Aceh bak tanah surga yang apa pun berkembang baik di sana. Sawah hijau ranau, ladang gembala, sungai dan ngarai mengalirkan air yang sejuk, laut dengan pantai dan riak ombaknya, nyaris di segala lini, Aceh mampu menyajikan keindahan tersendiri. Adalah dua hal yang sangat dikenal dari Aceh, yakni ganja dan kopi.
Baiklah, tidak usah kita ulas di sini tentang keberadaan ganja. Jujur saja, bahkan saya yang asli Aceh belum pernah melihatnya. Berbeda halnya dengan kopi, saya adalah penikmat kopi sungguhan. Kapasitas sebagai perempuan, saya sering dicandai teman sesama perempuan setiap ke warung kopi di Aceh. Mereka biasa hanya memesan teh atau jus, sedangkan saya selalunya dengan segelas kopi. Sesekali Late, bahkan Espresso pun saya nikmati. Tidak keberatan saat mereka menganggap saya “keterlaluan” ngopi.
Kebiasaan ngopi bagi saya merupakan bawaan lahir. Bersebab, di kediaman saya, bagai tak jadi pagi bila Ibu saya tidak menyeduh kopi saat matahari beranjak naik. Demikian selalunya, dari dahulu hingga sekarang. Saya rasa ini bukan hanya terjadi di rumah saya, tapi di sebagian besar rumah lainnya di Aceh. Karena terlalu sering ngopi, sedangkan aktivitas saya hanya pekerja indoor yang kurang bergerak, belakangan ini kerap diserang insomnia, debar jantung, akhirnya dokter menyarankan saya untuk mengurangi mengkonsumsi kopi warung. Mengurangi intensitas kafein yang tinggi. Ini sungguh berat, kawan-kawan. Secara saya memang pecandu kopi.
Suatu sore, saat saya benar-benar ingin mengalihkan kopi, saya mendapati gerai Bandrek di Cot Iri. Gayung bersambut. Kali pertama saya mencobanya, langsung terkesan. Teman-teman tahu kan Bandrek itu apa? Ya, seduhan dari jahe dan beberapa rempah lainnya. Disajikan dengan tambahan kacang tanah yang telah digonseng. Digonseng, ya! Bukan digoreng. Gurihnya kacang akan menambah kenikmatan Bandrek. Aroma jahe dan rempah terasa amat nikmat saat kita hirup pelan. Nikmat rasanya pun sangat khas saat ditelan, hangat dan segar di kerongkongan.
Menikmati Bandrek Aceh tidak jauh beda dari cara menikmati kopi, yakni diseruput pelan-pelan. Persis seperti kopi yang membuat kita serba salah, Bandrek pun demikian. Bandrek semestinya dinikmati dalam keadaan hangat. Kalau diseruput cepat-cepat, keburu habis. Jika diminum pelan-pelan, keburu dingin. Orang bilang ini filosofi cinta. Ah, sudahlah. Serba salahnya indah bukan? Hahaha..
Menikmati Bandrek Aceh tidak lengkap tanpa keberadaan gorengan. Di sini, kita ditawarkan berbagai macam panganan goreng yang gurih, seperti, tahu isi, tempe, pisang goreng, sukun, bakwan, ubi, dan ketela. Lezat sekali tentunya. Dalam sepaket pesanan, kita akan disuguhkan segelas Bandrek Aceh plus sepiring gorengan yang masih hangat. Sepiring itu berisi 6 potong gorengan yang variatif. Di tambah lagi seceper manisan cair yang telah diberi bumbu. Gorengan tersebut kita nikmati dengan dicocol dalam manisan terlebih dahulu. Sedap dan gurih pokoknya.
Dalam penyajiannya, kita bebas memilih. Boleh diberi tambahan gula, boleh kita tambahkan susu pula. Boleh kita pesan dalam gelas ukuran kecil. Pun boleh kita pesan dalam gelas ukuran besar, untuk menikmatinya lebih banyak. Jika tidak ingin berlama-lama di sini, boleh pula kita beli dalam kemasan untuk dibawa pulang.
Bicara soal harga, tentu saja murah meriah. Segelas Bandrek Aceh biasa dibandrol hanya Rp. 3.000,-. Sedangkan bila kita tambahkan susu, harganya hanya Rp. 5.000,-. Segelas Bandrek Aceh biasa dalam gelas besar, Rp. 5000,-, sedangkan bila kita tambahkan susu jadi Rp. 7.000,-. Gorengannya hanya Rp. 1000,-/ potong. Saya sering terkejut dengan harga. Bukan terkejut karena mahal, tapi justru karena murahnya. Terkadang saat duduk dengan kawan-kawan, tidak terasa sudah makan sampai banyak. Tiba saat membayar, ternyata hanya belasan ribu saja. Makan kenyang, bayar senang.
Sore hari, saya sering sekali sengaja singgah di gerai Bandrek Cot Iri ini. Lokasinya sangat strategis untuk dikunjungi. Saban hari saya pulang kerja melintasi jalan ini. Letaknya pas di ujung jembatan Cot Iri. Jembatan yang menghubungkan Kecamatan Krueng Barona Jaya dengan Kuta Baro. Berada di perempatan jalan yang menjadi jalur akses ke Ulee Kareng, ke Darussalam, ke Lambaro dan ke Blang Bintang menjadikan tempat ini selalu ramai pengunjung. Anda tidak akan kesulitan menemukan lokasinya, sangat mudah untuk ditemui.
Dari Ulee Kareng, ikuti jalan utama menuju ke Kuta Baro. Dahulu jalan ini merupakan jalur akses utama menuju Bandara Sultan Iskandar Muda. Setelah dibuka jalur baru melalui Pasar Lambaro, jalan ini disebut Jl. Blang Bintang lama. Nah, sekitar 1,5 kilometer dari pasar Ulee Kareng, Anda akan berjumpa dengan jembatan panjang, yakni jembatan Cot Iri. Di ujung jembatan inilah gerai Bandrek Aceh yang saya maksud. Usahakan datang agak sorean. Meskipun dibuka dari jam 3 siang, saya melihat pengunjung memuncak dari jam 5 ke atas. Sebab ada tambahan kesyahduan bila menghabiskan waktu sore di sini. Sembari melihat hilir mudik pengguna jalan, menjelang petang, layangkan pandangan Anda ke Krueng Cot Iri, ada sepotong senja yang sangat indah untuk kita nikmati di sana. Dari jembatan Cot Iri ke arah Lamnyong, sepotong temaram mampu mengurai penatnya siang. Percayalah!
'Nikmati Bandrek Cot Irie, karena di Aceh Tidak Hanya Ada Kopi' have no comments
Be the first to comment this post!