Ada banyak permainan tradisional yang berkembang di Aceh. Di antaranya menampilkan ketangkasan dan kekompakan, sebut saja geudue-geudue dan peh kayee. Geudeu-geudue merupakan salah satu permainan tradisional yang sering dimainkan saat masa panen tiba. Sekilas permainan ini menyerupai sumo dari Jepang. Sebab melibatkan para pemain yang berbadan besar, tegap dan mempunyai ketangkasan dalam mengadu kekuatan. Permainan ini sering berlangsung di pesisir timur Aceh terutama di Pidie dan Pidie Jaya.
Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena dengan menantang dua orang lain yang berpostur sama. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari dua orang untuk menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, kedua kubu ini saling memukul dan menghempaskan penyerangan. Walau mengadu kekuatan, permainan ini lebih mengedepankan sportifitas dan sikap kekeluargaan. Sehingga tidak ada yang marah atau menaruh dendam.
Berbeda dengan permainan peh kayee, permainan ini lebih sering dimainkan para anak-anak yang sudah mahir berhitung. Alat permainan yang digunakan pun sangat sederhana, hanya dua kayu kecil yang digunakan untuk memukul kayu. Secara nasional, permainan ini lebih dikenal sebagai patok lele.
Selain dua permainan di atas, Aceh juga memiliki beberapa permainan tradisional lainnya. Bahkan di antaranya telah menjadi agenda tahunan yang kerap mengundang para wisatawan untuk bertandang. Dua permainan yang kerap dijadikan acara tahunan dan atraksi wisata adalah geulayang tunang dan pacuan kuda.
Geulayang tunang atau pertandingan layang-layang sering diadakan di Aceh. Dulunya, permainan ini sering digelar saat pesta panen tiba. orang-orang sering memanfaatkan sawah kering sebagai tempat menerbangkan layang-layangnya. Sewaktu saya kecil dulu, kebiasaan ini sering saya lihat. Terlebih lagi rumah saya berdampingan dengan sawah-sawah luas. Dari halaman rumah saja saya bisa melihat puluhan layang-layang diterbangkan hingga ke pucuk langit.
Namun, keadaan sekarang berubah. Pembangunan semakin menggila sehingga menguras area persawahan. Kebiasaan menerbangkan layang-layang pun semakin jarang terlihat. Jika pun ada, geulayang tunang sering dipertandingkan di event tahunan Banda Aceh, seperti HUT Banda Aceh yang berlangsung setiap bulan April. Ada dua lokasi yang sering dijadikan arena pertandingan, yaitu Lapangan Blang Padang dan Pantai Lampuuk. Pemilihan kedua lokasi ini didasari luas area sekaligus sirkulasi angin yang lancar.
Selain geulayang tunang, permainan tradisional pacuan kuda juga terbilang hits di Aceh. Jujur, sampai sekarang saya sangat kepingin melihat langsung pertandingan ini. Di Aceh, pacuan kuda hanya berlangsung di daratan tinggi Gayo tepatnya di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Selain karena alamnya yang mendukung, di daerah ini ekosistem kuda paling banyak di Aceh. Hampir rata-rata masyarakat di sana memiliki kuda dan menggunakannya sebagai alat angkut hasil pertanian.
Beberapa tahun lalu, saya pernah berkunjung ke Gayo. Alamnya sangat indah dengan suasana sejuk. Perbukitan berbaris mengelilingi danau Lut Tawar yang berada di tengahnya. Di sini, menemukan kuda bukanlah hal yang sulit. Saya beberapa kali melihat kuda yang berkeliaran di tanah lapang atau rumah warga. Saat itu, selain mengurusi tugas kerja, saya menyempatkan diri unutk melihat langsung atraksi pacuan kuda. Sialnya, keinginan ini batal terwujud. Saya hanya menemui lapangan pacuan kuda yang kosong melompong tanpa pertandingan. Sepertinya kedatangan saya bukan di waktu yang tepat.
Menurut literasi, pacuan kuda termasuk permainan tradisional tua di Aceh. Ini berawal di tahun 1850, saat itu pacuan kuda melintasi Wekef dan Menye yang berjarak 1,5 Km. Dulunya, rute pacuan kuda tidak melingkar layaknya lapangan sepakbola, tapi memanjang melintasi pinggiran Danau Lut Tawar. Selain itu, ada juga catatan sejarah yang mengatakan, pacuan kuda dimulai di tahun 1930 untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda, Welhillmina.
Saat ini pacuan kuda sering digelar di hari-hari besar seperti ulang tahun kabupaten, pesta panen, atau peringatan 17 Agustus. Pada awalnya, permainan ini tidak ada aturan baku untuk dilaksanakan. Tapi lama-kelamaan peraturan pun terbentuk agar atraksi pacuan kuda lebih terbit berjalan. Biasanya pacuan kuda diikuti oleh joki yang masih berusia muda. Mereka menunggang kuda mengelilingi area yang terbilang luas. Para penonton bisa melihat atraksi ini melalui tribun atau di pinggir lintasan yang dibatasi pagar.
Semakin berkembang permainan ini, perhelatannya pun semakin berubah. Dulu cara start pacuan kuda ditandai dengan selembar bendera yang dikomandoi dengan aba-aba. Lantas, joki memecut kuda agar lekas berlari. Tapi, metode ini sering menjadi ajang keributan sesama joki. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, akhirnya digunakan starting gate untuk melepas kuda pacu.
Keunikan pacuan kuda ini telah menjadi daya tarik tersendiri. Ramai orang datang ke dataran tinggi Gayo untuk menikmati keindahan alam, sekaligus melihat langsung permainan tertua di Aceh ini. Sebelum datang kemari, saran saya, terlebih dahulu cek kalender wisata agar kedatangan Anda tidak sia-sia. ***
'Pacuan Kuda dan Geulayang Tunang: Dua Atraksi Besar Tahunan di Aceh' have no comments
Be the first to comment this post!