Rumah Tua Gayo Umah Pitu Ruang Yang Terancam Punah

Rumah Tua Gayo ini salah satu korban perkembangan jaman, yang selalu menjadi pisau bermata ganda, bila tidak dikelola dengan benar. Moderenisasi selain memberikan perkembangan juga terbukti menghancurkan banyak hal-hal tradisi dalam kehidupan. Begitulah yang saya rasakan saat mengunjungi Rumah Tradisional di tengah kota Takengon. Ketika si bungsu yang hari ini menemani saya mencari data foto sedang sibuk bermain di bawah pohon. Saya malah termenung melihat bangunan di depan saya itu. Terlihat mulai kumuh, dan membutuhkan perbaikan.

Rumah Tua Gayo, yang berdiri di hadapan saya dikenal dengan nama Umah Pitu Ruang. Rumah dengan tujuh ruangan. Bagi masyarakat Gayo, suku utama yang mendiami Dataran Tinggi Gayo ini, Umah Pitu Ruang adalah Rumah Tradisional yang merupakan warisan sejarah masyarakat Gayo. Dataran Tinggi Gayo sendiri saat ini merupakan sebuah wilayah luas yang saat ini terbagi atas tiga kabupaten. Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues.

Sayangnya, seperti yang banyak terjadi diberbagai kebudayaan. Rumah Tua Gayo ini juga menjadi korban dari perkembangan teknologi. Semakin banyak yang melupkan keberadaan Rumah Tua Gayo yang dalam struktur dan fungsinya ini memuat kebijakan lokal dan filosogi hidup masyarakat Gayo. Di seluruh dataran Gayo, hanya sedikit yang masih tersisa dalam wujud aslinya.

Di Kabupaten Aceh Tengah saja, setidaknya hanya tiga yang terdata sebagai aset budaya daerah. Umah Pitu Ruang Reje Baluntara di Toweren, Umah Pitu Ruang Bulntul Linge di Kecamatan Linge, dan Umah Pitu Ruang di kota Takengon. Dari ketiga Rumah Tua Gayo ini pun, hanya Umah Pitu Ruang Reje Baluntara yang diyakini paling mendekati bentuk aslinya. Rumah yang berlokasi di Toweren ini, nyaris tidak mengalamai perubahan kecuali atapnya yang kini menggunakan seng, bukan lagi atap daun tradisional.

Sedang dua Rumah Tua Gayo lainnya, Umah Pitu Ruang di Linge, dan Umah Pitu Ruang di Takengon, meskipun masih menggunakan atap tradisional, namun secara fisik mengalami penambahan seperti cat yang walaupun mengikuti warna-warna yang diyakini sebagai warna tradisional Gayo, tapi sebagian orang beranggapan bahwa itu merupakan ‘kreasi warna baru’. Juga terdapat penambahan pada struktur bangunannya, seperti tiang penyangga yang diperkuat atau diganti dengan menggunakan beton.

Saya teringat percakapan dengan almarhum Pak Cik Alam, seorang peneliti sejarah Gayo, yang beberapa kali saya temui beberapa tahun lalu, sebelum beliau meninggal. Saat itu Pak Cik Alam ada menyebutkan mengenai Utos — atau Utoh ? Saya agak sedikit lupa — sosok yang memegang peranan penting dalam proses pembangunan Rumah Tua Gayo ini. Utos adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus dalam teknik pembangunan dan pembuatan Umah Pitu Ruang. Sosok yang juga dituntut untuk memiliki karakter dan sikap yang baik. Meskipun proses pengerjaan Umah Pitu Ruang dikerjakan oleh seluruh anggota kelompok atau belah, seperti clan dalam bahasa Inggris, namun Utos merupakan sosok kunci yang bukan hanya mengawasi proses pembangunan, namun juga menyiapkan segala kebutuhan untuk pembangunan.

Pada masanya dulu, Rumah Tua Gayo ini merupakan bangunan utama yang menyusun pemukiman. Di huni oleh kerabat dan keluarga yang berasal dari satu belah. Membentuk perkampungan yang memanjang. Barisan Umah Pitu Ruang seperti ini sempat diabadikan oleh juru foto Belanda ketika kaum penjajah itu memulai menginvasi wilayah Dataran Tinggi Gayo.

Umah Pitu Ruang terdiri dari beberapa bagian utama. Lepo atau selasar panjang yang dibagi atas dua, yaitu Lepo Rawan atau selasar untuk kaum laki-laki, dan Lepo Banan atau selasar untuk kaum perempuan. Lepo Banan terletak di sebelah kanan, tertutup dan tidak bisa dimasuki sembarangan. Untuk menuju selasar ini harus melewati Lepo Rawan yang terletak tepat di depan tangga. Ada nilai kebijakan lokal di sini. Posisi perempuan yang dilindungi oleh laki-laki dan semacam aturan tersirat yang menjaga kehormatan kaum perempuan.

Selain Lepo, terdapat juga belek atau kamar tidur, anyong bagian timur lepo banan yang berfungsi sebagai tempat memasak, serami banan yang letaknya di depan masing-masing dari lima belek dan berfungsi sebagai tempat makan, serta serami rawan yang berfungsi sebgai tempat seremoni seperti pernikahan, sunatan atau kenduri.

Dulunya Rumah Tua Gayo Umah Pitu Ruang yang berada di tengah kota Takengon juga berfungsi sebagai museum. Namun saat ini kondisinya kosong dan sedang menunggu untuk perbaikan, yang terkendala akibat perubahan manajemen situs sejarah itu yang berpindah ke bawah pengelolaan antar dinas/instansi pemerintahan berbeda. Berbagai benda budaya di dalamnya kini disimpan di museum kecil yang berada di dalam kantor dinas Pemuda dan Olahraga di samping Umah Pitu Ruang itu.

Melihat rumah itu di siang yang sunyi, rasanya ada kesan kesepian yang mengapung di udara. Saya teringat kampung halaman saya di pesisir Provinsi Aceh, delapan jam perjalanan dari kabupaten ini, yang juga mulai kehilangan rumah tradisional khas Aceh. Mau tidak mau saya terpikir, apakah nanti saat anak-anak saya dewasa, mereka masih bisa melihat langsung rumah-rumah tradisional warisan budaya sukunya? Atau hanya foto-foto yang semakin lama juga akan semakin hilang karena dianggap bukan sesuatu yang trendi dan modern?

 

Mau jalan-jalan ke Aceh? Temukan berbagai pilihannya di sini: hotel, tour murah, dan tiket pesawat


About

Full time stay at home father, part time blogger-writer-graphic designer, and sometime traveler wanna be.


'Rumah Tua Gayo Umah Pitu Ruang Yang Terancam Punah' have no comments

Be the first to comment this post!

Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool