Kalau ada yang bertanya apa acara atau kegiatan rutin tahunan yang wajib disaksikan di Aceh Tengah, maka hampir bisa dipastikan jawabannya adalah Pacuan Kuda. Memang, tak bisa disanggah. Pacuan Kuda Tradisional Gayo adalah kegiatan Budaya Aceh Tengah yang bagi hampir seluruh masyarakatnya dianggap sebagai hal wajib. Kegiatan yang rutin dilakukan dua kali dalam setahun di Aceh Tengah ini, begitu wajibnya sampai acara pernikahan katanya tidak akan dilakukan pada saat acara Budaya Aceh Tengah ini berlangsung. Pacuan Kuda juga menjadi salah satu alasan untuk meliburkan sekolah, setidaknya satu hari dalam rentang antara Senin sampai Sabtu (biasanya Sabtu) untuk memberi kesempatan kepada guru dan murid-murid sekolah menyemarakkan ajang rutin kegiatan Budaya Aceh Tengah ini.
Menyusuri sejarahnya, event Budaya Aceh Tengah ini dimulai sejak ratusan tahun lalu. Setidaknya begitulah kisah yang sering saya dengar ketika ada pembicaraan mengenai Pacuan Kuda Tradisional Gayo ini. Dari berbagai cerita dan catatan, diperkirakan sejarah Pacuan Kuda Tradisional Gayo ini bermula dari daerah Bintang, sebuah daerah yang terletak di bagian timur Danau Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh. Perkiraan waktunya sekitar tahun 1850-an. Membuat acara Budaya Aceh Tengah ini sebagai salah satu kegiatan ‘tua’ yang masih dilakukan. Kegiatan budaya yang sudah berusia 167 tahun.
Awalnya, kegiatan Budaya Aceh Tengah ini berlokasi di pantai Menye, pantai nan indah yang namanya berarti Manja. Buat yang sering membaca tulisan mengenai Aceh Tengah, danau Lut Tawar atau sudah pernah berkunjung ke Aceh Tengah, tentunya sudah tahu, bahwa sebutan pantai disini merujuk pada tepian danau. Bukan pantai yang terletak di pesisir samudera atau lautan. Airnya tawar, bukan air asin.
Pacuan kuda tradisional Gayo ini dulunya dilakukan setelah panen padi atau Lues Belang. Pacuan dimulai selepas ashar, dengan jalur lintasan menyusuri pesisir pantai Menye. Jalur lintasan yang unik, karena satu sisinya dibatasi oleh air danau. Kondisi yang juga membuat para joki penunggang kuda harus menguasai cara yang tepat sehingga lintasan basah, lunak dan berair itu tidak menjadi jebakan.
Petani Gayo membajak sawah menggunakan kuda. Foto diperkirakan sebelum tahun 1948. Sumber. Tropenmuseum
Pada masa penjajahan Belanda, pacuan kuda sempat digelar pada jalanan berupa lintasan lurus. Saat itu pacuan kuda Budaya Aceh Tengah ini menyusuri lintasan dari area kampus STAIN Gajah Putih saat ini hingga ke wilayah Tan Saril. Kalau kamu bingung dengan nama-nama tadi, bayangkan saja jalan lurus dari samping kantor Bupati menuju Pasar Paya Ilang, tempat kamu bisa membeli oleh-oleh seperti buah Alpukat, nenas, atau angur sebutan dalam bahasa Gayo untuk buah asal Peru (Amerika Selatan) yang malah dinamai Terong Belanda.
Tapi karena lintasan lurus itu ternyata sangat berbahaya bagi masyarakat yang melintas, akhirnya dipindahkan ke lapangan Belang Kolak, yang sekarang dikenal dengan Musara Alun. Mungkin karena dipengaruhi dengan ‘gaya’ pacuan kuda eropa, dan berkuasanya Belanda saat itu, jalur lintas yang semula lurus itu berubah menjadi lintasan berbentuk oval. Lintasan yang masih dipergunakan sampai sekarang.
Sisa-sisa warisan penjajahan Belanda kabarnya masih bisa ditemukan pada sebutan kuda juara, yaitu Kude Beker. Ceritanya, istilah itu munculkarena pada masa Belanda, kuda pemenang akan mendapatkan hadiah berupa jam Beker atau Weker. Sejujurnya saya baru tahu soal istilah ini pada pacuan kuda yang baru berlangsung sekitar sepekan lalu. Seperti biasa setiap tahunnya pacuan kuda yang juga dianggap sebagai simbol event Budaya Aceh Tengah ini diselenggarakan dua kali dalam setahun. Pada bulan Februari, memperingati hari jadi kota Takengon, yang ditetapkan pada tanggal 17 Februari 1577. Dan Hari Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus.
Sejak tahun 2002, kegiatan Budaya Aceh Tengah yang paling diminati wisatawan lokal maupun manca negara ini, dipindahkan tempat pelaksanaannya ke lapangan H. Muhammad Hasan Gayo, Belang Bebangka, Pegasing. Sekitar 15 menit dari ke arah selatan kota Takengon. Mengikuti jalan utama.
Pertanyaan yang sering diajukan, berapa sebenarnya biaya yang dibutuhkan untuk ke Takengon, menginap dan menyaksikan kegiatan Budaya Aceh Tengah yang terkenal ini. Terus terang untuk menuju Takengon terdapat dua pilihan. Pilihan pertama adalah perjalanan darat dari kota Banda Aceh ke Takengon. Durasi perjalanan sekitar delapan jam. Biaya per orang menggunakan jasa angkutan yang dikenal dengan istilah L300 adalah IDR. 130.000 /orang. Saran saya, untuk menghemat lakukan perjalanan malam. Luangkan waktu untuk ‘melihat’ kondisi mobilnya, ada beberapa angkutan yang menggunakan mobil ber-AC, dilarang merokok, dan kursi nyaman. Perjalanan malam menghemat biaya penginapan, karena bisa tidur di mobil yang nyaman.
Sedangkan pilihan lainnya adalah menggunakan jasa penerbangan pesawat domestik dari Medan (KNU) ke bandara Rembele, Bener Meriah. Lalu dilanjutkan perjalan darat sekitar 45 menit ke Takengon. Tiket penerbangan domestik dari Kuala Namu ke Rembele berkisar pada IDR.470.000.
Untuk penginapan, biaya penginapan di Takengon berkisar dari IDR.180.000-350.000. Pilihan dimulai dari wisma hingga hotel. Buat para traveler kelas ransel seperti saya, rekomendasinya sih wisma, lebih hemat, dan sebenarnya tidak terlalu beda jauh dengan hotel.
'Pacuan Kuda Tradisional Gayo Budaya Aceh Tengah Yang Wajib Disaksikan ' have no comments
Be the first to comment this post!