Aceh, Kota Seribu Meunasah dan Dayah

Vote Us

Aceh selaku kota yang sarat dengan syariat Islam, sedari dulu memiliki banyak kekhasan berbeda yang tidak ditemukan di daerah lain yang ada di Indonesia. Pun tidak hanya dapat kamu temui di mesjid, beberapa aktivitas keagamaan lainnya dapat kamu temukan di meunasah dan dayah. Jika dilihat dari bentuknya, sekilas meunasah di Aceh mirip dengan musholla dan dayah mirip dengan pesantren di daerah lain di Indonesia. Namun ada beberapa hal yang menjadikan fungsi meunasah melebihi fungsi musholla secara umum, karena di meunasah semua kegiatan masyarakat desa dapat dilakukan, tidak mesti hanya kegiatan yang bersifat keagamaan saja.

Meunasah adalah bangunan yang terdapat di setiap gampong (red: kampung). Meunasah lazimnya berbentuk rumah panggung yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama agak sedikit lebih rendah dari bagian kedua, yang merupakan sebuah ruangan terbuka yang disebut serambi meunasah. Bagian ini berfungsi sebagai tempat pertemuan baik bersifat resmi maupun tidak resmi bagi warga gampong. Bagian kedua dari meunasah adalah ruangan tertutup atau setengah terbuka dan merupakan bangunan utama dari meunasah. Fungsinya adalah sebagai tempat yang bersifat keagamaan.

Meunasah Gampong Cot Baroh. Photo by [gampongcotbarohdotdesadotid]

Pada zaman Sultan Iskandar Muda, meunasah dan dayah memiliki fungsi strategis, salah satunya adalah sebagai tempat pembentukan dan pengkaderan para ulama. Fungsi meunasah lainnya adalah sebagai tempat untuk mendidik anak, tempat beribadat, tempat mengurus dan merundingkan hal-hal yang berhubungan dengan kemaslahatan kampung; pengajian, pusat perayaan hari-hari besar Islam, tempat penyelesaian berbebagai persengketaan dalam masyarakat, tempat diadakan upacara peugatib (akad nikah) dan tempat pemecahan berbagai permasalahan masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan syiar Islam dan kepentingan masyarakat.Sangking pentingnya fungsi meunasah di kehidupan masyarakat Aceh, banyak desa yang dinamai dengan kata meunasah, seperti Meunasah Papeun, Meunasah Tutong, Meunasah Baet, Meunasah Manyang, Gla Meunasah Baro dan lain sebagainya.

Meunasah dipimpin oleh teungku meunasah yang mengurus seluruh kegiatan keagamaan di gampong. ia dipilih oleh masyarakat karena pertimbangan memiliki pengetahuan agama yang memadai dan mampu mengajarkan Al-Quran dan pengetahuan agama praktis lainnya kepada masyarakat. Dalam tradisi pendidikan di Aceh, anak-anak sejak usia empat tahun diajarkan mengaji Al-Quran. Khusus anak laki-laki, dalam usia kurang dari 10 tahun diharuskan tidur di meunasah untuk dididik dan diajarkan mengaji Al-Quran oleh Teungku Meunasah (Peutua Meunasah sebutan di Pidie). Mereka diajarkan doa dan praktik salat, pengetahuan dasar agama dan pendidikan akhlak.

Adapun dayah, dalam sejarahnya sebagai lembaga pendidikan, yang tertua adalah Dayah Cot Kala, letaknya sekitar Bayeun Aceh Timur. Nama dayah ini sangat terkenal, karena berdiri di masa Kerajaan Islam Peureulak yang dibangun oleh seorang ulama pangeran bernama Teungku Chik Muhammad Amin pada akhir abad III H atau awal abad X M. Berdasarkan tahun berdirinya, maka dapat dipastikan bahwa Dayah Cot Kala menjadi lembaga dan pusat pendidikan Islam pertama di Aceh khususnya dan nusantara pada umumnya. Bahkan pendidikan kenegaraan hingga pelatihan perang pun diajarkan di dayah ini. Dayah Cot Kala menjadi tempat pilihan para calon raja Aceh zaman dahulu untuk menimba ilmu, sebut saja Meurah Johan selaku Raja Aceh pertama yang membangun Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam.

Dayah Cot Kala. Photo by [acehtourismagencydotblogspotdotcom]

Dayah adalah lembaga pendidikan dan tempat penggemblengan manusia untuk memprodukkan teungku dan ulama. Biasanya dayah didirikan atas inisiatif seorang teungku/teungku chik. Dayah memiliki sarana fisik dan sketsa yang letaknya terhimpun dalam satu komplek, dengan balai pengajian yang terletak di tengah dan di sekelilingnya dipenuhi dengan rangkang (dangau) sebagai tempat pemondokan simeudagang (santri).

Proses belajar mengajar di dayah, sebagaimana di pesantren di pulau Jawa, santri duduk melingkar (halaqah) dengan anjuran kitab, yang di Jawa disebut weton. Sistem belajar ini nyatanya guru yang lebih aktif, sementara santri cenderung pasif, hanya menyimak tanpa ada kesempatan berdiskusi. Akan tetapi ada juga di dayah-dayah tertentu yang menempuh cara dengan murid yang membaca, sementara guru mendengarnya dan sekaligus membetulkan mana bacaan simeudagang yang salah. Akan tetapi dayah yang menempuh cara pengajian seperti ini disebutkan terakhir tidak pula untuk semua santri, tetapi khusus untuk simeudagang pilihan. Jika di Jawa, cara ini disebut dengan sorogan.

Santri Dayah di Aceh. Photo by [santridayahdotcom]

Demikianlah deskripsi mengenai lembaga pendidikan, adat dan keagamaan tradisional Aceh, baik fisik maupun proses yang terjadi di dalamnya masih dapat ditemui sampai saat ini. Sesekali jika Anda berkunjung ke Aceh, tidak ada salahnya untuk mengunjungi beberapa meunasah dan dayah di Aceh, sebagai salah satu wisata religi yang ada di negeri Serambi Mekkah ini.

(Visited 42 times, 1 visits today)


About

Pengejar Senja, Langit dan Laut.


'Aceh, Kota Seribu Meunasah dan Dayah' have no comments

Be the first to comment this post!

Would you like to share your thoughts?

Your email address will not be published.

©2015 HelloAcehku.com a Part of Ezytravel.co.id Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool