“Nak, Ayah ingin sekali pulang kampung“. Ungkapan ini merupakan pernyataan dari Ayahku di setiap lebaran tiba. Tidak hanya ayahku, namun seluruh adik-adikku pun menyutujui perihal keinginan Ayah ini. Tapaktuan, sebuah daerah kecil di bagian barat daya Aceh yang sudah sangat mendarah daging di keluarga kami. Dari semasa kecil, Ayah dan Ibuku selalu membawa kami pulang ke Tapaktuan, sebuah daerah yang akhirnya kami menyebutnya sebagai “kampung” di mana kami akan berpulang setidaknya saat lebaran tiba.
Bukan sebuah perjalanan yang mudah untuk bisa sampai ke sana, karena memerlukan waktu sekitar 8-10 jam dari Banda Aceh, dengan menggunakan mobil atau angkutan penumpang seperti bus.
Berbeda dengan suasana yang ada di daerah Aceh lain pada umumnya, Tapaktuan memberikan suatu nuansa baru yang tidak aku rasakan seperti layaknya di Banda Aceh, Aceh Besar, Meulaboh ataupun Langsa sekalipun. Keempat kota ini sudah pernah menjadi tempat tinggalku, namun berada di Tapaktuan bagiku tetaplah berbeda dari apapun. Bahkan hanya dengan mencium aroma pasir laut yang bercampur dengan aroma minyak busuk pun (sebutan untuk minyak kelapa yang diproduksi sebagai minyak untuk memasak), sudah membuatku yakin bahwa aku telah sampai dan berada di Tapaktuan.
Tapaktuan adalah salah wilayah kabupaten di Aceh yang merupakan ibukota dari Aceh Selatan. Etnis Aneuk Jamee selaku etnis asli dari Aceh Selatan, menyebut Tapaktuan dengan sebutan Taluak (teluk). Daerah ini disebut juga sebagai Kota Naga ataupun Tanah Tuan Tapa. Ya, legenda Tuan Tapa yang dipercaya menjadi asal mula terbentuknya kota, bukit serta lautan di daerah ini dan sudah dipercayai secara turun temurun pula kisahnya oleh masyarakat di daerah ini.
Daerah ini sangatlah unik dengan lokasi perkampungan masyarakat yang berada tepat di sepanjang jalan mulai dari jalanan Meukek hingga Trumon. Lokasi rumah warga yang berdekatan dengan jalan raya, disertai dengan pemandangan lautan lepas di sisi kanan dan perbukitan di sisi kiri jalan. Pun jalanan yang dilalui hanya lurus pada satu jalan dengan lebar badan jalan yang tidak terlalu besar.
Keunikan lainnya yang dapat saya rasakan saat pulang kampung adalah masyarakatnya yang tak biasa dibandingkan masyarakat Aceh pada umumnya. Awalnya saya sempat mengalami kebingungan saat mendengar bahasa yang digunakan oleh masyarakat di daerah ini. Logat dan kosa kata yang digunakan seperti percampuran bahasa bahasa Minang dan sisanya adalah bahasa Aceh.
Masyarakat di kampung saya ini sebagian besar beretnis Aneuk Jamee, yaitu sebuah etnis yang bernenek moyangkan orang Minangkabau, antara lain dari daerah Lubuk Sikaping, Rao, Pasaman dan Pariaman. Diperkirakan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau ke wilayah Aceh Selatan ini terjadi pada tahun 1803 s.d. 1839 pada saat terjadi Perang Padri di Sumatera Barat oleh Tuanku Imam Bonjol saat melawan pemerintahan kolonial Belanda.
Di tempat yang baru inilah akhirnya mereka berasimilasi dengan warga setempat. Proses asimilasi ini tidak mengalami hambatan, dikarenakan agama di antara keduanya sama-sama Islam. Pun sampai saat ini, daerah di Aceh Selatan ini dipercaya sebagai daerah yang religius, banyak ulama besar di Aceh yang lahir dan berasal dari daerah ini.
Menurut Abdul Rani Usman, dkk (dalam buku Budaya Aceh, 2009), dikatakan bahwa kecamatan yang menjadi kosentrasi pemukiman masyarakat Aneuk Jamee berada pada teluk-teluk kecil yang terdapat di pesisir pantai Barat-Selatan Aceh. Tempat-tempat tersebut merupakan daratan rendah yang dihapit oleh Bukit Barisan dan Samudera Hindia. Mereka membangun rumah di kanan kiri jalan raya di pinggir pantai. Persis sama seperti rumah nenekku yang berada di samping jalan raya, hanya berjarak 20 langkah kaki menuju ke arah laut.
Pola perkampungan di kampung saya juga mengelompok padat, seperti yang tampak di Kecamatan Samadua. Sebagian dari kampung ada yang berbanjar di sepanjang jalan raya Banda Aceh-Tapaktuan-Bakongan. Selain itu, ada jalan-jalan kecil ataupun jalanan setapak yang disebut jorong yang menghubungkan rumah satu dengan rumah lainnya, atau menghubungkan satu bagian kampung dengan bagian kampung lainnya.
Karena bentukan daerah ini yang sangat tematik dan terdiri dari laut yang langsung berhubungan dengan Samudera Hindia, serta pegunungan yang berjajar sepanjang Bukit Barisan inilah yang akhirnya menjadikan Tapaktuan sebagai daerah terindah untuk wisata laut dan bukitnya. Pun tidak sembarang tempat, setiap destinasi yang ada di daerah Aceh Selatan ini selalu berhubungan dengan legenda, yang sebagian besar adalah Legenda asal usul Tapaktuan.
Salah satunya adalah Batu Manangih (batu menangis), yaitu berupa batu besar yang terletak di kawasan Damartutong, Samadua-Aceh Selatan, yang dipercaya sebagai tempat persembunyian seorang putri saat Naga berperang melawan Tuanku Tapa. Beberapa destinasi wisata lainnya yang berkaitan dengan legenda, di antaranya adalah Gunung Lampu, Tapak Tuanku, Batu Itam dan lain-lain.
Daerah ini menjadi sebuah daerah komoditi penghasil ikan laut yang segar dan dengan hasil pertanian yang bagus. Salah satu hasil pertanian dan perkebunan yang sangat terkenal adalah tanaman pala dan minyak nilam (sebagai bahan baku pembuatan parfum). Maka tak heran bahwa sebagian besar mata pencaharian para masyarakat di daerah ini adalah sebagai nelayan dan petani. Bermacam bentuk kapal dan perahu akan sering kamu jumpai di setiap jalanan Aceh Selatan ini, pun sawah-sawah terbentang luas dan padi tumbuh subur dengan aliran air yang berasal dari gunung.
Lantas, masihkah ada alasan bagi saya dan keluarga untuk tidak pulang kampung? Mengingat kebahagiaan-kebahagiaan ini yang selalu kami rasakan setiap kami kembali ke sana. Walaupun kampuang nan jauh di mato, tapi selalu dekek di hati kami (walaupun kampung kami jauh di mata, tapi selalu dekat di hati kami).
Sumber: Usman, R.A., dkk. 2009. Budaya Aceh. Banda Aceh: Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Hal 102-103
'Tapaktuan: Kampuang yang Nan Jauh di Mato' have 4 comments
July 24, 2024 @ 7:42 am Sudarliadi Alisyahidar
Pengen pulang kampuang.. Amboe..
Rindu lihatlihat senyum umak dan ayah amboe, makan bersamo .. Pagi minum kopi sambil bercerito tentang pengalaman ayah.. Ada pengalaman ayah yg lucu kito pun ketawa.. .Terbahak bahak.. Akhirnya kami di undang lapar dan umak panggil sarapan anak ku.. .Bahagia kali.. Selamat ya
August 24, 2024 @ 10:11 am Ismi Laila Wisudana
Bagaimanapun sibuknya di tanah rantau, setidaknya pulang kampung ke sana itu harus. Karena yang ada di kampung tak pernah kita dapati di tanah rantau. Dan itu selalu msmbuat rindu.
July 27, 2024 @ 5:31 am cumilebay
Senang nya kalo masih punya kampung yg asri dan nyaman
aku mudik nya ke gresik yang sama aja kayak jakarta rame dan banyak mall ihik ihik ihik #YaSudahlah #lelah
August 24, 2024 @ 10:12 am Ismi Laila Wisudana
Kalau di kampungku, jangankan mall, semacam supermarket saja masih jarang. Tapi kami selalu diberikan pemandangan alam dan masyarakat yang tidak bisa kami lihat seperti di kota.