Banda Aceh adalah sentral pemerintahan Aceh yang dikenal dengan sebutan Kota Madani. Berada di kota ini, Anda akan menyaksikan bagaimana masyarakatnya sungguh-sungguh menjunjung tinggi aturan syari’at. Perempuannya berpakaian rapi, lengkap dengan hijab. Seluruh toko hening dari aktivitas jual beli, bila memasuki waktu shalat Jumat.
Menjelajahi kota Banda Aceh bisa memberi kesan aktualisasi iman bagi siapa pun. Selain sambutan masyarakatnya yang ramah, bangunan berjejar yang memadati kota ini pun begitu megah. Di sini, Anda akan mendapati ratusan Masjid berdiri gagah. Masing-masing tentunya memiliki keunikan tersendiri. Baik dari segi ornamennya, arsitekturnya, kemakmurannya bahkan nilai sejarah yang tertanam di sana. Semua hal ini membuat Anda tak jeda dari merasakan kekaguman.
Kekaguman pertama yang akan Anda temukan di sini adalah pada bangunan Masjid di tengah-tengah kota. Ya, apalagi kalau bukan Masjid Raya Baiturrahman. Siapa yang tidak tahu dengan Masjid yang satu ini. Bahkan ia termasuk dalam salah satu keajaiban dunia.
Masjid Raya Baiturrahman ini dibangun oleh Kesultanan Aceh, dibawah kepemimpinan Raja Iskandar Muda pada tahun 1022 H/ 1612 M. Pada tahun 1873, Masjid Raya Baiturrahman dibakar oleh Belanda dalam serangkaian serangannya di Aceh. Namun demikian, pada tahun 1877 Belanda kembali membangun Masjid yang merupakan jantung hati rakyat Aceh ini. Semula, bangunan Masjid hanya terdiri dari satu kubah saja. Seiring waktu, adanya pemugaran dan perluasan, mengingat bertambah banyaknya jama’ah. Kini Masjid Raya Baiturrahman menjadi bangunan paling megah di tengah kota, dan terus mengalami pemugaran.
Dari tampilan luar, Masjid Raya Baiturrahman sudah sangat memesona. Bila Anda berada di dalamnya, bertambah-tambah pesona itu. Pernah sekali waktu, saya memandu seorang pewisata asal Selangor – Malaysia. Saat kaki kanannya melangkah masuk ke dalam Masjid, tiba-tiba dia berhenti sejenak. Sontak, “Masya-Allah!” serunya berkali-kali. Saya jadi heran, saya tanya, “Bagaimana? Akak selesa? (Selesa itu artinya nyaman). Ternyata ia sangat kagum, “Saya merasa sejuk sekali, sampai ke hati, rasanya macam mula masuk Masjid Nabawi masa tu” imbuhnya lagi. Kemudian ia shalat sunat dua rakaat di sana.
Saya rasa, sebutan Kota Madani bagi Banda Aceh memang sudah sepatutnya. Sama sekali tidak berlebihan. Kota ini sangat menghargai keberagaman, ketentraman, kerukunan, tenggang rasa dan nilai-nilai perbedaan lainnya. Banda Aceh tidak pernah mendiskreditkan kaum minoritas yang berada di sana. Dalam hal beragama, Anda akan melihat bagaimana Banda Aceh membiarkan adanya tempat penyembahan, tidak hanya bagi muslim, bahkan bagi umat agama lain.
Tidak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, hanya berseberang jembatan saja, Anda akan menjumpai Gereja yang makmur dengan jamaatnya juga berdiri gagah di sana. Di kota yang menjunjung tinggi syariat Islam, Anda menyaksikan bangunan tempat ibadah agama lain tak kalah megah. Kenapa bisa demikian? Jangan heran! Ini semua karena Islam adalah rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Islam bukan agama yang memusuhi, bukan untuk memerangi, tapi untuk memberikan rasa tentram dan perlindungan bagi siapa saja. Keberadaan Gereja Katolik Hati Kudus ini sebagai barang buktinya.
Berdasarkan literatur yang saya baca, Gereja Hati Kudus ini dibangun sekitar tahun 1926, diresmikan pemakaiannya pada 26 September 1926. Ini sudah sangat lama sekali, bukan? Bahkan jauh sebelum konflik dan Tsunami melanda Aceh. Nyatanya, sampai sekarang, Gereja tersebut masih berdiri kokoh dan terus mengalami pemugaran, disesuaikan dengan jumlah jemaatnya.
Gereja ini berada tepat di depan Markas Komando Daerah Militer Iskandar Muda, bertepian dengan sungai Krueng Aceh. Hingga kini masih berlangsung kegiatan peribadatan umat Kristiani di sini. Tidak hanya ibadah mingguan, bahkan upacara Natal selalu berlangsung aman dan tertip di Gereja ini, tanpa perlu dikerahkan aparat penjaga keamanan.
Selain itu, masih di Kota Banda Aceh juga, sekitar satu kilometer dari Gereja Katolik Hati Kudus, terdapat Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB). Di sisi kiri GPIB, terdapat Gereja Katolik Methodis. Sekitar satu kilometer dari gereja ini, ada gereja HKBP. Tidak hanya itu, pada lokasi yang berdekatan, di jalan Panglima Polem, di ruas jalan utama Peunayong, juga terdapat bangunan megah berwarna merah dominan, tempat beribadah bagi warga Tionghoa yang mendiami Kota Banda Aceh ini sejak lama.
Vihara Dharma Bhakti, bukti lain bahwa Kota Banda Aceh ini benar-benar layak disebut Kota Madani. Saat perayaan hari besar mereka, tidak ada muslim di Aceh yang mengusik ketenangan. Mereka bebas membakar dupa di Viharanya. Menaruh sesajian macam-macam. Bukankan ini adalah bentuk toleransi yang sudah teruji waktu? Dari dahulu, hingga sekarang Vihara ini berdiri kokoh di tengah-tengah kota Madani Banda Aceh ini. Warna merah menyalanya, beserta lampion yang digantungkan berjejar rapi, menjadi pelangkap keindahan rona kota kita. Bagaimana? Ingin menyaksikan sendiri? Ayo ke Aceh.
'Banda Aceh, Kota Madani bagi Umat Beragama' have no comments
Be the first to comment this post!