Meriam Karbit Kenangan Masa Kecil Di Aceh

Entah karena sejarah peperangan yang panjang di Aceh, permainan anak-anak di Aceh sering bernuansa aksi. Permainan yang dikembangkan sebahagian besar adalah permainan yang memiliki pengaruh pada ketangkasan, koordinasi, dan strategi. Kalaupun tidak maka akan ada ‘warna’ aksi yang menyertainya.

Memang tidak semua. Sebut saja Geulayang Tunang, layangan tradisional Aceh. Lebih mengutamakan pada desain, nilai estetika, dan tentu saja kemampuan untuk mengangkasa. Tapi beberapa permainan populer lainnya, memiliki karakter pertarungan. Beude Ram, pistol bertenaga udara yang dimampatkan. Berbahan baku bambu, pistol ini menggunakan amunisi buah tanaman yang istilah lokalnya adalah buah ram (boh Ram).

Di beberapa tempat di mana batang bambu langka, batang bambu digantikan dengan ‘badan’ pulpen. Karena tidak memiliki sistem pengisian ulang otomatis, pistol ini hanya memiliki satu tembakan, sehingga setiap tembakan menjadi sangat berharga dalam permainan perang-perangan. Sekilas biasa saja, tapi ini permainan yang melatih akurasi dan strategi. Bila ada mahasiswa jurusan fisika dan matematika mau meneliti, mereka pasti terkejut dengan banyaknya prinsip fisika serta perhitungan matematis yang ternyata digunakan.

Permainan lainnya yang juga bernuansa perang adalah Meriam Karbit.

Meskipun sekarang permainan ini mulai tergusur dengan kehadiran game komputer atau perangkat perang-perangan yang lebih canggih seperti air soft gun, atau minimal kalasnikov plastik dengan peluru bola-bola plastik, tapi ada masanya ketika permainan ini menjadi hal rutin setiap malam ramadhan atau jelang lebaran.

Batang obor, selain sebagai ‘senjata’ perang-perangan, batang ini betul-betul bisa digunakan sebagai obor

Saya masih mengingat satu petak rawa yang ditumbuhi Typha Latifolia, tak jauh dari rumah. Saat itu saya masih sekolah dasar. Hamparan rawa dan bukit-bukit kecil yang dianggap sarang biawak itu -meskipun kami tak pernah melihat seekor biawak pun di situ- adalah area bermain kanak-kanak. Tak ada seluncuran plastik berwarna cerah, ataupun ayunan warna warni.

Di antara batang-batang tanaman obor itu kami bermain dengan apa yang ada. Ban bekas yang kami seret dari Gudang Robur, gudang bus angkotan dalam kota yang tak jauh dari rawa itu, kami gantungkan ke pohon kayu, itulah ayunan kami. Gerumbul batang obor yang tumbuh di tanah kering, disatukan pucuknya menjadi tenda, alasnya dari batang obor juga, dipotong dan diangkut ke ‘markas’ itu. Lalu dihamparkan menutupi lantainya. Empuk, dan nyaman, walapun ketika kering bisa membuat gatal, tapi tak ada yang peduli. Semua gembira.

Disitu kami bermain sembunyi-sembunyian, petak umpet kalau istilah dari pulau seberang. Disitu juga kami main ‘perang’ dengan senjata beude ram, katapel buah bonsai dari plastik es mambo dan karet gelang, senapan ‘semi otomatis’ berpeluru buah seri alias buah kersen muda, dan tentu saja batang obor sebagai senjata lempar. Bisa dipastikan, ketika pulang badan memar-memar dan baju penuh bercak merah buah ram atau kuning dari bonsai. Di salah satu bukit kami membuat meriam karbit.

Buah Kersen, sering disebut buah Seri, bukan Ceri

Tidak tahu siapa yang pertama kali menemukan meriam karbit, tapi ilmu konstruksi meriam ini diwariskan dari generasi ke genarasi kanak-kanak.

Proses pembuatannya sederhana. Kami mulai dengan mencari tempat yang tinggi dan tidak tergenang ketika hujan. Lalu menggali semacam parit memanjang. Salah satu ujungnya lebih dalam. Selanjutnya, pipa beton gorong-gorong dengan diameter sekitar 20 cm diletakan dalam parit itu. Pipanya harus lebih panjang sehingga salah satu ujungnya mencuat keluar. Bagi kami pipa beton itu hukumnya wajib. Sederhana saja alasannya, karena pernah satu ketika anak-anak kampung sebelah melakukan inovasi, membuat meriam dengan pipa besi bekas PDAM, entah darimana mereka mendapatkannya. Dan hasilnya aneh. Setiap ledakan diikuti dengan suara berdenging konyol. “Boom ngiing ngiing, boom nging nging.”

Pipa Beton

Pipa beton itu kemudian ditimbun dengan tanah dan batu dengan menyisakan sedikit lubang di bagian yang rendah. Oh ya, saya lupa menyebutkan, bagian yang rendah diletakkan dengan lubang lekat ke dinding parit, sehingga lubang itu tertutup, tapi di bagian sisi atasnya dibuat sebuah lubang kecil. Tempat untuk menyulut api nantinya.

Seperti meriam klasik umumnya, umpan amunisi dimasukkan dari mulut meriam. Kaleng dengan tangkai yang cukup panjang, berisi karbit, air ditambahkan pada saat akan dimasukkan ke dalam meriam, lalu mulut meriam disumbat, begitu juga lubang sulut api. Setelah didiamkan sebentar sehingga gasnya memadat dalam meriam, sumbat dicabut, lalu disulut dengan obor. Boom. Ledakannya menggelegar. Bersahut-sahutan antar kampung.

Jujur, ini permainan berbahaya. Butuh koordinasi dan kerjasama. Atau bisa menimbulkan cedera. Alis yang hangus, rambut yang sedikit tersambar api, hal yang biasa. Dan ya, kami menggunakan karbit. Karbit sebenarnya bahan berbahaya. Digunakan untuk membuat gas acetylene, gas C2H2, bahan untuk memotong atau mengelas baja, besi dalam industri. Tapi saat itu kami bisa membelinya bebas di toko bahan bangunan.

Ketika Aceh memasuki masa konflik, dentuman meriam karbit menghilang. Kanak-kanak tak berani memainkannya lagi. Saat itu bila terdengan dentum ledakan, maka itu bunyi granat. Biasanya akan ada juga suara tembakan. Dan meskipun saat ini Aceh sudah dinyatakan damai, mereka yang bergerilya di hutan sudah kembali ke masyarakat, dan segelintir sudah menikmati kehidupan mapan sebagai pejabat dan anggota dewan. Tapi suara dentuman meriam karbit masih menghilang. Ada kenangan dan rasa takut yang masih melekat dalam ingatan. Bahkan sekedar suara kembang api yang meledak membentuk pola nan indah di langit, dentuman awanya selalu membuat terkejut dan waspada.

Sama seperti kenangan permainan masa kecil, yang terus melekat. Ada luka jiwa yang walaupun sembuh tetap membekas. Setidaknya bagi sebagian generasi.

Mau liburan ke Aceh? Cari di sini: tiket pesawat dan hotel


About

Full time stay at home father, part time blogger-writer-graphic designer, and sometime traveler wanna be.


'Meriam Karbit Kenangan Masa Kecil Di Aceh' have no comments

Be the first to comment this post!

Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool