Ezytravelers pernah mendengar tentang suatu daerah di Aceh yang dikenal dengan gadis-gadis jelitanya bermata biru? Diyakini wanita cantik itu adalah keturunan Portugis. Nah, kali ini kita akan berbicara tentang daerah tersebut, yakni Lamno – Kabupaten Aceh Jaya. Ada sebuah perhelatan akbar, terkait kebudayaan Aceh yang dilangsungkan setiap tahunnya di sini. Seumuleung dan Peumeunap. Seumuleueng berasal dari kata Suleueng yang berarti suap atau menyuapi dan Peumenap berasal dari kata peunap yang berarti menunggu. Tepatnya, menunggui raja menikmati makanannya.
Seumuleung dan Peumeunap merupakan salah satu ritual kebudayaan Aceh yang lestari. Ritual ini telah berlangsung selama lebih 5 abad, terhitung sejak tahun 1480 Masehi. Satu bentuk pelestarian budaya Aceh di Lamno dalam rangka memperingati lahirnya Kerajaan Daya. Prosesi Seumuleung dan Peumeunap dilakukan pertama kali saat Kerajaan Nanggroe Daya dideklarasikan.
Awal terbentuk Kerajaan Daya adalah saat Sultan Alaiddin Riayatsyah atau lebih dikenal Po Temereuhom diutus oleh Sultan Aceh Darussalam untuk mengatasi kemelut yang dihadapi empat kerajaan kecil di Negeri Daya. Keempat kerajaan kecil itu adalah Kerajaan Keuluang, Lamno, Kuala Unga dan Kuala Daya. Saat Sultan Alaiddin Riayatsyah tiba, beliau mengumpulkan keempat raja dan mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Daya, pada 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, acara ini selalu diadakan bertepatan dengan Idul Adha.
Po Teumeureuhom adalah julukan untuk sang sultan yang dikenal sebagai pencetus adat. Ada sepotongi pepatah Aceh yang mengindikasikan urgensi peran Po Teumeureuhom, bunyinya; “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana.” (Adat pada Po Teumeureuhom, Hukum pada Syiah Kuala, Qanun pada Putri Pahang, Reusam pada Laksamana).
Tahapan pada prosesi Seumeuleung ini memang tidak sederhana. Serangkaiannya terdiri dari: Meletakkan Lampu Pham Kutika, Pengawal memeriksa Astaka Diraja, Penjemputan raja, Penghormatan terhadap raja, Membasuh kaki raja, Pembacaan doa, Peusijuek Seumeuleung, Penyampaian amanat raja, makan bersama, kemudian ditutup dengan ziarah ke makam Po Teumeureuhom.
Prosesi Seumuleueng dimulai ketika panglima kerajaan yang menggunakan pakaian hitam dan syal merah di kepalanya melakukan inspeksi Astaka Diraja, sebelum raja dan keluarga kerajaan memasuki Astaka. Astaka Diraja (istana raja) adalah balai sederhana, beratap seng dengan bidang 5 x 7 meter berdiri persis di kaki bukit yang menjorok ke laut. Balai yang sangat sederhana ini dihias sedemikian rupa, sehingga menyerupai singgahsana.
Ketika Raja Daya memasuki Astaka Diraja, maka raja-raja yang diundang dari berbagai daerah lain di Aceh melakukan penyambutan dan memberikan hormat kepada Raja Daya. Di antara raja yang biasa diundang hadir pada acara ini adalah Raja Pidie, Linge, Nagan Raya, Blangpidie, Aceh Selatan dan Meulaboh.
Setelah itu, dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh mufti. Setelah pembacaan doa, raja memberikan amanat kepada tamu dan rakyatnya. Tidak lama kemudian, langsung dihidangkan makanan yang disebut dengan Beut Bu Ulee. Untuk itu, dua dayang laki-laki langsung memberikan pelayanan kepada sang raja, hingga menyuapinya. Sementara raja-raja lainnya dan tamu dipersilakan mencicipi makanan yang sudah dihidangkan. Di akhir kegiatan tersebut, rombongan secara bersama-sama berziarah ke makam Po Teumeureuhom, di bukit yang tidak jauh dari Astaka Diraja.
Saya baru mengetahui, bahwa semua atribut yang dihadirkan dalam ritual kebudayaan Aceh ini sarat akan makna. Terkandung nilai-nilai, di antaranya, warna merah melambangkan keberanian seorang raja dalam melawan bangsa penjajah. Kuning melambangkan warna kerajaan, indikasi suatu kemegahan dan kejayaan. Hijau melambangkan kuatnya agama dan adat istiadat di suatu daerah. Hitam melambangkan kedudukannya. Warna hitam digunakan oleh petinggi-petinggi atau petua adat. Dalam prosesi ini, yang menggunakan pakaian hitam ialah kalangan keluarga keturunan raja.
Ikat kepala merah yang digunakan pengawal raja menggambarkan keberaniannya yang selalu siap untuk melindungi raja dalam keadaan apapun. Pedang, lambang ksatria yang siap memberikan perlawanan terhadap pengusik raja. Ternyata, hingga ke hal sederhana pun terkandung nilai filosofisnya.
Adapun prosesi cuci kaki disini dimaknai agar raja berada dalam keadaan bersih dan suci ketika berada di singgasana, untuk memimpin rakyatnya. Pohon pinang kecil, agar kehidupan perekonomian daerah terus tumbuh dan berkembang sebagaimana tunas pinang tersebut. Lilin 7 sumbu, ini mewakili setiap aspek ekonomi dan rejeki. Ezytravelers pastinya penasaran, ingin menyaksikan serangkaian ritual kebudayaan Aceh yang satu ini, bukan? Ayuk ke Aceh!
Selain pelestarian adat dan budaya, Seumuleung dengan sendirinya menjadi agenda wajib tahunan yang dapat mempererat tali silaturahmi warga Aceh. Masyarakat Aceh sangat antusias untuk menyaksikan acara tersebut, itu dibuktikan oleh padatnya pengunjung yang berdatangan dari berbagai wilayah di Aceh. Selain prosesi Seumuleung, Makam Po Teumeureuhom juga menjadi objek wisata yang kerap diziarahi warga, apalagi dalam suasana lebaran, sehingga pengunjungnya makin ramai. Pemandangan alam di sini juga sangat menarik, hamparan lautnya dipagari jejaran bukit. Sangat indah, pokoknya!
'Seumuleueng Raja, Khazanah Kebudayaan Aceh di Lamno Jaya' have no comments
Be the first to comment this post!