Aku menyebutnya sebagai dua titian, dua jembatan kembar yang menyimpan surga alam yang mungkin hanya dapat dinikmati oleh mereka yang lelah pada aktivitas dunia. Dua jembatan ini terletak pada dua daerah berdekatan, antara Lamnyong dan Alue Naga dengan sungai dan laut yang terpisah tegas, namun di satu titik akan bertemu tanpa tahu harus menyebutnya sebagai laut ataupun sungai. Pada sisi Lamnyong, kau akan menyebut bahwa sungai Lamnyong mengalir deras di bawah Jembatan Lamnyong. Apalagi ketika musim penghujan tiba, maka seakan kau bergidik takut ketika melewati jembatan Lamnyong melihat pusaran air yang begitu menggeliat parah. Seakan jarak yang dekat hanya bersisa ruang sejengkal jatuh ke bawah. Namun pada sisi jembatan Alue Naga, kau akan menyebut laut dengan riakan tenang mengalir di bawahnya. Pada laut, seharusnya kau lebih takut akan gelombangnya. Namun laut di sisi jembatan Alue Naga, gelombangnya tak separah sungai, si tetangganya.
Apa yang membuatmu begitu terpaku melihat dua sisi jembatan ini? Kuceritakan Kawan, akan ada dua makna pergantian hari yang dapat kau lewati tanpa menyentuh nuansa satu dengan yang lain. Pada pagi yang menyambut, aku akan memilih berjalan di sekitar jembatan Alue Naga, melihat matahari yang malu-malu muncul dari bayangan Gunung Seulawah Agam. Begitu apik. Bahkan sungai dan laut pun masih diam beriakkan emas. Lamat kulihat semuanya masih tampak begitu temaram seiring semakin bersinarnya matahari dari kaki gunung. Hawa pagi masih begitu sejuk, dengan rangkaian awan yang mulai tematik menghias langit.
Matahari semakin naik, namun sungai Lamyong masih merefleksikan dirinya pada padu padan langit dan kota yang semakin terlihat cerah. Aku memilih untuk berjalan di tepian sungai melihat aktivitas yang mulai tampak satu persatu hadir. Ada di antaranya yang mengantar anak ke sekolah, membawa gerobak dagangan, atau mahasiswa yang membawa sepeda motor pada kecepatan yang tak biasa. Ya, kawasan Alue Naga, Lamnyong dan Darussalam menjadi pusat kota mahasiswa di Banda Aceh. Maka tak ayal, yang menjadi penikmat surga di antara dua jembatan ini pun adalah mereka, para mahasiswa yang melepas penat dari tugas perkuliahan mereka.
Semakin merangkak pada pukul 08.00 WIB, kawasan jembatan Lamnyong menjadi semakin macet. Tidak dapat dipungkiri, jembatan ini sudah berusia seabad dengan kondisi yang layaknya sudah diperbaharui. Jembatan yang tak terlalu luas, hanya berkisar untuk empat muatan mobil. Ditambah lagi dengan desakan sepeda motor, membuat para pengguna jalan semakin cemas, berharap dapat melewati jembatan dengan selamat. Sudah beberapa kali advokasi untuk pembangunan jembatan ini dilakukan, namun nihil masih menjadi hasil yang didapatkan. Menjelang siang, kau dapat melihat dari sisi kiri jembatan arah Darussalam ke Lamnyong, deretan kanvas alam yang sudah terbentuk apik, dengan air sungai yang tenang dan pantulan dari langit, hijau pepohonan hingga sederatan pegunungan yang menyambung hingga ke Seulawah. Dahulu, aku selalu memikirkan cara untuk dapat berhenti sejenak, memarkirkan sepeda motor di pinggir jembatan sambil menikmati surga yang Tuhan dititipkan ke dunia. Namun sayang, padatnya lalu lalang di sepanjang jembatan selalu membuatku urung niatku untuk berhenti di sana. Di sisi kanan jembatan, kau dapat melihat beberapa atlit panahan sedang berlatih. Di seberangnya, para pelatih untuk driver mobil dengan senang hati membagi lahan dengan beberapa hewan ternak yang mencari makan di sekitaran lapangan dekat hulu sungai.
Jika senja lambat laun mulai beranjak turun dan hari pun tampak cerah, sesekali pergilah melepas penat memandangi Darussalam ataupun Alue Naga dari sisi badan jalan. Menikmati matahari yang mulai turun melambat, mereflesikan dirinya pada sungai yang lambat launsembunyi dari bilik bangunan di seberang sungai. Ditumbuhi oleh cemara yang berjejer, menjadikan tempat ini pilihan beberapa anak muda untuk santai menikmati sore sambil menikmati jagung bakar yang dijual di sekitaran jalan. Jika hari masih sore dan belum terlalu gelap, tontonan permainan sepak bola yang biasanya dilakukan anak-anak paruh baya di sini. Oh, menjadikan nuansa sore di bawah jembatan ini semakin menyatu.
Tak lupa langkahkan kakimu hingga sampai pada jalanan Alue Naga, kau akan disuguhkan pemandangan matahari terbenam yang begitu eksotis tepat di permukaan laut. Para nelayan pun memilih pulang menepikan perahu, namun bangau belum lepas dari payau yang jernih yang ditumbuhi oleh bakau tertanam rapi, tepat di seberang tempat nelayan menepikan perahu.
Begitulah, dua jembatan ini selalu menghadirkan nuansa surga yang selalu dirindukan. Terkadang, tak perlu mampir untuk iri melihat rumput tetangga, jika rumput rumah sendiri ternyata lebih hijau daripada rumput mereka. Tak perlu terlalu jauh menikmati alam, jika yang dekat dengan rumahmu pun membuatmu enggan untuk beranjak pergi.
'Surga di Antara Dua Titian' have no comments
Be the first to comment this post!