Nasip, Presiden Prawiranegara, dan Merdeka Di Aceh.

Vote Us

Untuk kali ini, saya tidak menuliskan tentang tempat-tempat indah menawan di Aceh. Saya ingin menuliskan mengenai secubit percakapan dengan seorang laki-laki, yang hidupnya melintasi dua jaman, perang dan kemerdekaan negeri ini. Laki-laki yang merasakan dipimpin oleh sembilan orang presiden dalam sejarah negeri ini. Ya betul, sembilan. Sejak Bung Karno hingga Pak Joko Widodo.

Alasannya sederhana. Kita sedang dalam masa mengenang dan merasakan kembali semangat kemerdekaan.

Baru beberapa hari lalu Dirgahayu Negeri ini yang ke-71 dirayakan. Bukan hanya dalam batas teritorial negara bergelar sabuk khatulistiwa ini saja, tapi sampai jauh ke berbagai belahan dunia. Tempat mereka yang bahkan tidak lagi menyandang kewarganegaraan Indonesia, tapi masih merasakan darah ibu pertiwi yang mengalir dalam jiwanya.

Menyebut nama Aceh, mungkin yang paling dikenal saat ini adalah pesona keindahan alamnya, juga kopi yang citarasanya mendunia. Tapi selain itu, walaupun tak banyak yang terbuka membicarakannya, Aceh adalah daerah dengan ‘catatan hitam’ bagi negeri ini. Wilayah yang lekat dengan sebutan pemberontak, separatis atau dianggap penghianat.

Kenyataan yang timbul karena sejarah tidak menceritakan secara lengkap kenyataan dari daerah yang digelari daerah modal ini. Alasan yang membuat saya melekatkan tanda kutip pada kata catatan hitam tadi. Sejarah lupa menyebutkan bahwa Acehlah pertahanan terakhir yang membuat negara bernama Indonesia tetap ada.

Setelah Belanda melancarkan agresi militer kedua pada minggu, 19 desember 1948. Radio Hilversum Belanda menyiarkan Indonesia sudah tidak ada lagi. Untuk sesaat dunia percaya. Tiba-tiba dari Dataran Tinggi Gayo, sebuah siaran darurat mengangkasa, dengan tegas menyerukan kepada Dunia, “Republik Indonesia masih ada.”

Tugu Rimba Raya, Monumen Mengenang Peranan Radio Rimba Raya.

Sayangnya sama seperti kisah kecintaan rakyat Aceh menjawab seruan permohonan bantuan Bung Karno, yang seketika meloloskan perhiasan di tangan, berlari pulang untuk kembali membawa perhiasan dan uang, yang kemudian menjadi dana untuk membeli pesawat kenegaraan RI yang pertama, namun berujung dengan negara dengan menghapus Aceh dari peta provinsi di Indonesia dilebur menjadi provinsi Sumatera Timur. Kisah Radio Rimba Raya juga menjadi bagian yang terlupakan. Terpinggirkan. Dan memberikan kesan buruk tentang Aceh ‘Penghianat’ yang membenci Indonesia.

Tahun 2013, karena hendak shalat ashar saya berhenti di sebuah masjid. Di daerah Burni Bius. Dan disitulah saya bertemu dengan laki-laki itu. Namanya Nasip. Hanya beliau dan temannya, serta saya dan istri yang shalat saat itu. Masjid yang luas tapi lengang, menjadi sebab saya memberanikan menyapa beliau. Berawal dari basa-basi, berlanjut dengan cerita yang membekas hingga hari ini. Cerita yang membuat saya semakin mencoba menjadi bagian dari kemerdekaan negeri ini. Merdeka yang menjunjung martabat bangsa.

Pak Nasip tersenyum ketika saya tak percaya, saat ia mengatakan ia lahir tahun 1927. Lalu dengan santai, laki-laki yang terlihat jauh lebih muda dari usianya itu, menceritakan tentang pertemuannya dengan presiden ‘kedua’ Indonesia. Syafrudin Prawira Negara, presiden yang mengepalai negeri ini selama 207 hari. Yang ternyata pernah bersembunyi di Dataran Tinggi Gayo menghindari kejaran Belanda.

Syafrudin Prawiranegara, sosok yang bersama Mr. Assat, merupakan dua presiden dalam sejarah Indonesia yang terlupakan | sumber. Kaskus.co.id

Sore itu saya dan istri pulang dengan pikiran penuh kisah-kisah nyata dari masa perjuangan. Pemberontakan PKI yang kejam, serta sisi lainnya berupa kisah mereka yang dijebak PKI menjadi bagian PKI dan akhirnya menjadi korban. Kisah tentang perjalanan membawa hasil hutan ke kota Takengon yang butuh waktu berhari-hari dan pembangunan negeri yang menghadirkan jalan aspal dan memangkas berhari-hari itu menjadi hanya beberapa jam.

