Mengunjungi Masjid Baiturrahman, merupakan salah satu hal yang masuk dalam daftar ‘wajib’ bila berkunjung ke Aceh. Masjid yang menjadi ikon Aceh dan salah satu landmark kota Banda Aceh ini memang terkenal hingga ke penjuru dunia.
Dari melihat di laman jejaring sosial, atau membacanya di majalah, hingga menemukan dalam koleksi foto kerabat yang pernah berkunjung ke Aceh, menjadi alasan berkunjung dan mengabadikan kenangan dalam bentuk foto di masjid ini.
Tapi banyak yang berkunjung dan berfoto di masjid Baiturrahman ini tidak menyadari ada keping kenangan yang terlupakan dari kisah Masjid Raya Baiturrahman. Keping yang bernama Jami’ah Baiturrahman. Universitas yang pernah berdiri megah dalam komplek Masjid Raya Baiturrahman, dengan mahasiswa dan pengajar dari berbagai penjuru dunia.
Seperti kenyataan pahit bagaimana dunia barat mencoba menolak keberadaan Universitas Al-Qawariyyin di Maroko sebagai univeritas tertua di dunia modern. Padahal universitas yang didirikan oleh Fatima al-Fihria pada tahun 859 ini jauh lebih dulu dibandingkan universitas Bologna (1088) yang dianggap sebagai institusi pendidikan tinggi pertama di eropa. Bahkan Oxford yang pernah dianggap sebagai universitas tertua pada kenyataanya secara formal dinyatakan berdiri tahun 1096.
Aceh sendiri sebagai wilayah yang memiliki sejarah kerajaan-kerajaan Islam hingga kemudian Kesultanan Aceh, memiliki ikatan erat antara agama dan institusi pendidikan.
Sebelum Belanda memaksakan sistem pendidikan barat ala mereka. Aceh sudah memiliki sistem pendidikan sendiri. Sistem yang pada saat itu memposisikan Aceh sebagai salah satu pusat pendidikan di Asia. Bahkan Aceh juga dikenal sebagai tempat pendidikan militer darat dan laut.
Juga setelah jatuhnya Malaka dalam kekuasaan Portugis, pada 1511. Migrasi para akademisi,ulama ke Aceh juga mempengaruhi semakin pesatnya perkembangan Aceh sebagai salah satu pusat pendidikan di Asia.
Saya pernah membaca sebuah catatan yang menyebutkan bahwa pada masa sultanah Safiatuddin, dalam Qanun Meukuta Alam, kitab Undang-Undang Kesultanan Aceh, terdapat tulisan mengenai larangan berpisahnya antara sultan dengan ulama. Secara tersirat, hal itu menegaskan pentingnya antara ilmu, agama dan tata negara.
Sistem pendidikan di Aceh bermula dari kampung atau kumpulan beberapa kampung yang berdekatan. Meunasah istilah untuk masjid diduga berasal dari bahasa Arab, madrasah. Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, meunasah juga memiliki peran sebagai lembaga pendidikan dasar. Tempat kanak-kanak belajar mengaji, menulis dan membaca bahasa Arab (dan melayu jawi), serta pengetahuan dasar agama dan ibadah.
Tingkatan selanjutnya adalah rangkang dan dayah. Rangkang adalah pondok atau asrama yang biasanya berada disekitar dayah. Fungsi rangkang sendiri adalah sebagai pendukung bagi proses belajar mengajar di dayah. Umumnya materi ajar pada tingkat dayah diajarkan dalam bahasa arab, meskipun biasanya dayah mengajarkan mengenai ilmu fiqh muamalat, tauhid, akhlak, ilmu bumi, tatanegara, dan bahasa Arab, beberapa dayah juga mengajarkan mengenai ilmu pertanian, peternakan dan teknik pengolahan logam.
Setelah dayah, terdapat instutusi yang disebut dengan Dayah Tengku Chik, semacam tingkatan yang lebih tinggi lagi. Institusi ini jumlah lebih sedikit, dan tingkatan materi yang diajarkan walaupun masih umum tapi sudah lebih tinggi dan mendalam dibanding tingkatan sebelumnya.
Berbagai jenjang ini pada akhirnya akan bermuara ke level universitas. Jami’ah Baiturrahman.
Terletak di ibu kota kesultanan, Jami’ah Baiturrahman berada dan menjadi bagian dari komplek Masjid Baiturrahman. Pada saat itu terdapat tujuh belas Daar’ atau Fakultas. 1. Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits), 2. Daar al-Thibb (Kedokteran), 3. Daar al-Kimya (Kimia), 4. Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti), 5. Daar al-Taarikh (Sejarah), 6. Daar al-Aqli (Ilmu Akal), 7. Daar al-Zira’ah (Pertanian), 8. Daar al-Siyasah (Politik), 9. Daar al-Ahkaam (Hukum), 10. Daar al-Falsafah (Filsafat), 11. Daar al-Kalaam (Teologi), 12. Daar al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan), 13. Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara), 14. Daar al-Ardhi (Pertambangan), 15. Daar al-Nahwi (Bahasa Arab), 16. Daar al-Mazahib (Ilmu Agama), dan 17. Daar al-Harbi (Ilmu Militer).
Selain dari Aceh para mahasiswanya juga datang dari makasar, jawa, bahkan dari negara lain seperti juga para pengajar yang datang dari India, Arab, Turki, Persia.
Sayangnya, setelah Belanda mendeklarasikan perang terhadap Aceh pada 1873, sistem pendidikan itu terganggu. Belanda memaksakan sistem pendidikan barat ala mereka pada tempat-tempat yang berhasil mereka kuasai. Bukan hanya itu, Belanda juga membangun sistem tata sosial yang berhasil memecah belah dan mempengaruhi tata sosial yang terwariskan hingga sekarang, dimana pendidikan barat dianggap lebih tinggi.
Dalam perjalanan waktu, jejak keberadaan Jami’ah Baiturrahman juga semakin hilang. Selain kerusakan akibat tsunami 2004, sistem pembangunan yang tidak memberikan ruang bagi pelestarian bukti sejarah juga berperan menghancurkan tanda-tanda keberadaannya.
Jadi, bila anda berkunjung ke Masjid Baiturrahman, luangkanlah sejenak waktu. Untuk membayangkan satu masa ketika disekitar masjid indah itu terdapat kelas-kalas dan majelis ilmu. Tempat mahasiswa dari berbagai belahan bumi tekun mencatat dan mempelajari ilmu pengetahuan yang tak lepas dari nilai-nilai keagamaan. Yang sekarang hanya tersisa dalam bentuk kepingan kenangan, serta catatan kecil, yang mungkin akan segera terlupakan.
'Bagian Terlupakan Dari Masjid Raya Baiturrahman' have 1 comment
September 23, 2024 @ 3:55 pm Faisal Syahputra
Keren…infomatif ni bang, biasanya cerita Baiturrahman identik dengan pertempuran