Bagi masyarakat Aceh Tamiang, tradisi berbalas pantun adalah kebiasaan yang telah ada sejak turun temurun. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat Aceh Tamiang yang gemar berutur. Mereka menjadikan tradisi berbalas pantun sebagai cara lain dalam berkomunikasi. Maka, Tradisi berbalas Pantun di Aceh Tamiang adalah bukti bahwa masyarakat ini memiliki seni bertutur yang tinggi.
Biasanya, Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang, selalu ditampilkan pada acara-acara adat seperti pernikahan, melamar, ataupun menyambut tamu. Layaknya sebuah komunikasi, tujuan berpantun juga untuk menyampaikan sebuah maksud. Hanya saja, pesan tersebut disampaikan dengan cara yang menarik.
Maka lazimnya minimal ada dua orang dalam Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang ini. Orang pertama melemparkan maksudnya, lalu pihak lainnya memberikan tanggapan. Sehingga kita yang mendengarnya, akan menyaksikan sebuah tontonan yang menarik.
Bayangkan saja, hanya dalam waktu sepersekian detik seseorang harus mampu merangkai kata, beserta rimanya, untuk menjadikan sebuah pantun balasan yang menarik. Tentu hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Butuh kecerdasan tersendiri untuk merangkai kata menjadi sebait pantun. Apalagi harus membalas pantun dalam durasi waktu yang panjang.
Sebab dalam Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang, misalnya saat menyambut calon pengantin. Pantun bisa disampaikan dalam waktu yang panjang. Tergantung seberapa tangguh lawan bicaranya untuk membalas pantun.
Saya ingat saat ikut mengantar pengantin dari salah seorang kerabat di kampung saya. Bersama rombongan pengantin lainnya, kami berdiri hampir satu jam di depan pintu rumah sang pengantin. Kami belum diijinkan masuk ke rumah, jika belum mampu menaklukkan sang pemantun tuan rumah. Alahmak… 😀
Selain itu, Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang juga berfungsi untuk menyampaikan sebuah nasihat. Biasanya, hal ini dilakukan untuk memberikan petuah kepada sepasang pengantin yang baru bersanding. Tak jarang, sesekali sang pemantun memberikan pantun jenaka untuk menghibur sekaligus memberikan petuah. Cara seperti ini memang cukup efektif untuk mengingatkan seseorang. Karena tanpa sadar nasihat tersebut melekat di alam bawah sadarnya.
Adapun isi pantun yang terkandung dalam Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang cukup beragam. Di antaranya pantun pemuda, pantun pergaulan, pantun beriba hati, pantun teka-teki, atau pantun jenaka. Maka kita tinggal memilih, pantun jenis apa yang ingin disampaikan. Semuanya sangat tergantung dengan suasana serta pesan apa yang ingin kita sampaikan.
Sebelum masuk ke rumah, rombongan pengantin harus berbalas pantun dulu dengan pemantun dari tuan rumah
Jika kita membaca sejarah, Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang ini dimulai sejak masuknya budaya melayu ke Aceh. Termasuk juga saat bahasa melayu menjadi salah satu bahasa resmi kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke 16, di mana dua bahasa lainnya adalah Aceh dan Arab.
Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang memang memiliki makna penting. Ini adalah tradisi yang sekaligus menegaskan identitas masyarakat Bumi Muda Sedia ini, yaitu sebagai masayarakat yang memiliki selera seni yang tinggi.
Selain itu, Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang juga mampu menghadirkan suasana yang ceria. Orang-orang yang mendengarnya tak sekadar mendapatkan pesan tapi juga sebuah hiburan.
Misalnya Pantun dari Wak Alang dan Wak Ngah ini:
Ke Penang sudah
Ke Keudah sudah
Hendak menangkap si unggas Merbuk
Berpinang sudah
Menikah sudah
Kenape pada kami tak diizinkan masuk?
Lalu dijawab:
Bukan ditenun selembar kain
Namun disulam selendang mayang
Bukanlah kami menghalangi pengantin
Memang begini adat Tamiang.
Atau pantun lainnya dari Naimah, Ketua Badan Pelaksana JKMA Suloh Tamiang
Disidak dulu baru dipukul
Biar terdengar suaranye nyaring
kalau berat same dipikul
yang enteng same-same di jijing
pisang seikat
gulenye sebelange
tande sepakat
adenye kerje same
Raje sukat sifat Datok sidik sasat
imam fardhu sunat
penggawal setia taat
rakyat genah mufakat
Sejak hukum empat kaisar
raje lah keputusan,
hak rakyat putar di dahi
putusan raje dalat di sembah.
seugrang begembale megriah mati
tejegrak sirajawali
hidup ne begantungke Allah,
betungke ke Nabi.
Ya, begitulah Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang. Syarat makna sekaligus cukup menghibur. Sebagai orang asli Aceh Tamiang tentu saja saya sangat bangga, karena tradisi bertutur dengan seni yang tinggi ini, masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam masyarakat Tamiang. Tradisi ini harus terjaga karena merupakan khazanah budaya yang sangat bernilai. Sebuah kearifan masyarakat yang beradab.
Nah, jika Ezytravelers ingin melihat tradisi berbalas pantun ini. Silahkan berkunjung ke Aceh Tamiang, yang letaknya sekitar 450 KM dari Kota Banda Aceh atau 8 jam perjalanan dengan bus/L300. Namun, kalau Ezytravelers datang dari arah Medan. Jaraknya lebih dekat lagi yaitu hanya 150 KM atau 3 perjalanan dengan Bus.
'Tradisi Berbalas Pantun di Aceh Tamiang, Seni Bertutur yang Indah dan Menghibur' have no comments
Be the first to comment this post!