Ninik Mamak dan Asimilasi Kultur Minang di Aceh

Ninik Mamak dan Asimilasi Kultur Minang di Aceh
4.5 (90%) 2 votes

Siapa yang tak ingat perihal si Zainuddin, sang tokoh utama di buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang cintanya tertolak oleh keluarga Rangkayo Hayati, sang gadis pujaan hati paling cantik seranah Minang kala itu. Bukan, bukan Hayati yang tak sudi menerima cinta “si anak pisang” ini, melainkan ninik mamak keluarganya lah yang merasa bahwa Zainuddin tak kan pernah cocok bila disandingkan dengan Hayati yang bermarga dan punya nama.

Kultur di Aceh

Zainuddin dan Hayati, cerita cinta yang terhalang oleh adat. Photo by: (aryoirhamnabogspotdotcom)

“Maka apalah arti sebuah nama, jika keluargamu pun tak memiliki nama, apalagi jika tak punya ninik mamak”, mungkin begitulah anggapan adat istiadat Minang saat itu.

Berbicara mengenai ninik mamak, maka yakinlah kita bahwa sebutan untuk kekerabatan ini sepenuhnya adalah berasal dari tradisi Minang. Pengertian ninik mamak yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu , baik itu abang maupun adik laki-laki dari sang ibu. Dengan kata lain, ninik mamak dalam masyarakat Minang merupakan kesatuan saudara laki-laki pihak ibu yang berada satu derajat di atasnya. Dalam upacara daur hidup, ninik mamak memegang peranan penting dan selalu diperlukan persetujuannya. Mengabaikan status ninik mamak dapat mengakibatkan tersisihnya seseorang dari kekerabatannya. Maka dengan alasan inilah mengapa akhirnya Hayati dengan berat hati menolak pinangan dari Zainuddin, daripada keluarganya nanti akan disisihkan oleh para ninik mamaknya.

Menurut A. Navis (1984) di daerah Minang masih menganut sistem adat yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Bahkan Evers dan Korff (2000) menganggap bahwa masyarakat Minang bertahan sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia. Pada prinsipnya, mereka sangat menghargai kedudukan perempuan, akan tetapi anak laki-laki juga memiliki peran yang penting dalam kerangka sistem kekerabatan. Apalagi jika yang disebut sebagai ninik mamak.

Pada kenyataannya, adanya lembaga ninik mamak ini tidak hanya ada di daerah Sumatra Barat, namun juga terdapat di Aceh. Tersebutlah suatu suku di Aceh yang bernama suku Aneuk Jamee. Masyarakat Aneuk Jamee menurut sumber-sumber dari kalangan masyarakat, sudah ada di Aceh sejak berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Nenek moyang berasal dari daerah Lubuk Sikaping, Rao, Pasaman dan Pariaman. Diperkirakan terjadi perpindahan gelombang besar-besaran pada tahun 1803 s.d. 1839 saat perang Padri terjadi di Sumatera Barat. Saat itu para penduduk asli terancam oleh Belanda dan harus pindah meninggalkan kampung halaman mereka.

Suku Minangkabau, selaku nenek moyang suku Aneuk Jamee di Aceh. Photo by [dabangdotdytaurusdotorg)

Menurut Abdul Rani Usman, dkk (2009) mengatakan bahwa kecamatan yang menjadi konsentrasi pemukiman masyarakat Aneuk Jamee berada pada teluk-teluk kecil yang terdapat di pantai pesisir barat dan selatan Aceh. Tempat-tempat tersebut merupakan daratan rendah yang diapit oleh Bukit Barisan dan Samudera Hindia. Di tempat yang baru inilah mereka beradaptasi dan terjadi proses asimilasi dengan penduduk setempat, yang keturunannya kemudian dikenal dengan nama Aneuk Jamee.

Pada saat upacara perkawinan, ninik mamak menjadi penasihat yang paling menunjukkan eksistensinya dan menjadi ketua panitia yang harus memiliki tanggung jawab penuh hingga acara perkawinan itu selesai dilaksanakan. Eksistensi ninik mamak telah dimulai saat anak saudara perempuannya atau keponakannya dilamar oleh seorang pemuda. Maka terkadang, bukan hanya orang tua anaknya yang perlu didekati, namun mendapatkan persetujuan dari ninik mamak adalah syarat terpenting agar proses lamaran diterima ataupun ditolak. Mereka juga yang nantinya akan menentukan jinamu (mahar) yang akan diberikan kepada calon pengantin wanita. Sang wali dari wanita hanya akan menerima putusan dari hasil musyawarah ninik mamak.

Bukan hanya saat lamaran, bahkan ketika persiapan pesta dilakukan, ninik mamak menjadi ketua panitia acara perkawinan. Ia menjadi seksi tersibuk yang mengurus anggaran biaya pesta, menyiapkan dan mencari bahan masakan pesta, memperbaiki rumah sang calon pengantin wanita yang bocor ataupun mengganti papan rumah yang sudah lapuk agar tidak menimbulkan rasa malu dan aib keluarga. Bahkan ninik mamak pun yang bertugas menyediakan anggaran atau memenuhi anggaran biaya pesta jika memang tidak tercukupi.

Bahkan pesta pernikahan pun tidak akan luput dari kerja keras para ninik mamak

Begitu juga halnya dengan mendidik dan membimbing keponakannya, ninik mamak mempunyai peranan penting. Apalagi jika keponakannya seorang yatim atau piatu, maka setiap hari ninik mamak mengontrol, memperhatikan keponakannya dan juga memenuhi segala kebutuhan hari-hari, termasuk memenuhi biaya pendidikan, membeli baju lebaran ataupun daging meugang. Dalam hal ini ada ungkapan dari masyarakat etnis Aneuk Jamee “anak dipangku, kemenakan dibimbing“.Bahkan kadangkala untuk kebutuhan anak kandung sendiri sering terabaikan.

Ninik mamak pada masyarakat Aneuk Jamee sampai saat ini masih tetap eksis walaupun memiliki kecenderungan untuk memudar yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena terjadinya perkawinan antar suku. Saat ini, kecenderungan menarik garis perwalian (saudara ayah) ke dalam lingkaran ninik mamak. Keadaan demikian erat kaitannya dengan semakin mantapnya pengaruh hukum Islam. Dengan demikian, lembaga ninik mamak pada masyarakat Aneuk Jamee mirip dengan kawom dalam masyarakat Aceh.

Sumber:

  1. Usman, AR, dkk. 2009. Budaya Aceh. Banda Aceh: Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh
  2. Navis, AA. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers
  3. Evers, HD, Korff, R. 2000. Southeast Asian Urbanism. LIT Verlag Münster: Ed.2nd. p. 188. ISBN 3-8258-4021-2
Mau liburan ke Aceh? Cari di sini: tiket pesawat dan hotel
(Visited 189 times, 1 visits today)


About

Pengejar Senja, Langit dan Laut.


'Ninik Mamak dan Asimilasi Kultur Minang di Aceh' have 2 comments

  1. August 23, 2024 @ 10:47 pm BaRT

    Kawom dalam masyarakat Aceh juga konsep yang sama dengan ninik mamak dalam masyarakat Minang/Aneuk Jamee kah?

    Reply

    • August 24, 2024 @ 10:07 am Ismi Laila Wisudana

      Mirip, hanya saja mungkin kawom utk sanak keluarganya lebih lias dan tidak terpaku pada saudara dari pihak ibu.

      Reply


Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool