Safiatuddin, Ratu Pertama Kesultanan Aceh

Sejarah nusantara mencatat, perempuan telah memiliki peranan penting dalam pemerintahan, serta kesetaraan, bahkan jauh sebelum Kartini lahir. Ketika peradaban barat menceritakan tentang kesetaraan semu laki-laki dan perempuan, dalam bentang nusantara perempuan-perempuan berdiri sejajar dengan laki-laki. Di salah satu bagiannya terdapat Aceh. Wilayah yang pada puncak kejayaannya menguasai dua pertiga sumatera dan semenanjung malaka.

Bukan sekadar sebagai sosok pelengkap atau hanya sekadar tindakan di balik bayang-bayang. Para perempuan tangguh ini memiliki peran setara dengan laki-laki. Putri Lindung Bulan, anak bungsu dari Raja Muda Sedia yang memerintah Benua atau Teuming (Tamiang) pada 1333-1398. Putri yang menjadi Perdana Menteri, bahkan berkat strategi gemilang yang dirancangnya dalam penangkapan setelah ibu kota Masmani ditaklukkan Patih Nala, berhasil membuat pasukan Teuming merebut kembali kota serta mengusir Patih Nala dan balatentara Majapahit. Kekalahan pahit Majapahit menjelang mangkatnya Prabu Hayam Wuruk. Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, ratu yang memerintah Kerajaan Samudra Pase (Pasai) pada 1400-1428. Malahayati, perempuan yang terkenal sebagai laksamana dan ditakuti oleh armada Portugis dan Britania, Lahir dengan nama Keumalahayati, Malahayati adalah putri dari laksamana Mahmud Syah, cicit dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Sejarah mencatat bagaimana ia menewaskan penjelajah Belanda Cornelis De Houtman dalam pertarungan satu lawan satu di geladak kapal serta menggempur benteng dan armada Belanda yang menyerang Aceh. Malahayati juga pemimpin pasukan inong balee. Pasukan pejuang wanita berkekuatan 2000 personil. Dan pada masa sultan Saidil Mukamil Alauddin Riayat Syah IV, Malahayati adalah Kepala Barisan Pengawal Istana, Panglima Pasukan Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah.

Masih banyak nama perempuan pejuang lainnya seperti Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Tengku Fakinah, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan (Pocut Biheu). Jangan lupakan juga Cutpo Fatimah teman seperjuangan Cut Mutia, yang melanjutkan perjungan setelah Cut Mutia dan suaminya gugur dalam pertempuran, Cutpo Fatimah dan suaminya juga gugur pada pertempuran tanggal 22 Feberuari 1912.

Salah satu landmark Banda Aceh, Tugu Safiatuddin

Bila anda berkunjung ke Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh. Salah satu tempat yang diajukan untuk dikunjungi adalah Masjid Oman, masjid yang dianggap sebagai ‘masjid kota’. Selepas anda mengagumi keindahan masjid dengan nuansa arsitektur perpaduan antara rasa Afrika dan Aceh. Tepat di sebelah masjid yang sebenarnya bernama Masjid Al-Makmur ini, anda bisa melihat salah satu landmark kota Banda Aceh, Tugu Sultanah Safiatuddin. Menjulang tinggi dengan desain sederhana namun anggun, tugu itu selain bagian dari sebuah komplek panjang bernama Taman Safiatuddin, komplek yang memuat berbagai rumah adat Aceh dan menajdi salah satu tempat pilihan bagi berbagai kegiatan bernuansa budaya lokal maupun internasional, juga merupakan penghargaan bagi seorang perempuan. Ratu pertama yang memerintah Kesultanan Aceh.

Lahir dengan nama Puteri Sri Alam, Sultanah Safiatuddin adalah putri Sultan Iskandar Muda dari permaisuri Puteri Sani yang bergelar Puteri Sendi Ratna Indra. Sebuah naskah tua diperpustakaan Universitas Kebangsaan Kuala Lumpur, Malaysia, yang dikutip oleh A. Hasjmy pada buku Iskandar Muda Meukuta Alam, menyebutkan bahwa Puteri Sani adalah anak dari Maharaja Lela Daeng Mansyur yang dikenal dengan gelar Teungku Chik Di Reubee.

Perempuan bergelar lengkap Paduka Sri Sultanah Safiatuddin Tajul ‘Alam Shah Johan Berdaulat Zillu’illahi fi’ll-‘Alam, memerintah menggantikan Sultan Iskandar Tsani yang mangkat. Meskipun periode pemerintahannya bukanlah masa yang mudah akibat beberapa pemberontakan kaum rakyat yang tidak setuju perempuan menjadi pemimpin, pengkhianatan dalam negara dari para petinggi yang mengincar jabatannya, ditambah lagi dengan ancaman dan serangan dari Portugis, juga ancaman dari VOC Belanda yang semakin menguat terlebih setelah Belanda berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis pada 14 Januari 1641. Namun tak menghalangi Sultanah Safiatuddin untuk mengupayakan pembangunan negerinya.

Tercatat dalam berbagai dokumentasi lokal maupun asing, bagaimana Safiatuddin berhasil mempertahankan hubungan diplomasi dengan berbagai kerajaan besar. Bahkan dalam masa pemerintahannya Safiatuddin memerintahkan pembangunan, perluasan perpustakaan dan penulisan berbagai karya sastra, agama maupun hukum. Safiatuddin memberikan perbendaharaan khusus untuk mendukung Hamzah Fanshuri dalam mengembangkan kesusastraan, juga bagi Nuruddin Ar-Ranirry dan Syeh Abdur Rauf dalam menulisan kitab-kitab agama dan hukum. Bebagai ekspedisi pendidikan ke Malaya, India, Baghdad, Mekkah, Madinah dikirimkan.

Bahkan beberapa sejarawan termasuk A. Hasjmy meyakini bahwa kisah roman klasik Hikayat Putroe Gumbak Meuh (Kisah Putri Berambut Poni Emas) adalah versi semi fiksi biografi Safiatuddin. Tedapat banyak kesaamaan dalam roman-puisi yang mengisahkan tentang Putroe Gumbak Meuh, putri dari Sultan Khamsulkasara yang memerintah negeri Gulitan Sagoop itu dengan kisah Safiatuddin Tajul ‘Alam sendiri.

Jadi, bila berkunjung ke Aceh (lagi) sempatkan saja untuk mampir ke taman dan tugu Safiatuddin. Satu komplek yang didedikasikan untuk menghormati seorang perempuan, Sultanah pertama dalam sejarah kesultanan Aceh Darussalam. Pecinta sastra, ahli sajak, namun taat beribadah. Seorang perempuan Negarawan. Yang eksistensinya mewariskan catatan kejayaan, kebangkitan sastra, dokumetasi hukum dan agama, serta sistem perpolitikan yang berkembang pesat. Landasan bagi satu sistem kesetaraan antara pria dan wanita dengan menghormati hak, kewajiban, dan batasan masing-masing.

Oh ya, tadi ada sekilas saya sebutkan soal roman puisi Potroe Gumbak Meuh. Saat mencari data, saya menemukan catatan menarik. Romantisme klasik dalam syair, gambaran ketika Gumbak Meuh (Safiatuddin) menjawab pertanyaan dari Lila Bangguna, yang bertanya dari balik dinding untuk pinangannya. Saya kutipkan saja di sini, versi alih bahasa dari buku tulisan A. Hasjmy.

Senapang Cina bermuncung Lila,

Peluru buatan di negeri Keling,

Telah terpateri sumpah setia,

Ingkar janji bumi ‘kan sumbing.

Elang leka melayang-layang,

Anak ayam cari induknya,

Hatiku gundah dilanda bimbang,

Hasratku abang pergi tiada.

Angin selatan bertiup perlahan,

Bawa kapas atas istana,

Lekas tuanku kirim utusan,

Meminang hamba kepada ayahda

Selamat Idul Adha 1437 H, semoga kita semua menjadi pondasi peradaban baru. Dunia yang lebih baik.



About

Full time stay at home father, part time blogger-writer-graphic designer, and sometime traveler wanna be.


'Safiatuddin, Ratu Pertama Kesultanan Aceh' have no comments

Be the first to comment this post!

Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool