Penggunaan Bleut dan Reungkan oleh Masyarakat Aceh Tradisional

Memasak adalah aktivitas wajib rumahan yang dilakukan secara terus menerus. Setiap orang pasti memiliki inventaris dapur yang memadai untuk keberlangsungan proses masak-memasak di rumahnya, seperti: kompor, panci, wajan, sendok, centong, dan lain sebagainya. Berbeda dengan masyarakat moderen, yang memiliki perlengkapan dapur portable dan mewah, masyarakat Aceh tradisional justru memasak dengan menggunakan seni kerajinan aceh seperti kayu bakar, di tungku yang sengaja mereka sediakan.

Bleut, sebuah seni klasik dari masyarakat Aceh

Bagi masyarakat Aceh tradisional, memasak dengan seni kerajinan Aceh seperti kayu bakar bertujuan agar makanannya lebih gurih, menghasilkan aroma masakan yang khas. Namun, hal ini tentu saja memiliki sisi negatif tersendiri, yakni pengotoran dapur dan peralatannya. Bisa dipastikan, wajan dan panci cepat sekali hitam sisi bawahnya. Jelaga asap menempel pekat di sisi luar perlengkapan itu. Apalagi bila memasak dalam belanga, yang tidak biasa dicuci sisi bawahnya, tentu tidak bisa diletakkan sembarangan. Jika diletakkan di sembarang tempat, maka menyebabkan tempat itu kotor pula. Agar menghindari “pencemaran” dapur dengan kotoran sisa asap itu, dibuatlah anyaman untuk alas perlengkapan tersebut, yakni Reungkan.

Penggunaan Bleut dan Reungkan oleh Masyarakat Aceh Tradisional foto by Aini

Reungkan terbuat dari anyaman daun kelapa. Daun kelapa yang digunakan untuk membuat Reungkan bukan yang terlalu tua, tidak pula daun yang muda. Daun yang terlalu tua, lidinya sudah sangat keras dan susah dianyam, berpotensi patah saat diputar. Sedangkan daun yang masih janur justru sangat lunak dan rentan putus. Maka dipilih daun kelapa yang tepat agar Reungkan kuat dan tahan lama. Kemudian, diupayakan agar Reungkan tidak sering terkena air saat perlengkapan dicuci. Keseringan terkena air menyebabkan Reungkan mudah lapuk.

Reungkan termasuk alat dapur yang jarang sekali diperjualbelikan. Ibu-ibu rumah tangga di Aceh biasa membuatnya sendiri. Saya, sebagai generasi yang telah mengenyam pola hidup masyarakat modern, tertarik juga untuk mempelajari cara membuat Reungkan. Mengingat tidak banyak generasi muda masa kini yang peduli dangan seni lokal, dikhawatirkan kemampuan membuat kerajinan tangan seunik ini akhirnya hilang, pudar seiring berganti zaman.

Beruntung, orang tua saya masih bisa membuatnya. Darinya saya belajar. Mulai dari memilih daun, merangkai awal, melilit dan memilih ruas susunnya, hingga melintir sisi bawah. Untuk satu Reungkan yang saya buat ini, butuh 12 pasang, yakni 24 helai daun kelapa. Diikat terlebih dahulu, kemudian disusun menyilang, diputar, bla.. bla.. bla.., sedemikian sehingga jadilah Reungkan. Percayala!, itu sangat, sangat tidak mudah. Tapi tak ada salahnya bila teman-teman ingin mencoba, lambat laun pasti bisa.

Selain Reungkan dari daun kelapa, ada pula seni kerajinan Aceh lainnya seperti Reungkan yang dibuat dari lidi, yakni lidi dari daun kelapa yang masih janur. Sebab kondisinya masih belum keras, lentur sehingga masih bisa dilipat maupun dikait dengan mudah. Reungkan dari lidi ini biasanya digunakan sebagai wadah untuk meletakkan bahan dapur seperti bawang dan cabai, maupun sebagai wadah untuk meletakkan buah-buahan.

Reungkan yang terbuat dari anyaman lidi

Lain Reungkan, lain pula Bleut. Seni kerajinan Aceh, Bleut juga memiliki peran penting bagi masyarakat Aceh tradisional. Bleut merupakan anyaman daun kelapa yang kerap digunakan untuk alas jemur asam sunti. Selain itu, dahulu Bleut juga dipakai sebagai pagar kamar mandi rumah Aceh yang umumnya memang terpisah jauh dari rumah.

Membuat Bleut tidak serumit Reungkan. Kita hanya butuh sedahan daun kelapa utuh dengan pelepahnya. Sisi kiri dilipat ke sisi kanan melompati tulang tengah (pelepah), kemudian barulah dianyam rapat. Untuk membuat Bleut, biasanya dipilih daun kelapa yang sudah tua, boleh juga yang sudah menguning dan kering. Memilih daun kelapa yang tua bertujuan agar Bleut kuat dan tahan lama.

Bleut yang digunakan untuk menjemur asam sunti

Bleut dan Reungkan hanyalah dua sampel perwakilan uniknya seni kerajinan Aceh. Masih banyak lagi jenis lainnya yang tak kalah menarik, baik berupa anyaman, maupun tembikar. Keberagaman hasil seni merupakan sebuah bukti bahwa Aceh adalah sebuah bangsa yang peradabannya andal dari segala aspek kehidupan. Penasaran untuk lebih mengenal? Ayuk ke Aceh

SUNTI BELIMBING SEMAKIN LANGKA.Seorang ibu menjemur buah belimbing untuk dijadikan asam sunti yang sering digunakan sebagai bumbu masakan Aceh di Desa Baet Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar,Senin(24/6).Asam sunti semakin langka di pasar dan harganya mencapai Rp.10.000-15.000/Kg



About

Muslimah. Gemar membaca dan menulis. Pegiat di Forum Lingkar Pena dan Gaminong Blogger. Kontributor beberapa media. Berkicau di @ainiazizbm, IG @ainiazizbeumeutuwah. Kunjungi saya di https://www.ainiaziz.com/


'Penggunaan Bleut dan Reungkan oleh Masyarakat Aceh Tradisional' have 1 comment

  1. July 21, 2024 @ 4:09 pm Effendi nurdiaman

    bagus ya mba dengan menggunakan bleut da reungkan membuat pencemaran jadi berkurang, ini bisa jadi pengganti plastik dan bahan lainnya yang dapat mencemari lingkungan 🙂

    Reply


Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool