Ketika Tsunami Aceh menerjang, tepatnya 26 Desember 2004, pesisir Aceh mengalami kehancuran yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Puluhan kilometer wilayah dengan penduduk padat hancur dan tersapu. Hingga saat ini, belum ada satupun yang mampu menyebutkan angka pasti jumlah korban di Aceh. Perkiraan yang paling diyakini adalah sekitar 200 ribu jiwa menjadi korban. Banyak yang jenazahnya tak pernah ditemukan.
Ribuan, bahkan lebih, cerita tertulis. Kesedihan, kehilangan, kenangan, kisah tentang perjuangan bertahan, cerita-cerita kebangkitan kembali masyarakat dari puing-puing tsunami. Dua belas tahun sesudahnya masih banyak cerita yang belum terungkapkan. Seperti juga banyak cerita yang perlahan-lahan muncul ke permukaan.
Ketika saya menuliskan tulisan ini, enam belas hari menjelang peringatan dua belas tahun Tsunami Aceh, 26 Desember 2004 - 26 Desember 2016. Bebebrapa hari sebelumnya, bencana gempa kembali mengguncang wilayah Aceh. Gemba darat berkekutan 6.3 skala Richter menmbulkan kerusakan berat di wilayah Pidie Jaya dan sekitarnya. Banyak pemukiman, mesjid dan pertokoan yang rusak dan rubuh. Korban jiwa terus bertambah, dari belasan kini mencapai angka seratusan.
Mendadak kami diingatkan kembali, rasa sakit kehilangan bertambah, luka yang belum seutuhnya pulih kembali terbuka, bertambah lagi dengan luka baru. Disaat yang sama kenangan lama juga bermunculan. Kata kunci terkait gempa dan Tsunami Aceh membuka kembali banyak hal yang selama ini nyaris terlupakan. Bahkan beberapa ingatan kembali dalam bentuk potongan-potongan samar.
Diantaranya adalah kenangan tentang dua tempat wisata kuliner yang hilang.
Dua Tempat Wisata Kuliner Rakyat Yang Hilang di Banda Aceh.
Sebelum Tsunami Aceh tahun 2004, Banda Aceh adalah kota yang sedang berusaha berkembang. Rite kehidupannya masih sangat santai, berbeda dengan kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Jogja Atau Denpasar. Kalau ada tour musik keliling Indonesia, nama Banda Aceh jarang tercantum. Wisatawan mulai mengenal Aceh, tapi masih sebatas kunjungan ke Sabang, itu pun belum seramai sekarang.
Seperti umumnya di kota manapun, selalu ada tempat yang menjadi tempat mangkal, tempat santai, tempat yang menjadi tujuan wisata kuliner. Nama seperti Rindang Cafe yang dulu berlokasi di Taman Sari tepat di seberang kantor Walikota Banda Aceh, Bakso Gajah di depan bioskop Gajah, Rex yang awalnya adalah bioskop pada era 70’an yang lokasinya sampai sekarang masih menjadi salah satu pusat kuliner di kota Banda Aceh, barisan warung gerobak di samping bank BNI di pusat kota, deretan kedai panggung di Ulee Lheu, dan beberapa lainnya.
Dari semua tempat yang saya tuliskan, hanya Rex yang masih berjaya. Rindang cafe hancur saat tsunami. Begitu juga kedai panggung di Ulee Lheu, dan warung gerobak di samping bank BNI hancur saat tsunami. Maaf bukan iklan, tapi tempat itu memang sering disebut dengan ‘di samping BNI Shoping Center’, kombinasi lokasi bank di pusat kota dan bangunan Pasar Aceh shoping Center yang berada di dekatnya.
Sekian lama terlupakan setelah Tsunami Aceh, saya mendadak teringat kembali dengan dua tempat itu.
Deretan warung gerobak di samping bank itu memang bukan tempat kuliner dengan penampilan mewah. Pada kenyataannya hanya sebuah lorong atau jalan kecil yang menghubungkan wilayah pusat pertokoan dengan area Lampaseh Kota. Jalan yang saat pagi dini hari hingga siang merupakan area bongkar muat berbagai truk barang ini, ketika menjelang sore perlahan berubah menjadi barisan gerobak yang menjual makanan dan minuman. Dari mie Aceh yang terkenal, mie kocok, jus buah, rujak, putu bambu, gorengan, bandrek, hingga sate. Walaupun penampilannya tidak mewah, tapi tempat ini adalah deretan warung gerobak yang dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.
Radio tempat saya siaran pada saat itu berlokasi hanya sekitar 5 menit jalan kaki dari situ. Nyaris menjadi kewajiban selepas siaran untuk sekedar nongkrong duduk santai sambil bercerita dengan sesama penyiar, sambil menikmati hidangan mie goreng bang Lah, atau sate padang Ajo. Bagi saya itu dua makanan paling terkenal di situ. Mie bang Lah, tak perlu susah menebaknya, asal nama itu dari nama pemilik gerai/gerobak. Harganya standar, tapi rasanya, di atas standar. Menggunakan kaldu sapi sebagai bahan ‘rebusan’ awal, rajangan daging yang beneran isi bukan sekedar potongan urat atau cuilan kecil, atau udang segar. Teknik yang dikembangnya bertahun-tahun, membuat mienya matang sempurna, setiap helai mie berbalut bumbu dengan sempurna.
Selain mie, satu lagi yang menjadi menu favorit adalah Sate Padang Ajo. Jelaskan, pemiliknya memang orang padang. Semua memanggil laki-laki bertubuh kecil dengan panggilan Ajo. Uniknya, Ajo bukan sosok yang ramah. Orangnya baik, sangat baik. Tapi judesnya minta ampun. Jangan coba-coba meminta agar pesanan kita di dahulukan atau banyak protes semisal, jangan pakai bawang goreng, atau dibanyakin bumbu, dijamin bakal kena sembur dengan omelannya yang bisa bikin kuping panas kalau tidak biasa. Tapi tidak ada satu pelangganpun yang marah, malah tersenyum sendiri, apalagi seperti kami yang memang pelanggan tetap, terkadang sengaja memancing omelannya.
Sate padang Ajo, punya karakter bumbu yang unik. Rasanya pekat dan pedas, tapi bumbunya tidak terlalu kental, dan anehnya meskipun terasa berlemak, tapi tidak ‘bergapah’ ketika dingin. Kalau anda bingung apa itu bergapah, maksudnya adalah lemak beku seperti lilin yang kadang muncul ketika makanan hasil olahan daging tidak lagi panas. Umumnya sate padang menggunakan jeroan sebagai bahan sate, dan seringnya agak menguji kekuatan gigi. Tapi sate buatan Ajo, satenya lembut luar biasa. Sampai saat terakhir saya membeli sate di situ, Ajo masih menggunakan bungkus daun pisang. Hasilnya, sate yang memiliki wangi khas.
Tempat lainnya yang sering saya kunjungi adalah deretan warung panggung di Ulee Lheu. Tidak ada nama khusus untuk tempat itu. Sederetan warung, yang dibangun sebagiannya berupa panggung di atas air. Sebagiannya adalah tambak, sedangkan sebagian lainnya, mungkin bisa disebut sebagai bayou. Bagian cabang kecil dari teluk yang ditumbuhi hutan bakau dan sedikit rawa-rawa berair payau. Banyak makanan yang disajikan, tapi rata-rata orang datang untuk menikmati Sekoteng. Dihidangkan dalam gelas belimbing, minuman berasa jahe yang manis ini sangat populer saat itu. Hampir semuanya menyajikan dengan isian berupa kacang hijau, sedikit kacang merah, kacang tanah, dan pacar cina (mata ikan/biji mutiara).
Menikmati sekoteng hangat, dalam belaian angin pesisir, pemandangan hutan bakau, kapal nelayan yang bergerak pergi atau pulang melaut, dan suara debur ombak di kejauhan. Liburan sederhana yang cocok untuk melepaskan lelah dan beban kerjaan.
Ketika Tsunami Aceh tahun 2004, kedua tempat itu hancur. Banyak para pedagangnya yang kemungkinan besar menjadi korban. Rata-rata mereka memang tinggal di wilayah yang menerima dampak terbesar, yaitu: Kedah, Kampung Jawa, Kampung Pande, Merduati, Lampaseh, Alue Dayah Teungoh, Punge, Ulee Lheu, dan sekitarnya.
Jalan di samping bank itu sudah dibangun ulang, tapi sekarang yang banyak adalah kios-kios biasa. Sedangkan tempat warung Sekoteng sekarang sebagiannya sudah menjadi zona larangan, tidak diperkenankan lagi untuk dibangun pemukiman, toko dan warung. Sebagian lainnya sudah menjelma menjadi deretan ruko.
Untuk Ezytraveler yang ke Banda Aceh. Saya masih bisa merekomendasikan tempat mie Aceh yang enak. Misalnya mie Turis di Peurada, mie Razali atau mie Simpang Lima yang terkenal itu, atau mie Andista, di Kuta Alam, tak jauh dari Rumah Sakit Kuta Alam. Untuk sate padang, rekomendasi saya adalah sate Padang Ajo (nama panggilan yang sama tapi orangnya berbeda) di dekat gerbang kampus atau sate padang di depan mie Cek Baka, Simpang Surabaya.
Tapi sejujurnya, saya merindukan dua tempat makan yang hilang itu. Enaknya berbeda, dan juga suasananya. Mungkin tulisan kali ini agak bernuansa curhat, tapi dimaklumi saja ya, Ezytraveler. Memasuki bulan Desember, masih banyak orang Aceh yang menghadapinya dengan perasaan yang campur aduk. Kenangan yang ingin dilupakan tapi di sisi lain tak ingin dilupakan.
Walaupun begitu, tetap saja saya ingin bertanya. Kapan anda ingin ke Aceh? Daerah yang di balik semua ujiannya, adalah salah satu daerah paling indah di Indonesia. Negara yang memenangkan penghargaan dan layak disebut sebagai World Halal Destination.
'Tempat Wisata Kuliner Yang Hilang Ketika Tsunami Aceh 2004' have no comments
Be the first to comment this post!