Karena penasaran dengan seni pahat Aceh, saya bertandang ke Kampung Pande, sebuah desa di pinggiran Banda Aceh. Menuju ke sana saya melewati desa Peulanggahan yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Kampung Pande juga dikenal sebagai titik nol kota Banda Aceh, sebab dulunya berdiri Kerajaan Aceh Darussalam cikal bakal lahirnya Kutaradja (Banda Aceh sekarang). Karena memiliki sejarah panjang, di desa ini banyak bertebaran makam-makam kuno dengan pahatan nisan yang rapi serta rumit.
Dulunya saat masa Kerajaan Aceh, batu nisan di Kampung Pande ini didatangkan langsung dari Pulau Batee dan India Selatan. Konon kedua daerah ini memiliki batu berkualitas tinggi.
Batu nisan Aceh memiliki ciri khas tersendiri dan banyak jenisnya. Misalnya batu nisan bulat polos yang diperuntukkan bagi kaum ulama. Saya juga melihat ada nisan yang berbentuk balok persegi delapan yang didesain khusus bagi para raja. Selain itu juga ada nisan berbentuk petak panjang diperuntukkan bagi saudagar, keluarga raja, maupun meurah meugat (pemimpin negara). Selain itu juga ada batu nisan plang pleng yang berukuran kecil sedikit melonjong.
Saya sempat takjub melihat nisan berukuran besar yang berdiri di tengah makam. Tingginya mungkin sekitar 150 cm dengan bentuk pipih bersayap. Di sayap kanan kiri nisan sedikit melengkung serupa anting-anting (subang). Dari literatur yang saya baca, ini merupakan makam perempuan. Jadi setiap makam perempuan dan laki-laki berbeda bentuk batu nisannya.
Sebab ukurannya besar, konon saat pemancangan di makam, batu nisan digerek oleh gajah. Ini dibuktikan dengan lubang-lubang kecil yang digunakan sebagai pengikat tali.
batu nisan berukiran subang di sayap kanan kirinya (sumber: mistisfiles[dot]historiansecret[dot]com)
Nisan Aceh memiliki kekhasan tersendiri. Selain pahatannya rumit, di beberapa bagian nisan terukir ayat-ayat Alquran, potongan puisi sufi, serta nama dan tahun kematian. Sangking berjayanya nisan Aceh pada masa lampau, penyebarannya bisa mencapai ke Malaysia. Menurut sejarah, ini bermula ketika salah satu penguasa kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Tsani menyuruh para pemahat untuk membubuhkan nisan berukir di makam Ayahnya, Sultan Pahang, di negeri Pahang Malaysia.
Untuk menjaga agar nisan tidak gampang rusak dan tetap kuat, sebagian nisan dibalut kain putih. Sebab kain membantu memperlambat kerusakan nisan dari penjamuran. Walaupun akhir-akhir ini, cara tersebut banyak disalahartikan. Selain itu menjaga keaslian batu nisan bisa dengan menggunakan tanah liat basah. Caranya, batu nisan dilumuri tanah liat kemudian didiamkan selama tiga hari. Lalu dibersihkan hingga bersih tanpa sisa. Ini merupakan cara tradisional yang kerap dilakukan oleh orang-orang terdahulu.
Di Kampung Pande sendiri saya melihat banyak sekali komplek makam kuno. Saya sempat mengunjungi makam Tuan Di Kandang letaknya tidak terlalu jauh dari pintu gerbang desa. Selain itu berdekatan dengan masjid, juga terdapat komplek makam Putroe Ijo dan makam para Raja Pande.
Tapi sayangnya, saat ini semakin jarang orang menggunakan nisan Aceh sebagai tanda peristirahatan terakhir. Tidak adanya pemahat batu bisa jadi alasan kuat lenyapnya seni pahat ini. Semoga keberadaan batu nisan di Kampung Pande, menjadi salah satu bukti bahwa di Aceh pernah berjaya seni pahat serta ukir yang nantinya mampu dihidupkan kembali.
'Ukiran Batu Nisan Aceh, Keindahan Dibalik Kematian' have 1 comment
July 20, 2024 @ 11:21 am Akbar Rafsanjani
Nisan Aceh tersebar di seluruh nusantara (nusantara dalam artian semenanjung Melayu) biasa ditemukan tidak jauh dari DAS (Daerah Aliran Sungai). Di Malaysia hampir seluruh negara bagiannya terdapat batu nisan Aceh. Salah seorang Prof dari Universiti Malaya pernah menulis buku tentang ini, judulnya “Acehnese Stone” . Di Melaka ada sebuah pemakaman keluarga yang hampir semua menggunakan batu nisan Aceh, yaitu makam keluarga Dato’ Arom, menurut keterangan di makam, nisan ini khusus dipesan dari Aceh ke Malaysia. http://www.riodejaksiuroe.com/2016/04/mencari-nenek-di-melaka.html