Bersamaan dengan semakin turunnya matahari ke ufuk barat, suhu udara pun ikut beranjak turun. Meskipun siang hari dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi sangat panas, tapi malam hari di kota Takengon, Aceh Tengah, masih dingin nyaris membekukan. Seperti permainan petak umpet, dingin dengan sabar menunggu panasnya matahari, yang menghangatkan udara berlalu. Lalu dengan pasti dingin kembali menguasai wilayah pegunungan yang berlimpah pesona keindahan alam, dan tentu saja yang tak boleh dilupakan, kopi Gayo yang mendunia.
Kota Takengon adalah ibu kota kabupaten Aceh Tengah. Hanya berjarak delapan jam perjalanan dari Banda Aceh. Kabupaten ini sedang giat mempercantik diri. Event pacuan kuda tradisional yang rutin dilaksanakan dua kali dalam setahun, Februari ketika ulang tahun kota Takengon, dan Agustus saat dirgahayu Republik Indonesia, mulai dikenal sebagai event incaran wisatawan lokal dan manca negara. Bukan itu saja, dalam beberapa tahun terakhir, wisata ‘kopi’ bahkan menjadi salah satu penarik utama yang meningkatkan kunjungan ke Aceh Tengah, satu dari tiga kabupaten yang menyandang nama Dataran Tinggi Gayo.
Sejak tahun 2013 saya memutuskan menetap di Takengon. Dan siapa sangka, anak pesisir yang terbiasa dengan udara samudra yang beraroma garam, panas matahari yang menyengat, dan nyiur yang melambai di tepi pantai, jatuh cinta pada pesona pegunungan yang layak menyandang sebutan kepingan surga yang jatuh ke bumi.Kesampingkan dulu berbagai wisata alam yang menggoda, seperti danau Lut Tawar yang tak kalah indah dengan Lake Como di utara Italy, atau pesona tebing batu yang setara dengan New Zealand. Bahkan dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat Dataran Tinggi Gayo punya banyak hal menarik yang sangat layak untuk dinikmati.Salah satunya adalah budaya Muniru.Budaya Muniru, Mununu, dan Mujahir Di Aceh Tengah
Ketika malam mulai mendekat, orang-orang mulai mengenakan jaket tebal, menyelimutkan sarung ke tubuh. Di beberapa tempat, terlihat ada yang menyusun dan menumpuk potongan kayu. Sebagian langsung menyusunnya di atas tanas, membingkainya dengan batu atau potongan bata. Yang lainnya menggunakan bejana logam sebagai alas, dengan abu sisa pembakaran yang dibiarkan mengisi sepertiga bejana, selain sebagai dudukan kayu juga mencegah panasnya membakar sampai ke pelapis di bawahnya.
Beberapa malam yang lalu, saya diundang berkunjung ke rumah Aripin. Teman lama, yang saya kenal ketika masih menjadi kontributor bagi salah satu jaringan radio Unesco. Kami sudah memanggilnya Ipin, jauh sebelum serial animasi dari malaysia itu muncul.
“Malam ni kita Muniru sambil Mununu Mujahir.” Ujarnya santai sambil tertawa, lalu mengajak saya ke halaman belakang rumah yang baru saja lunas dicicilnya. Rumah Ipin terletak di lereng bukit, dengan halaman belakang yang terbilang kecil, diapit oleh rumah tetangganya. Jiwa artistik yang membuatnya membeli rumah. Kemewahan yang ditawarkan oleh rumah kecil semi permanen ini adalah pemandangannya. Halaman belakang menyajikan pandangan langsung ke danau Laut Tawar, dengan kota Takengon di bawahnya.
Saya membantu mengatur kayu bakar, dalam dua lingkaran dari batu gunung yang dibelah dan disusun, satu besar dan satu lebih kecil. Muniru, adalah budaya berdiang dengan menggunakan api unggun. Dinginnya udara pegunungan yang membuat nafas berembun memutih, menjadikan berdiang, menghangatkan diri di dekat api, sebagai aktifitas dengan beragam makna. Sebagai waktu bercengkrama dengan keluarga, waktu berdiskusi dengan warga sekitar, atau bahkan momen relaksasi pribadi.Api dari kayu bakar mulai menyala dengan baik. Saya menyukai aroma yang muncul dari kayu api unggun yang terbakar. Dipadukan dengan kehangatan yang menyebar, rasanya seperti keluar dari sungai es, lalu berendam dalam bak porselen berisi air hangat yang dibubuhi aroma terapi. Ditambah lagi dengan derak dan gemeretak yang terdengar dari api unggun, irama alami yang entah bagaimana, menenangkan. Tak kalah dengan petikan harpa Celtic, walaupun jelas sangat berbeda.Rosma, istri Ipin mendekat sambil membawa delapan ekor ikan mujahir besar. Sebegitu besarnya hingga harus dikepit dengan empat bilah bambu. Mununu, memanggang atau membakar ikan langsung dengan api unggun. Kegiatan lain yang tak jarang menyertai Muniru. Ipin menyusul di belakang istrinya sambil membawa satu tungku kecil dengan bara menyala. Di atasnya ceret berwarna kuning, seperti oleh-oleh yang sering dibawa pulang oleh mereka usai pergi haji atau umrāh. Aroma yang menguar menjelaskan isinya sudah pasti kopi arabica gayo. Ada aroma manis nan khas. Tungku itu diletakkannya di sisi api unggun kecil.
Ini dia santapan Mujahir di Aceh tengah
Tiga orang kawan lain datang, dan percakapan segera ramai dengan berbagai topik, meskipun belum bisa berbahasa Gayo, tapi cukuplah penggalan beberapa kata untuk dipahami. Seperti di kota asal saya Banda Aceh, mulai banyak yang berbicara bahasa daerah dicampur dengan bahasa Indonesia. Saya memandang kota Takengon di bawah sana, kerlip-kerlip lampu seperti bintang di daratan, dengan barisan lampu kuning membentuk garis memanjang, mengikuti jalan utama yang melintasi wajah kota. Cahaya temaran di langit yang tak sepenuhnya gelap menampilkan siluet pegunungan tinggi, melingkari hampir sejauh mata memandang. Di bawah sana, ada kerlip-kerlip kecil dari kampung-kampung di tepian danau Laut Tawar.
Aroma ikan mujahir yang dibakar, bercampur dengan wangi kopi. Dipadu dengan gemeretak api unggun, dan kehangatan yang melingkupinya. Seorang tetangga melongok dari jendela dapurnya lalu menanyakan sesuatu dalam bahasa Padang. Rosma yang blasteran Gayo-Padang menjawabnya. Samar-samar dari rumah tetangga lain terdengar lagu pop nuansa india tapi berbahasa Aceh. Saya malah teringat Sahru, musisi muda Gayo yang mendendangkan lagu Gayo tapi dalam balutan fusion Jazz yang kental.
'Muniru Mununu Mujahir Di Aceh Tengah' have no comments
Be the first to comment this post!