Tapi dari semua itu, ada satu pernyataan yang membuat saya terdiam. Pernyataan yang sangat sederhana. Merdeka itu bukan hanya dirayakan, merdeka itu harus dijaga. Dan setiap kita adalah penjaganya. Pak Nasip lupa siapa nama pejuang yang mendampingi Pak Syafrudin, tapi pejuang itu mengatakan satu hal yang dikutipnya sore itu “Merdeka itu bukan akhir perjuangan, tapi awal pertempuran baru. Karena merdeka itu harus dijaga. Tidak bisa sekedar diterima.”

Terbalik dari berbagai cerita kebencian Aceh, yang sebenarnya berakar dari ketidakadilan yang diterima Aceh, kenyataannya hari ini di setiap pelosok kabupaten di seluruh Aceh, Kemerdekaan itu dirayakan. Para pemuda bersaing dan bangga menjadi bagian dari pasukan pengibar bendera. Pawai tujuh belasan berlangsung meriah. Berbagai lomba digelar. Kafe, hotel, pusat perbelanjaan memberikan diskon sebagai cara merayakan Dirgahayu. Di danau Lut Tawar, ada komunitas yang mengibarkan bendera di dasar danau. Komunitas lainnya berangkat sebelum tanggal 17 Agustus agar bisa mengibarkan bendera saat dirgahayu kemerdekaan di puncak gunung tinggi Dataran Tinggi Gayo.

Bahkan seperti biasa setiap tahun ada pacuan kuda digelar di Takengon. Bagian dari merayakan Dirgahayu negara ini. Tahun ini berlangsung dari tanggal 22-28 Agustus, di Lapang Pacuan Kuda Haji Muhammad Hasan Gayo, Belang Bebangka, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah.

Pacuan Kuda Tradisional di Gayo | sumber. lintasgayo.co

Jaman yang berkembang, wawasan yang semakin berkembang. Sejarah yang kembali digali. Kesadaran yang mulai terbentuk dalam generasi muda, yang mulai mencari identitas dirinya sebagai bagian dari satu bangsa besar. Pak Nasip dan ceritanya terus membekas sampai hari ini, meskipun ketika berkunjung kemarin beliau sedang pulang ke kampung halaman orang tuanya di Jawa, tapi kompor dari beliau menyemangati saya untuk terus menulis dan mempelajari sejarah jadi salah satu harta berharga saya.

“Kata bung Karno, nak. Jangan melupakan sejarah. Dan itu betul sekali. Bangsa yang lupa sejarahnya, tidak akan menghargai bangsanya, lalu akhirnya hancur. Tapi sejarah itu bukan hanya soal perang melulu. Kamu suka menulis, tapi tadi katanya sedang berhenti, kenapa? Karena tidak sukses? Kamu menuliskan soal hidup, hal-hal sehari-hari, bahkan soal jalan-jalan, sebenarnya sedang menyusun catatan sejarah, untuk diwariskan nanti. Jadi menulis saja, di masa depan, itu akan jadi warisan kamu. Jadi, orang disana nanti tahu, oh begini daerah ini, oh ada ini ternyata di sana.”

Seperti saya tulis di awal, kali ini tidak ada tulisan tentang tempat eksotis, menawan nan mempesona (yang banyak) di Aceh. Tulisan ini hanya coret-coret curahan hati seorang penulis pemula yang terancam kena tegur redaktur karena mempergunakan kesempatan untuk curcol soal kemerdekaan, serta apa hal kecil yang bisa dilakukan untuk mengisi kemerdekaan ini. Kalau pun tidak mau hal kecil, hal besar pun boleh.

Dirgahayu 71 tahun Indonesiaku, semoga tetap merdeka.

Mau liburan ke Aceh? Cari di sini: tiket pesawat dan hotel
(Visited 71 times, 1 visits today)


About

Full time stay at home father, part time blogger-writer-graphic designer, and sometime traveler wanna be.


'Nasip, Presiden Prawiranegara, dan Merdeka Di Aceh.' have 2 comments

  1. August 24, 2024 @ 1:15 am Yudi Randa

    busyeeeeet… dia curcol di sini sksksk

    Reply

  2. August 24, 2024 @ 4:46 am BaRT

    Tak apa sesekali menuliskan tentang ini, tak melulu soal keindahan Indonesia bang, karena kita sudah paham jika negeri ini memang luar biasa indah. Saya rasa pada jaman dimana semakin sedikit generasi muda yang mau belajar sejarah, reminder semacam ini memang pas :-)

    Reply


Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool