utama bagi masyarakat Aceh saat mengolah makanan. Hampir semua makanan tradisional khas Aceh menggunakan belanga sebagai wadah untuk memasak. Sebut saja seperti sie ruboh (daging rebus), kuah pliek u, asam keu’eng, manok Aceh, dan beberapa masakan Aceh lainnya. Walau bisa menggunakan alat masak lain seperti wajan, menggunakan belanga menghadirkan aroma khas dan kelezatan tersendiri. Banyak rumah makan di Aceh menggunakan belanga saat penyajian, terutama saat menyajikan sie ruboh.
Bukan hanya Belanga yang menjadi kerajinan tanah khas Aceh. Ada beberapa produk kerajinan lainnya yang juga dikerjakan Nuriah dan para pengrajin, sebut saja pinee. Sekilas pinee berbentuk piring, tetapi dengan ukuran beragam dan terbuat dari tanah. Lengkungannya tidak terlalu dalam dibandingkan belanga, sehingga pinee tidak digunakan untuk memasak terlebih lagi makanan berkuah. Pinee sering digunakan sebagai wadah untuk menyajikan makanan yang siap saji. Pinee juga kerap dijadikan tempat untuk mengulek bumbu rujak. Dan sekarang pinee bukan sekedar untuk menyajikan makanan saja, tetapi juga dijadikan souvenir pernikahan.
“Itu pinee pesanan orang untuk souvenir kawinan. Harganya cuma Rp 3.000,” ujar Nuriah sambil menunjuk susunan pinee di sudut rumahnya.
Buruan langsung terbang ke Aceh! Pesan hotel murah & Tiket pesawat murah. Wow! Ada Paket perjalanan wisata murah juga untuk Ezytravelers.
Semangat Nuriah dan para pengrajin Belanga di Desa Ateuk Jawoe patut diapresiasi. Di tengah berbagai kesulitan dan hambatan yang dialami, para pengrajin tetap berusaha meneruskan salah satu kerajinan tanah khas Aceh. Semoga banyak pihak yang peduli dan membantu usaha mereka.
'Menyambangi Pengrajin Belanga di Desa Ateuk Jawo, Banda Aceh' have no comments
Be the first to comment this post!