Selama menjadi backpacker dulu, hanya sekali saya terpaksa merayakan lebaran jauh dari kampung halaman di Aceh. Dan sekali itu sudah lebih dari cukup. Berada di tengah gelak tawa sanak saudara orang lain, yang berkumpul dengan segala cerita, adalah hal yang sangat menyakitkan. Rasa sepi ketika berada di keramaian, merasa terpisah, bukan hal yang menyenangkan untuk dialami.
Lebaran di kampung halaman ternyata adalah satu berkah luar biasa. Tak peduli apakah kita sosok pembawa kemeriahan suasana atau hanya pelengkap penderita yang seringnya diam duduk di sudut ruangan. Tetap saja menjadi bagian dari keluarga saat lebaran adalah satu hal istimewa.
Hal lain yang menyenangkan ketika lebaran sambil balik kampung atau mudik adalah menemukan kembali makanan khas lebaran yang sudah mulai hilang di kota-kota besar. Tak perlu jauh-jauh bicara Jakarta atau Bandung, bahkan banyak rumah di kota Banda Aceh sudah mulai terbiasa dengan sajian lebaran modern. Sudah mulai banyak yang mejanya berhias menu-menu ‘asing’. Alih-alih timphan (ada yang menulisnya timpan), yang hadir justru Black Forest Cake, Cheese Cake, Tiramisu Cake atau Brownies. Anak-anak lebih kenal dengan cheese stick dan kue nastar atau choco chip, dibandingkan Bada Reuteuk, kue khas tradisional Aceh dari olahan kacang hijau.
Lontong sayur, soto, coto, karena lebih praktis dibuat mulai menginvasi meja makan saat lebaran, menggusur kuah belangong, sie reboh, atau gule pliek. Alasan selain tidak mudah dibuat -padahal juga tidak terlalu sulit sebenarnya — adalah perkara kekinian. Makanan-makanan tradisonal itu mungkin tidak nyaman di lidah tamu-tamu undangan yang besar diluar daerah atau bekerja diluar negeri. Hal yang sebenarnya konyol, karena justru banyak tamu, teman, pendatang malah tertarik mencicipi makanan khas.
Tapi ini hal konyol yang sering terjadi, dimana-mana. Bayangkan saja saya pergi ke jakarta, dijemput teman, dan di ajak makan mie aceh. Padahal kan kita yang pendatang sebenarnya ingin tahu makanan seperti soto betawi, kerak telor, tahu irit. Kalau mie Aceh kan setiap minggu juga makan, langsung di Aceh malah.. Atau ada teman dari Itali jalan-jalan ke Aceh dan diajak makan pizza di gerai waralaba.
Untungnya sejak tiga tahun belakangan ini, kesadaran dan kebanggaan pada identitas daerah semakin meningkat. Para pembuat bada reteuk mulai mendapat pesanan dari berbagai kalangan, sampai tak jarang terpaksa menolak pesanan, karena melebihi kapasitas. Dari kota turun ke kampung untuk memesan dodoi, dodol manis khas Aceh dan kue bhoi, bolu aceh, langsung dari ‘chef’nya di kampung-kampung. Budaya membuat kuah belangong di masjid pemukiman kota mulai kembali hadir. Bahkan mulai sering kumpul sanak saudara ketika meugang di rumah keluarga yang dituakan untuk masak bersama lalu dibagi dan dibawa pulang.
Lahir besar di pesisir Aceh, Banda Aceh tepatnya, tapi kemudian menetap di Takengon, kota di Dataran Tinggi Gayo, yang dominan dihuni masyarakat suku Gayo, membawa saya pada berbagai hal baru dan menarik. Saya disini baru tahu kalau Terong Belanda ternyata bisa dibuat sambal, cecah angur teman-teman dari suku Gayo menyebutnya begitu. Atau seperti tulisan saya sebelumnya, tentang teh sepang, teh dari batang kayu yang enak dan unik itu. (Bisa dibaca di sini)
Di Tanoh Gayo, ada hidangan khas yang hanya muncul saat hari raya. Cecah Reraya.
Kata cecah disini kurang lebih bermakna seperti sambal. Tapi jangan kaget, karena cecah yang satu ini punya bahan baku daging kerbau dan serutan pohon kayu. Cecah raya ini juga merupakah salah satu makan khas lebaran di Gayo yang sering dirindukan oleh orang-orang Gayo perantau. Bagaimana tidak, karena makanan satu ini selain hanya muncul saat lebaran, pun biasanya dinikmati bersama sanak kelurga dan orang tua.
Bahan bakunya sederhana. Danging kerbau yang sudah direbus, kulit kerbau yang sudah dibakar, dan serutan pohon kayu. Bukan kayu sepang, tapi kayu yang dikenal secara lokal dengan nama wing.
Membuatnya pun mudah. Bumbu-bumbunya adalah kunyit, bawang merah, bawang putih, kelapa yang sudah disangrai, merica, ketumbar, jahe, lengkuas, sere, dan air jeruk. Kayu wing yang diserut halus direndam dengan air panas. Potong dadu daging dan kulit, lalu campurkan dengan bumbu yang sudah digiling halus, tambahkan irisan bawang merah, lalu air seduhan kayu wing. Aduk rata, dan siap disajikan.
Rasanya, enak pakai banget. Rasa khas daging kerbau yang lebih manis dari daging sapi, punya tekstur lebih lembut dan lemak lebih sedikit, dipadu dengan baluran rempah-rempah yang segar. Asam yang muncul dari perasan air jeruk, ditambah dengan aroma daging bakar. Hasilnya adalah makanan yang luar biasa. Apalagi bila menyantapnya sambil ditemani secangkir kopi gayo arabica mendunia atau robusta gayo yang tak kalah enak.
Lebaran balik kampung. Shalat Id, bersama kerabat dan keluarga di lapangan, menikmati hidangan di tengah pemandangan pegunungan, dan sejuknya udara yang berhembus menyegarkan. Itu lebaran yang dipadu dengan liburan namanya. Menyenangkan dan pasti bikin rindu.
'Lebaran Balik Kampung Untuk Cecah Reraya' have no comments
Be the first to comment this post!